Friday, April 25, 2008

John Lennon lyrics.

Imagine all the people...,

Bayangkan tiada surga

Mudah jika kau coba

Tiada neraka di bawah kita

Di atas kita hanya angkasa

Bayangkan semua manusia

Hidup untuk hari ini saja

Bayangkan tiada negara

Tak sukar untuk dilakukan

Tak perlu membunuh atau terbunuh

Dan juga tiada agama

Mungkin kau sebut aku pemimpi

Tetapi aku bukan satu-satunya

Kuharap suatu hari kau bergabung dengan kami

Dan dunia akan menjadi satu

Nasib "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" (dimana kesejahteraan itu berpihak…?)

Oleh ANDI FACHRUDIN (YUKEN),[1] Salam Anti Penindasan!

Hahahahaha...Awali membaca tulisan ini dengan tertawa kawan, agar emosi ini tak terpancing akan sebuah ilustrasi dari fenomena pendidikan kita yang selama ini masih truz mengalami kemunduran. Ada satu pertanyaan, SIAPA yang bertanggung jawab akan nasib pendidikan di negara kita yang terus mengalami kemunduran???

Jawabannya adalah oknum yang tertawa membaca tulisan ini..

Mengapa..karena kalianlah generasi pemuda bangsa yang mampu membawa perubahan kearah yang lebih baik didalam berbagai aspek, termasuk aspek pendidikan..{amiiieen...!!!}

Mengapa kalian tertawa,,karena mungkin kalian mengetahui apa sebenarnya yang membuat pendidikan di negeri ini mengalami keterpurukan..

Mungkin dengan tertawa kalian bisa menahan emosi sesaat dan mampu memberikan sebuah solusi akan nasib pendidikan kita yang sampai saat ini masih jauh dari harapan.

Coba renungkan kata-kata ini, Nasib "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa"? ini sangat identik dengan bait-bait lagu Iwan Fals yang mengibaratkan nasib guru seperti tokoh Oemar Bakri yang pegawai negeri. Ya, nasib guru di negeri ini memang masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah, masih jauh dari kata sejahtera. Padahal guru merupakan salah satu penentu berkembang atau tidaknya pendidikan di suatu Negara.

Inilah bagian ilustrasi fenomena profesi guru yang masih menyelimuti dunia pendidikan kita saat ini.

Ada suatu Problematika tentang kehidupan Guru. ada guru mengajar dengan perut kosong karena tak punya uang buat jajan, bahkan gaji sebulan tak cukup memenuhi kebutuhan keluarga dan anak-anak di rumah. dan kini, tak usah heran jika ada guru menjadi tukang ojek, sopir angkot, pedagang kaki lima dan lainnya diluar profesi mendidik dan mengajar. Pertanyaan gue adalah, apakah ini imbalan yang pantas di didapat oleh para “pahlawan tanpa tanda jasa”. Apakah ini adil, dimana kesejahteraan itu berpihak….?

Kesejahteraan guru hanya ada dalam kampanye partai politik calon legislatif, mulai dari pusat hingga ke daerah bahkan dalam kampanye Pilpres pun persoalan pendidikan dan kesejahteraan guru menjadi isu nomor satu. Kampanye masalah pendidikan dan kesejahteraan guru kerap menjadi bagian penting partai ANU, capres ANU. Setelah menang dan berkuasa semua janji tinggal janji, (Fuuuiiiiiihh..persetan dengan janji-janji mu..!!) Gaji anggota dewan, para menteri sampai pejabat di daerah dengan segala fasilitas yang melimpah ternyata jauh lebih penting ketimbang guru yang nyata-nyata menjadi kunci penentu masa depan anak bangsa.

Harus diakui secara jujur bahwa di negeri ini profesi guru ternyata kurang diminati. Alasannya sederhana, karena secara materi tidak menjanjikan. Persoalan gaji kecil yang sering dipotong sudah menjadi lagu lama. Tidak adanya fasilitas memadai dan sejumlah masalah lain yang serba kurang.

Seandainya guru punya rumah mewah, mobil bagus, ini adalah sebuah keajaiban atau pengecualian. Bisa jadi ia keturunan keluarga berduit atau punya suami/isteri pengusaha, pejabat atau ada usaha besar selain guru, paling tidak mengelola usaha di luar aktivitasnya mendidik dan mengajar.

Haaaaaahhhh…Apa kaataaaa Dunia…!!! Maka dari itu, Marilah kita bersama-sama tuk merenungkan nasib pendidikan yang makin tak menentu ini, kemudian mencari solusinya (lalu berGERAK),

ingatlah anak dan cucu kita nanti, merekalah yang akan merasakannya. (YKN)


[1] Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 04, Layouter DKS

Monday, April 14, 2008

Perdamaian Masyarakat yang Konsumtif

oleh William Daud Giovanni P Mahasiswa Sosiologi Pembangunan 2004

..di semua negeri modern itu kapitalisme subur dan meradjalela! Disemua negeri modern itu kaum proletar ditindas hidupnya. Disemua negeri modern itu kini hidup miljunan kaum penganggur, upah dan nasib kaum buruh adalah upah dan nasib kokoro, -disemua negeri modern itu rakjat tidak selamat, bahkan sengsara-sengsaranya.”

Ir. Soekarno, “Di bawah Bendera Revolusi” (1965), halaman 172

Salam redaksi..hidup mahasiswa!!

Nukilan pidato Bung Karno diatas saya kutip untuk senantiasa mengingatkan kepada kita betapa bahayanya kapitalisme. Kapitalisme dengan segala daya dan upaya akan terus menindas kaum lemah, baik dengan cara yang lembut, misalnya mengirim bantuan, atau dengan langsung memerangi pihak yang berani melawan. Dan bahkan memakai cara yang lebih efektif lagi yaitu dengan menanamkan sifat kosumtif kepada masyarakat sehingga sifat ini mendarah-daging dan sepertinya sulit untuk dilepaskan.

Sejak bangun pagi, sadar atau tidak kita dihadapkan dengan kehidupan yang serba kapital. Orang-orang yang kita hadapi, mulai dari orangtua di rumah, kemudian lanjut kepada teman-teman dan orang lain. Semua seperti sudah terstruktur dan rapi layaknya negara yang berhirarki kuat serta tidak bisa diubah atau dilawan. Apa yang kita makan, minum, rasakan, dan yang kita pikirkan saat ini adalah produk-produk modernisasi, industrialisasi, dan kapitalisme. Tiga hal yang berperan penting dalam suksesnya modernisasi. Oleh sebab itu DKS News kali ini mengangkat masalah sosial yang pasti sudah kita ketahui sebagai akibat dari kapitalis, yaitu masyarakat yang konsumtif. Untuk itu saya mengangkat tema Perdamaian Masyarakat Yang Konsumtif, yakni untuk mengingatkan kembali kepada kita sebagai mahasiswa, bahwa kita adalah agen perubahan, dan bukan hanya mahasiswa sosiologi saja, bahwa kita adalah bangsa dunia ketiga yang sarat dengan konsumerisme. Mengapa saya sebut konsumtif? Ya, karena gaya hidup masyarakat yang konsumtif, hedon dan lupa bahwa kita manusia adalah makhluk sosial yang seharusnya lebih mengutamakan kepentingan bersama diatas segalanya. Dengan bergaya hidup konsumtif, kita cenderung memikirkan diri sendiri dan lupa dengan logika kehidupan manusia yaitu logika sosial. Akibatnya muncul konflik yang berkepanjangan dan merembet ke aspek yang lain dan keseluruhan hidup manusia tidak lepas dari konflik.

Akar dari permasalahan ini adalah berasal dari faktor eksternal. Kita kembali kepada teori sistem dunia, yakni negara core, semi peryphery dan peryphery. Dan seperti yang sudah kita ketahui bahwa negara kita, Indonesia adalah salah satu negara peryphery atau pinggiran. Diatasnya terdapat negara semi periphery dan core. Yang mau saya jelaskan adalah bahwa kita menjadi bangsa yang konsumtif, yang dalam bahasa sehari-harinya boros dan selalu menghabiskan kapital yang kita miliki karena korban dari kekejaman kapitalis. Hal ini merupakan akibat dari proses imperialisme dan developmentalistik yang berasal dari negara maju/core. Negara maju berusaha membuat agar negara berkembang tidak bisa menyaingi dan menjaga jarak dengannya, salah satu caranya dengan peminjaman modal, peredaman perlawanan yang sempat terjadi di awal abad-20, pengakuan kedaulatan negara-negara yang baru merdeka dengan tujuan sebenarnya untuk meredam reaksi dari negara yang baru merdeka, dan pemberian bantuan secara berkala. Semua ini berdampak pada sifat dependen negara berkembang dan negara berkembang tidak akan bisa lepas dari ketergantungannya.

Partisipasi yang konsumtif

Dengan demikian warga negara telah termakan ajakan/rayuan negara maju yang disebut dengan developmentalisme, karena akan banyak orang yang akan menghabiskan uangnya untuk mengkonsumsi barang-barang yang tidak berguna. Atau bisa juga dikatakan dengan sebutan pembangunanisme yaitu strategi untuk menanamkan paham kapitalis ke negara lain dengan membangun koloni-koloni yang nantinya diharapkan menjadi partisipan dalam kapitalis. Semua orang akan turut berpatisipasi menjadi individu yang konsumtif. Orang-orang akan sangat mengagumkan semangat imperialisme baru dengan menjungkirbalikkan logika-logika sosial menjadi logika individualis dan seluruh sistem referensi kita tentang keutamaan kehidupan sosial. Artinya semua orang akan berusaha menjadi emperor atas keluarganya, teman-temannya, terutama terhadap bangsa dan negaranya. Kondisi seperti ini yang menyebabkan semua orang berlomba-lomba untuk memperkaya diri sendiri dengan menanam modal usaha untuk memperoleh untung sebesar-besarnya. Inilah indikasi dari kapitalis. Hal ini juga yang menjadi penyebab orang melakukan korupsi dan tega memakan sesamanya. Semuanya berakar dari sini.

3

Oleh sebab itulah apa yang dulu disebut memberi, yakni hidup sebagai produsen dengan keterlibatan politis sebagai kerja produktif, telah diubah menjadi hidup sebagai konsumen dengan praksis/praktek konsumsi sebagai bentuk partisipasi tertinggi. Dari memberi dan mencipta, manjadi mengambil dan membeli.

Dan akhirnya hasil dari proses ini bisa ditebak yaitu sifat manusia yang tadinya adalah produktif menjadi konsumtif dan rakus sehingga timbullah istilah homo homini lupus (manusia memangsa sesamanya). Disana-sini terdapat eksploitasi manusia dan sumber daya alam yang bersifat kontinu, dan tidak terjadi eksplorasi. Padahal yang saat ini diperlukan adalah eksplorasi yaitu menggali segala potensi yang ada baik dari manusia, alam, maupun dari warisan budaya dan antropologis bangsa.

Kritik Sosial: Perdamaian

Lalu bagaimanakah solusi dari masalah ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah perdamaian. Dan seperti yang sudah kita ketahui bahwa tingkat konsumerisme dalam diri bangsa Indonesia sudah sampai pada titik jenuh dan sepertinya tidak akan ada cara untuk membebaskannya. Disinilah semua orang pastinya akan rindu akan kebebasan seperti sedia kala, kebebasan dari segala hawa nafsu untuk mengksploitasi segalanya. Dalam hal ini kita harus kembali mengoreksi logika sosial yang selama ini sudah kita balik-balikkan. Bahwa kita hidup di dunia ini merupakan hidup bersama, segala yang kita nikmati adalah untuk kepentingan bersama dan diatas kepentingan pribadi/golongan (Pasal 33 UUD ’45).

Kita yang sebelumnya hidup dengan logika yang konsumtif dan individualis haruslah kembali hidup dengan logika relasional dan penuh dengan perdamaian. Kita harus membangun relasi yang baik dengan orang lain karena relasi merupakan modal dalam bersosial dan kita manusia dari awalnya memang tercipta sebagai makhluk sosial. Buktinya setelah Adam tercipta lalu Tuhan menciptakan Hawa sebagai pendamping, karena Tuhan memang menganjurkan manusia untuk hidup bersosial bukan individualis. Dengan demikian kita akan bisa saling berbagi, bukan saling berebut. Bahwa segala sumber daya alam yang semakin terbatas ini adalah milik bersama untuk dieksplorasi dan bukan untuk dieksploitasi. Segala kelimpahan yang tersedia adalah untuk mendamaikan bukan untuk menimbulkan konflik. Ok!

Basic Needs VS Life Style

oleh Rizki Setiawan
Koordinator DKS 


Konsumsi merupakan hal yang wajib untuk dilakukan oleh siapa pun. Namun di tengah keterpurukan ekonomi yang melanda negeri, masyarakat dengan alih-alih peningkatan status sosialmaupun mengikuti trend, telah mengacuhkan kebutuhan dasarnya. Prioritas utama kehidupan telah diarahkan sesuai kehendak kaum kapitalis, masyarakat tak lagi mampu menggunakan akal sehatnya untuk memilah mana yang utama dibutuhkannya. Life style lebih sering diutamakan dari basic needs.
Kini tak terhitung lagi mahasiswa yang lebih memilih membeli pulsa atau jalan ke mall daripada membeli buku atau pun meningkatkan kualitas intelegensi mereka. Kalau generasi pendobrak, agent of change saja sudah tertular virus budaya konsumtif, bagaimana pula dengan masyarakat biasa?
Buruh-buruh yang terus merokok meski anaknya dirumah tidak dapat minum susu. Anak-anak, generasi penerus bangsa pun dikorbankan. Remaja wanita yang lebih memperhatikan bentuk tubuh maupun lebih memilih untuk memutihkan kulit dan memirangkan rambut dibandingkan dengan kesehatan tubuh. Petani yang lebih ingin memiliki telfon genggam daripada memperbaiki kondisi ekonomi keluarga atau sekedar membeli sarapan pagi yang bergizi, serta serentetan bukti lain yang tak dapat disangkal lagi telah mendera masyarakat.
Media terutama memegang peranan penting dalam degradasi kualitas hidup masyarakat saat ini. Iklan yang selalu dibintangi orang berkulit putih, berambut lurus dan berbadan langsing telah membutakan remaja. Pamor telfon genggam yang semakin meningkat sejalan dengan gaya hidup yang dipromosikan produsennya, terutama lewat tokoh idola di sinetron-sinetron yang terus menerus diperlihatkan.
Karena itu kiranya sangat mendesak bagi kita semua untuk segera membangunkan masyarakat dari buaian budaya konsumtif demi kehidupan yang lebih baik. Kita perlu lebih dalam lagi dalam menimbang kebutuhan kita, bahkan bila perlu lakukanlah buatlah semacam tabel kebutuhan hidup, bedakan mana life style dan mana basic needs.
Life style memang dibutuhkan, dengan syarat, basic needs kehidupan kita telah terpenuhi. Semua demi peningkatan kualitas hidup kita yang terarah, demi masa depan!

Mitos Kecantian ; Kala Kecantikan Menindas Perempuan

JUDUL : MITOS KECANTIKAN ; KALA KECANTIKAN MENINDAS PEREMPUAN TERJEMAHAN DARI THE BEATY MYTH HOW IMAGES OF BEATY ARE USED AGAINTS WOMAN KARYA : NAOMI WOLF PENERBIT : NIAGARA, AGUSTUS 2004 TEBAL : Xxi + 670; 13 X 20CM COVER : PUTIH, BIRU HARGA : RP, 65.000

Sangat kuat….tidak ada karya lain yang begitu jujur membeberkan kebingungan perempuan yang di terror secara fisik dan emosional oleh kebutuhan untuk tampil layaknya bintang film.” (New York Times) oleh Dian Fitriansah

Mahasiswa Sosiologi Pembangunan 2003 UNJ

Kutipan tersebut diletakkan di cover oleh penata sampul bukan tanpa alasan. Setelah membuka sampul anda akan menemukan satu lembar komentar tentang buku ini, semuanya bernada sama. Buku ini terbit setelah perempuan barat telah merasakan hasil perjuangannya dalam mencapai kesetaraan dengan laki-laki. Era posfeminis di barat tengah berlagsung, namun penulis memberikan kesadaran kembali akan keadaan sebenarnya yang tersembunyi.

Selain patriarkhi sebagai musuh utama pergerakan feminis, ada hegemoni yang sangat halus bersembunyi dalam martabat perempuan yang digerakkan kapitalis. Sepintar apapun perempuan sekarang, saya yakin kebahagiaan tersebut akan terasa kurang jika kepintaran tidak diberengi dengan penampilan yang menarik. Buku ini, memperlihatkan bagaimana mitos tersebut telah merusak perempuan dan membuat mereka terobsesi meraih citra ideal tentang kesempurnaan fisik. Mitos ini terus menerus didekonstruksi oleh masyarakat patriarkhal agar bisa dinilai dan juga sebagai nilai tukar dalam berbagai segi kehidupan. Mitos kecantikan diungkap secara gamblang oleh Wolf dalam kehidupan perempuan itu sendiri termasuk dunia kerja, seks, sampai religi. Buku ini memberikan sejarah dan analisis yang dikombinasikan dengan data yang lengkap. Buku ini patut dibaca oleh perempuan sebagai tujuan dari buku ini-juga laki-laki.

Indonesia ≠ Negara Kesejahteraan

oleh Trias Maulana Alumni Sosiologi Pembangunan UNJ Negara sejahtera adalah sebuah sistem pemerintahan negara yang menyediakan kebutuhan semua masyarakatnya dan menyalurkan kekayaan atau sumber daya yang ada di negara itu dengan adil, guna membuat standar hidup yang baik untuk rakyatnya. Negara ini bukanlah negara kapitalis maupun juga komunis, tapi negara seperti ini adalah gabungan keduanya. Dimana negara tidak hanya mengejar kebutuhan ekonomi saja atau pertumbuhan ekonomi saja tetapi juga negara memikirkan bagaimana mensejahterakan rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang diambil. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita menganut sebuah bentuk negara kesejahteraan? Pada Prinsipnya Indonesia adalah suatu bentuk dari negara sejahtera. Hal ini terbukti dari beberapa pasal yang terdapat didalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pasal itu berisikan ciri-ciri negara sejahtera seperti negara menjamin kehidupan orang miskin, pengelolaan dan pendistribusian secara adil sumber daya yang ada untuk kepentingan masyarakat, serta adanya kebebasan bagi setiap orang mengeluarkan pendapatnya dimuka umum. Adapun pasal-pasal dalam Undang-Undang dasar yang mewakili negara sejahtera adalah antara lain pasal 27 (tentang pekerjaan), pasal 33 (pengelolaan sumber daya yang ada), dan pasal 34 (jaminan terhdap orang miskin). Namun, dalam kesehariannya Undang-Undang yang mencirikan negara sejahtera cenderung dilupakan. Fakta yang terlihat tidak adanya jaminan yang diberikan kepada orang miskin. Privatisasi semakin marak tanpa memperdulikan apakah yang diprivatisasi itu untuk kepentingan umum atau tidak. Subsidi untuk rakyat yang bertujuan mengurangi beban orang miskin dicabut. Walaupun sekarang ada konpensasi atas dicabutnya subsidi BBM, tatap saja hal itu tidak membuat rakyat menjadi sejahtera. Negara lebih terkesan mencari untung dari pada mensejahterakan rakyat. Bertolak belakang dengan negara sejahtera, yang membuat kebijakan untuk menghilangkan kemiskinan, namun di Indonesia kebijakan malah membuat orang miskin bertambah dengan dinaikannya harga BBM. Hal ini bukan sepenuhnya kesalahan dari pemerintah sekarang, namun juga kesalahan para pemimpin yang lalu. Pada saat negara ini dibuat para pendiri membuat Undang-Undang yang sangat hebat yang mereka tiru dari hasil belajar di Eropa. Namun, mereka melupakan sesuatu yang sangat penting yaitu bagaimanakah cara menjalankan undang-undang itu dan apakah sesuai dengan ciri bangsa Indonesia, mereka nampaknya kurang memperhatikan. Hal ini dilanjutkan oleh Orde Baru yang mengatur negara dengan “azas kekeluargaan”. Siapa yang dekat dengan keluarga cendana maka hidupnya akan sejahtera. Sedang rakyat miskin tetap saja hidup dalam keterpurukan. Dan sekarang ini merupakan imbas dari Orde-Orde yang dahulu. Di Indonesia negara kesejahteraan hanya berada sebatas angan-angan semata yang tertuang dalam bentuk Undang-Undang tanpa ada pembuktian. Undang-udang yang dibuat oleh para pendiri bangsa yang seharusnya dapat membawa kesejahteraan untuk bangsa, malah lebih berguna sebagai topeng yang mengesankan bahwa negara Indonesia adalah sebuah negara yang menganut sistem negara sejahtera. Namun, sebenarnya hal itu sangat jauh dari apa yang di harapkan oleh negara sejahtera. Kesejahteraan di Indonesia hanyalah untuk segelintir orang saja. Renungan Dalam Gelap, 11 April 2008 2.57 pagi

Ambisi Jangan Sampai Basiiiii…!!!!!

Oleh Gorajit Desario Pareza

Mahasiswa Sosiologi Pembangunan 2004 UNJ

Ambisi alias hasrat besar untuk meraih sesuatu memang jadi hak setiap orang. Ambisi ibarat cambuk yang memecut kita untuk terus maju, ambisi ibarat generator yang menggerakkan laju semangat kita.

So, agar ambisi tercapai, agar ambisi enggak harus terkubur di tengah jalan, ada baiknya kita menjaga ambisi tersebut agar tetap suci, enggak jadi basi apalagi sampai terkontaminasi. Caranya tentu saja dengan menjaga ambisi agar tetap berpijak pada nurani. Sebab nggak sedikit dari mereka yang gagal lantaran kurang pandai mengelola ambisinya, Nah kalau kamu gak mau gagal, nggak mau jadi pecun-dang, mulai sekarang jaga ambisimu itu Dengan Cara :

Realistis-

Menyadari kondisi dan situasi itu perlu. Terimalah kondisi yang ada dalam diri kita sendiri. Dengan kata lain keadaan fisik, N kemampuan yang kita punya. Misalnya kalau tubuh mu mungil. Kecil N pendek, ya gak usah ngotot untuk jadi foto model yang standar tingginya 170 cm. atau kalau kamu punya mata minus, ya terpaksa deh gagal jadi tentara. So, kalau nggak memungkinkan nggak usah maksain diri. Lagi pula masih banyak kok yang bisa kita lakukan, karena itu akan lebih baik kalau kita menggali potensi lain yang lebih realistis.

-Cara Halal-

Banyak jalan menuju Roma, banyak cara mengejar cita-cita. Dari yang jujur sesuai prosedur sampai yang culas, menggilas atau asal libas. Silahkan pilih yang mana, terserah. Tetapi apapun cara yang di tempuh ada konsekwensinya, ada resiko di belakangnya. Kalau yang curang alias “lewat pintu belakang” memang lebih menjanjikan, lebih mudah mencapai tujuan, tapi hasil sebagus apapun akan Nol besar manakala di tempuh lewat jalur terlarang. Sementara cara yang elegan, yang halal memang terkadang ribet, susah N butuh banyak waktu dan tenaga. Namun, kita akan merasakan kepuasan tersendiri. Bukankah yang penting itu prosesnya bukan hasil???

Bekali Diri-

Dan yang nggak kalah penting dari itu semua adalah siapkan bekal secukupnya. Banyak-banyaklah belajar, baca buku, Koran, majalah. Dengan begitu kamu bisa menambah wawasan, pengalaman dan keterampilan. Sebab tak ada bekal yang berarti selain tiga poin tersebut.

Saturday, April 12, 2008

Sarjana Pinggiran, Salah Siapa ?

Ahmad Sofatul Anam, SosPem 03 Kini pengangguran bukan hanya berasal dari kalangan pendidikan rendah, ekonomi lemah, kemiskinan absolut, dan mereka yang tidak mempunyai skill memadai, tetapi juga berasal dari mereka yang sudah menyandang gelar “sarjana strata satu“(Pengangguran Intelektual, Kompas, 11 Februari 2008). Latar belakang pendidikan yang selama ini dijadikan sebagai tolak ukur status sosial dalam stratifikasi masyarakat kini tak lagi relevan. Pendidikan yang semestinya mampu mempersiapkan calon–calon tenaga kerja mumpuni, tetapi saat ini outputnya berkualitas rendah sehingga tidak terpakai oleh pasar. Fakta sosial ini cukup memprihatikan kita sebagai bangsa Indonesia, dan mungkin akan sulit sekali menerima kegagalan lembaga pendidikan kita. Terlebih keadaan ini timbul saat perhatian publik pada dunia pendidikan meningkat. Saat program pemerintah untuk menyukseskan sektor pendidikan sebagai sarana menekan angka pengangguraan semakin marak. Fakta ini semakin sulit terbantahkan, mungkin berkaitan dengan perencanaan dari pemerintah sendiri yang tidak sejalan dengan tidak tersedianya jumlah lapangan kerja yang dibutuhkan. Atau juga kebijakan pemerintah dalam mengurangi angka pengangguran kurang sejalan dengan preferensi kerja. Setiap tahun lebih dari 300.000. lulusan perguruan tinggi dari jenjang diploma hingga sarjana strata satu siap memasuki dunia kerja (Kompas.com). Pada tahun ajaran 2005/2006, Departemen Pendidikan Nasional mencatat jumlah lulusan perguruan tinggi negeri dan swasta sebanyak 323.902 orang. Namun tidak semua lulusan ini terserap oleh pasar. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2007 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, angka pengangguraan terbuka berkurang menjadi 9,75 persen dibandingkan dengan periode Agustus 2006 yang besarnya 10, 28 persen. Meskipun menurun, jumlah penganggur dari kalangan perguruan tinggi justru meningkat. Jika pada Agustus 2006 penganggur dari kalangan terdidik ini sebanyak 673.628 orang atau 6,16 persen, setengah tahun kemudian jumlah ini naik menjadi 740.206 atau 7, 02 persen. Tren kenaikan ini sudah terlihat sejak tahun 2003. padahal, penganggur terdidik sempat berkurang setelah pada 1999 mencapai angka tertinggi, yaitu 9,2 persen. Dengan kenaikan 1 persen pertumbuhan ekonomi yang hanya mampu menciptakan 265.000 lapangan kerja baru, praktis lulusan tersebut bersaing dengan sesama mereka. Juga, bersaing dengan pencari kerja lainnya yang telah berpengalaman dan tengah mencari peluang kerja baru. Lulusan yang kalah bersaing ini jelas akan menambah angka pengangguran. Selain dari indikator pengangguran terbuka, nasib lulusan perguruan tinggi yang kurang beruntung juga bisa dilihat dari kategori setengah penganggur. Termasuk dalam kategori ini adalah lulusan perguruan tinggi yang bekerja di bawah jam kerja normal, yaltu kurang dari 35 jam per minggu, baik karena terpaksa ataupun sukarela. Pengertian setengah penganggur terpaksa di sini adalah mereka yang masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan lain. Sedangkan setengah penganggur sukarela adalah mereka yang tidak lagi mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain. Pekerja paruh waktu termasuk dalam kelompok setengah penganggur sukarela. Melihat peliknya situasi yang dirasakan oleh mereka–mereka yang berniat untuk melanjutkan cita–citanya, perlu langkah nyata dan terintegral agar permasalahan ini tidak mengarah pada krisis kepercayaan diri yang dapat menyebabkan keruntuhan integritas dan mentalitas bangsa ini dari bangsa lain. Karena ini berkaitan erat dengan kemampuan kita didalam menyiapkan generasi intelektual tapi miskin jiwa pembaharu. Kita semestinya mampu dan berbuat semaksimal mungkin supaya ilmu yang mereka dapatkan di bangku kuliah di aplikasikan untuk membantu problematika yang tak kunjung habis–habisnya mendera bangsa ini, minimal membangun mentalitas bangsa ini yang sudah terpuruk semakin dalam, ingat bangsa ini sudah dalam kondisi tak tertangani dengan baik, karena setiap amanah yang diberikan kepada pemimpin negeri ini malah di jadikan pembenaran untuk kepentingan sendiri. Cukup menggelikan jika kita mengingat kembali seruan para aktor–aktor pembaharu yang memproklamirkan “saatnya yang muda memimpin“. Saya tidak tahu kriteria muda yang pantas memimpin negeri ini, apakah yang punya basis massa kuat, keturunan Ulama Besar atau mantan Presiden, punya ideologi kuat dan IQ tinggi tapi tidak diakui pasar, mengenaskan. Apakah bangsa ini sedang mengalami krisis sumber daya manusia (SDM)? atau malah kehilangan karakter untuk terus memperbaiki diri, mulai dari budaya, mentalitas manusia modern yang anti terbelakang dan tertinggal, serta merubah kebiasaan budaya instan dan berpangku tangan kepada nasib (Takdir Tuhan), kuasa Tuhan dijadikan pengharapan. Lihat bangsa Jepang, atau India, dan Singapura. Mereka tidak segan–segan belajar dari bangsa lain supaya diakui kemampuannya untuk mendidik masyarakatnya dengan benar, tanpa merasa malu, gengsi, dan rendah diri. Apa yang sudah di perbuat bangsa ini untuk menyenangi rakyatnya? bisanya cuma meniru–niru sistem ekonomi (kapitalis), politik (Demokrasi bar–bar), budaya (westernisasi), pendidikan, KUHP saja masih pake zaman kolonial Belanda. Mari kita buat perbandingan ada berapa sarjana kita yang “terhormat“ yang melamar kerja dengan usaha sendiri dengan sarjana yang melamar kerja tapi atas nama relasi, memang aspek jaringan (link) di wajarkan untuk menekan angka pengangguraan dalam terminologi modal sosial, tetapi kita jadi kehilangan budaya berkompetisi, fair, menghargai usaha orang lain, saya di sini bukan untuk menjudge bahwa yang melamar pekerjaan dengan memanfaatkan uluran tangan relasi tidak mendidik, justru untuk menyadarkan kita bahwa roda kehidupan harus terus berputar. Dimana ada kompetisi, perjuangan, kerja keras, dan nasib baik. Atau perlukah kita merevitalisasi sistem dan budaya pendidikan kita agar input dan output sarjana yang di hasilkan tidak habis tertelan bumi ? ada satu fakta yang cukup menggelikan tentang sarjana S1 dan Diploma, yang enggan turun langsung bergotong royong dengan masyarakat guna menekan dan melanjutkan program pemerintah yang di peruntukkan lulusan perguruan tinggi yang tidak laku di pasar, program yang di maksud adalah padat karya. Yang di harapkan dari program ini adalah para sarjana berkiprah di dalam program pembangunan yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat, namun preferensi kerja mereka lebih mendambakan pekerjaan kantoran. Alasannya didasarkan biaya yang sudah di keluarkan selama menempuh pendidikan dan mengharapkan tingkat pengembalian (rate of return) yang sebanding. Selain itu bidang yang tidak memerlukan teknologi tinggi lebih diminati, alasannya menghindari tingkat kesulitan pekerjaan yang relatif rendah karena tidak memerlukan teknologi tinggi. Jelas berarti ada problem yang harus segera diatasi oleh pemerintah, yaitu (i) merevitalisasi dan mereformasi sistem pendidikan kita. (ii) Menciptakan dan membuka lapangan kerja seluas–luasnya. (iii) Merekonstruksi mentalitas generasi muda Indonesia. Harus ada political will, dan sense of crisis dari segenap komponen bangsa supaya kita tidak menjadi bangsa yang miskin dan bodoh selamanya. Wallahu alam.

BAHAYA LATEN SINETRON

oleh Andi F (Yuken/Pensos 04)

Sinetron Remaja tidak Mendidik

SALAH satu pilar gerakan peradaban yang semakin mengglobal adalah penyebaran dan pemerataan media televisi hampir di setiap keluarga. Plus diramaikan dengan acara-acaranya yang super kreatif, demonstratif dan tentunya bernuansa bisnis. Memang tidak dipungkiri acara-acara di televisi ada dampak positif dan negatifnya. Salah satu acara televisi yang sedang marak saat ini adalah sinetron untuk kalangan remaja. Bagi anak-anak dan remaja hampir dapat dipastikan dalam suatu keluarga pasti suka dan sering menikmati acara sinetron remaja ini. Kesukaan dan keseringan menikmati acara sinetron remaja tersebut sulit dikalahkan dan diganggu dengan aktivitas-aktivitas lainnya (misalnya mereka lebih senang nongkrong di depan televisi, daripada datang ke masjid atau madrasah untuk mengaji).

Sebagai seorang yang anti-sinetron, gw m’coba mengamati dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana sikap dan perilaku remaja jaman sekarang yang gw anggap sebagai pengaruh televisi. Satu contoh: para siswa SLTP udah Gak canggung lagi bergandengan tangan dengan lawan jenisnya, padahal mereka tahu itu bukan muhrimnya. Atau mereka Gak canggung lagi berpelukan di tempat-tempat umum dengan lawan jenisnya. Dari segi penampilan, pakaian seragam sekolah yang tidak karuan, gaya rambut yang dicat, hidung ditindik, telinga pakai anting-anting untuk laki-laki,, dsb. Ini contoh negatif.

Bagaimana Sinetron Menjajah Dunia ??!!!

Pertanyaannya sekarang, mengapa sinetron bisa begitu meraja lela? Kalau menurut Gw Siyh..: • Masyarakat Indonesia secara umum belum bisa menilai mutu/kualitas suatu tayangan dengan akurat. Misalnya, banyak tayangan asing yang sangat laku di negara asalnya tetapi justru jeblok ratingnya ketika ditayangkan di Indonesia. Begitu juga sebaliknya.

• Banyak masyarakat kita yang menonton televisi hanya untuk pleasure, menghibur diri. Apalagi kaum pria, yang kebanyakan menonton hanya untuk menghibur mata, selain mencari informasi dan tayangan olahraga (sepakbola).

• Penonton dari strata kelas menengah atas yang “sulit dibohongi” oleh sinetron-sinetron murahan, mungkin lebih prefer untuk membaca, surfing internet, menonton DVD, atau hang out sebagai sarana hiburan. Kalaupun menonton televisi, pasti menggunakan satelit/TV kabel yang pilihannya jauh lebih beragam dan berkualitas.

• Ujung-ujungnya, sinetron akan kian diminati, permintaan pasar terus bertumbuh, dan pembodohan masal terus bergulir. Lingkaran setan yang tiada berujung.

Gw Gak bermaksud syirik dengan Raam Punjabi yang kian tajir karena dagangannya laris manis di pasaran. Gw juga Gak bermaksud menyalahkan orang-orang production house yang mungkin menyangka bahwa orang-orang kita Gak pernah menonton serial luar. Barangkali memang mereka berniat membuat karya bermutu, namun terpaksa harus realistis dan mengikuti selera pasar. Masalahnya, sinetron sebenarnya mengajarkan kita dengan hedonisme dan mengajak kita untuk bermimpi tentang gaya hidup yang serba waah. Lebih parah lagi, televisi ditonton mayoritas oleh kalangan kurang terpelajar, ibu-ibu rumah tangga, atau pembokat yang butuh waktu lama untuk menyadari bahwa mereka sedang dikibulin dengan impian kalangan atas. Begitulah selera mereka. Mereka gampang terbuai dengan kemewahan, berkhayal menjadi orang kaya, bermimpi dipersunting pangeran kaya dan tampan, membayangkan memperistri wanita cantik dan seksi, memiliki rumah mewah dan mobil belasan, dan sebagainya. Hasilnya, kebanyakan orang Indonesia lebih suka berkhayal. Gw yakin kawan-kawan mungkin bisa melindungi dari serangan sinetron yang bertubi-tubi. Tapi bagaimana dengan jutaan penduduk Indonesia lainnya?

Sampai kapan fenomena ini bertahan? Sulit ditentukan. Selama jumlah penontonnya masih bejibun, selama production house masih produktif memproduksi, dan sampai kita masih belum tersadarkan diri, fenomena ini masih akan berlangsung lama. Gw Gak bermaksud mengatakan bahwa semua yang menonton sinetron sama sekali Gak cerdas. Namun, sebelum perekonomian bangsa ini benar-benar pulih sehingga bisa menciptakan generasi intelek yang bisa menyadari bahwa dirinya sedang ditipu sinetron-sinetron tersebut, Gw cuma bisa menyarankan, mari kita sama-sama untuk tidak menonton sinetron.

Tuesday, April 1, 2008

Bank Kaum Miskin (Grameen Bank)

Bank Kaum Miskin (Grameen Bank)[1]

Oleh Rizki Setiawan[2]

Komite Nobel Norwegia pada tahun 2006 lalu memutuskan Profesor Muhammad Yunus dan Grameen Bank mendapat Nobel perdamaian. Maka Grameen Bank sebagai gerakan pemberantasan kemiskinan sangat relevan untuk digunakan sebagai landasan teori dalam skripsi ini. Grameen Bank merupakan salah satu contoh real peran aktor dalam pembangunan, namun begitu di sini lebih ditekankan pada bagaimana struktur kemiskinan dalam masyarakat dapat dibongkar.

Muhammad Yunus adalah dekan Fakultas Ekonomi Chittagog University di Bangladesh yang resah akan ketidakmampuan ilmu ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan. Dengan itu dia memilih “pandangan mata cacing” guna mempelajari kemiskinan dari jarak dekat. Kemudian dia melepaskan jubah akademisnya dan lalu bergaul dengan bergaul dengan orang miskin dan realitas kemiskinan desa Jobra yang bertetangga dengan universitas tempat Ia mengajar. Kaum miskin telah mengajari ilmu ekonomi yang benar-benar baru, dia mempelajari masalah-masalah yang dihadapi orang miskin dengan perspektif mereka sendiri. Pergulatan panjang Yunus dengan masyarakat desa menelurkan sebuah konsep yang disebutnya sebagai “kewirausahaan sosial”, yang berhasil merubah berbagai dimensi pada masyarakat, khususnya perempuan. Dia kemudian mendirikan Grameen Bank guna peemenuhan kredit mikro yang dibutuhkan masyarakat.

Grameen Bank mulai beroperasi sejak tahun 1977, yang kemudian baru menjadi Bank resmi pada akhir september 1982. Prinsip yang digunakan Grameen Bank jauh berbeda dengan bank konvensional yang ada selama ini, dan prinsip itulah yang kemudian dapat mengeluarkan kaum miskin dari kemiskinan struktural yang dideranya. Pertama, Grameen memberikan pinjaman dalam skala mikro, sehingga masyarakat yang paling miskin dapat menjangkau kredit ini. Kemudian yang kedua, prinsip utama yang dianut Grameen Bank adalah “kepercayaan”. Grameen menganggap setiap peminjamnya bisa dipercaya, karena itu Grameen tidak memerlukan instrumen hukum antara debitur dengan kreditur.[3] Dengan kepercayaan tersebut Grameen juga tidak memberlakukan agunan bagi debiturnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Yunus;

“mereka (masyarakat yang menjadi debitur) sangat punya alasan untuk mengembalikan pinjamannya, yakni untuk mendapatkan pinjaman lagi dan bisa melanjutkan hidup esok harinya! Itu jaminan terbaik yang bisa didapatkan: nyawa mereka. [4]

Dalam perjalanannya Grameen menemui banyak hambatan, yang berasal dari struktur sosial masyarakat, agama dan kebudayaan, pemerintah dan birokrasinya, dan bahkan dari dunia internasional. Meskipun demikian, Yunus mendasari keyakinannya bahwa perubahan sosial itu harus didukung oleh semua pihak (multi stakeholders). Yang membuat Yunus terus berjuang meyakinkan semua pihak. Dengan berbagai upayanya, Yunus beserta Grameen berhasil mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Dan dengan itu pula Yunus membuktikan bahwa civil society merupakan kekuatan yang dapat melaksanakan program besar yang tidak dapat dilakukan pemerintah. [5]

Peminjam Grameen terdiri atas kelompok yang terdiri dari lima orang, dan kelompok-kelompok tersebut tergabung dalam sentra.[6] Setiap pemohon bergabung dalam sebuah kelompok yang memiliki pemikiran yang sama dan hidup dalam kondisi sosial-ekonomi yang serupa. Kelompok dibentuk oleh para peminjam sendiri, dan Grameen mendorongnya dengan menyediakan insentif agar mereka saling membantu demi keberhasilan usaha masing-masing. Setiap pinjaman dari anggora juga harus disetujui kelompok, karena itu kelompok memikul tanggungjawab moral atas setiap pinjaman. Seorang calon peminjam pertama-tama harus berinisiatif mencari orang kedua dan menjelaskan prosedur bank pada orang kedua., kemudian yang kedua akan mencari anggota ketiga, keempat, dan yang kelima. Untuk itu, anggota yang pertama harus dapat menyakinkan anggota kedua agar bersedia bergabung. Namun seringkali ketika kelompok tersebut hampir terbentuk, salah satu anggota, atau bahkan empat anggota yang lain mengurungkan diri sehingga yang seorang itu harus memulai dari awal lagi. Setelah kelompok terbentuk kelima anggota tersebut datang kelima-limanya ke bank untuk mendapatkan pelatihan tentang kebijakan bank setidaknya selama tujuh hari. Setelah itu mereka pun harus mengikuti ujian lisan secara individu guna mengetahui pemahamannya. Jika seorang anggota tidak lulus, maka yang lain harus menunggunya sampai lulus. Setelah semuanya lulus ujian maka dua orang pertama akan mendapatkan pinjamannya. Jika dalam enam minggu dua orang tersebut taat membayar cicilannya, maka dua orang lainnya akan mendapat pinjaman. Ketua kelompok biasanya menjadi peminjam terakhir dalam kelompoknya. [7]

Mekanisme praktik Grameen terus berubah mengikuti kondisi yang ada, saat ini mekanisme pembayaran Grameen sebagai berikut: (i) masa pinjaman satu tahun. (ii) cicilan dibayar tiap minggu. (iii) pembayaran cicilan dimulai satu minggu setelah pinjaman dikucurkan. (iv) tingkat suku bunga 20%. (v) besarnya cicilan sebanyak 2 % dari total pinjaman perminggu selama 50 minggu. (vi) pembayaran bunga sebesar 2 taka per minggu untuk setiap pinjaman sebesar 1.000 taka. [8]

Kemudian Yunus juga membongkar logika kapitalisme yang mengakar dalam praktik perbankan. Logika kapitalisme tersebut tersebut dengan jelas melahirkan diskriminasi perbankan terhadap orang miskin. Silogisme kapitalisme perbankan mempunyai premis-premis yang sangat ketat: (i) Bank harus mendapakan untung tanpa membedakan apakah nasabahnya adalah orang kaya atau orang miskin. (ii) maka kredit yang diberikan adalah kredit dalam jumlah besar, yang tentunya tak tarjangkau kaum miskin. (iii) Oleh karena itu tidak rasional dan tidak logis jika bank memberikan kredit mikro. Kesimpulannya, karena alasan rasional dan ekonomis, bank tidak akan memihak pada kaum miskin. Meskipun demikian, logika ini paradoksal dengan praktik perbankan yang ada. Debitur besar pada umumnya tidak membayar kembali pinjamannya, agunan yang diberikan pun bersifat fiktif, yang memudahkan mereka untuk kabur bersama pinjamannya ke luar negeri. Dengan itu Yunus pun berhasil membuktikan bahwa tingkat pengembalian orang miskin kepada Grameen paling rendah 98%.[9]

Yunus kemudian juga menemukan bahwa perbankan saat ini telah bias jender, perempuan selama ini jarang yang diperbolehkan untuk menjadi debitur. Padahal, perempuanlah yang lebih rentan mengalami kemiskinan dan kelaparan. Hukum tak tertulis mengatakan bahwa ibulah yang akan pertama kali mengalaminya. Sementara itu, Yunus menemukan kekuatan yang besar di dalam diri perempuan. Perempuan miskin memandang jauh ke depan dan bekerja keras untuk membawa diri dan keluarganya keluar dari kemiskinan. Ketika perempuan miskin mulai mendapatkan penghasilan, impian keberhasilannya selalu terpusat di sekitar anak-anaknya. Prioritas kedua seorang perempuan adaah rumah tangganya. Dia membeli perkakas rumah tangga, ataupun memperbaiki rumahnya. Sedangkan laki-laki memiliki prioritas yang jauh berbeda. Ketika laki-laki miskin mempunyai pendapatan lebih, dia lebih memusatkan pada dirinya sendiri. Karenanya, uang yang msuk ke rumah tangga melalui perempuan lebih bermanfaat bagi keluarga secara keseluruhan.[10]

Konsep pembangunan menurut Yunus juga mesti didefinisikan kembali. Konsep pembangunan yang dianut Grameen adalah suatu proses perubahan politik-sosial-ekonomi yang kompleks, dimana unsur yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sejak awal berdirinya metode Grameen memang berlawanan dengan metode pengentasan kemiskinan lainnya, yaitu dengan memberikan uang tanpa satu pun upaya memberi keterampilan terlebih dahulu. Ini didasarkan pada keyakinan Yunus bahwa semua manusia memiliki keterampilan bawaaan lahir, yang disebutnya sebagai keterampilan beratahan hidup. Ini dibuktikan dengan kemampuan orang miskin untuk mempertahankan hidupnya. Untuk itu, Grameen lebih memilih untuk memaksimalkan semua potensi yang dimiliki anggotanya dibandingkan dengan menambah keterampilan baru.

Asumsi yang menyatakan bahwa orang menjadi miskin dikarenakan tidak mempunyai keterampilan disanggah oleh Yunus. Program-program pelatihan besar yang diwajibkan dalam program pengentasan kemiskinan oleh pemerintah, ornop-ornop maupun lembaga donor asing diduganya hanya untuk mengekalkan kepentingannya sendiri: menciptakan makin banyak lapangan kerja untuk diri mereka sendiri tanpa perlu bertanggungjawab menghasilkan sesuatu yang konkret (mengentaskan kemiskinan). Kemudian dengan aliran dana bantuan dan kesejahteraan, terciptalah industri besar baru yang berkembang dengan tujuan tunggal menyediakan pelatihan. Sementara itu, Grameen berbeda pandangan dengan ahli pengentasan kemiskinan tersebut: orang menjadi miskin bukan karena tidak terampil, melainkan karena tertutupnya kontrol atas modal. Ketidakberdayaan kaum miskin menyebabkan mereka bekerja demi keuntungan orang yang memiliki kontrol atas modal.[11] Selain itu, Yunus juga mengungkapkan bahwa kemiskinan tidak diciptakan oleh kaum miskin. Kemiskinan diiptakan oleh struktur masyarakat dan kebijakan-kebijakan yang dijalankan masyarakat. [12]

Pelatihan yang dilakukan dalam program pengentasan kemiskinan banyak yang kontrapoduktif, pelatihan menakutkan bagi orang miskin dan hanya membuang uang dan tenaga saja. Pelatihan bahkan dapat menurunkan tingkat percaya diri peminjam: mereka merasa kecil, bodoh, dan tak berguna. Ini bukan berarti pelatihan itu buruk, namun pelatihan tidak boleh dipaksakan melainkan harus muncul dari kebutuhan dalam proses pengentasan kemiskinan.. Pelatihan baca tulis bagi anggota yang buta huruf relatif dibutuhkan agar mereka dapat menuliskan namanya, jumlah uang yang dipinjam, cicilan yang harus dibayar, maupun membaca angka-angka dalam buku kredit mereka. Atau mereka mungkin mau belajar keterampilan yang baru seperti teknik berternak sapi, berternak unggas, maupun teknik-teknik terbaru di bidang pertanian. Namun pelatihan tersebut seharusnya ditawarkan ketika peminjam secara aktif mencarinya dan mau membayar dalam bentuk uang maupun natura untuk memperolehnya[13].

Terakhir, dapat ditarik beberapa prinsip yang dianut Grameen Bank. (i) Grameen Bank dimiliki oleh anggotanya (92% adalah saham anggota, dan sisanya milik pemerintah). (ii) Sasaran Grameen Bank adalah lapisan masyarakat yang paling miskin. (iii) Perempuan lebih diutamakan oleh Grameen. (iv) Grameen tidak memberlakukan agunan. (v) Jenis usaha yang dibiayai ditentukan oleh anggotanya sendiri. (vi) Grameen membantu informasi dan sarana agar usaha anggotanya berhasil. (vii) Debitur membayar tingkat bunga sesuai keperluan untuk menjaga agar Grameen tetap mandiri (tidak tergantung hibah atau donasi).


[1] Ini merupakan bagian dari kerangka Teori dari Skripsi Penulis

[2] Mahasiswa Sosiologi Pembangunan 2003 UNJ

[3] Muhammad Yunus (2007), diterjemahkan Irfan Nasution, Bank Kaum Miskin, Jakarta; Marjin Kiri, halaman 72

[4] Muhammad Yunus, ibid, halaman 55.

[5] Ibid.

[6] Sentra adalah federasi tingkat desa yang terdiri dari paling banyak 8 kelompok.

[7] Ibid.Halaman 63-65.

[8] Ibid.Halaman 70.

[9] Ibid.Halaman xii.

[10] Ibid.Halaman 73-74.

[11] Ibid.Halaman 141-142.

[12] Ibid.Halaman 204.

[13] Ibid.Halaman 142-143.

Anarkisme…!?

oleh; Rizki Setiawan dan Yogi Suryana Latif
Sosiologi Pembangunan 03
K ATA “anarkisme” sebagai sebuah konsep sering kali disalahartikan oleh masyarakat baik mayarakat umum, media, pemerintah, dan bahkan di kalangan akademisi,- sebagai suatu prinsip yang berkaitan dengan sesuatu yang bersifat destruktif. Mungkin hal ini disebabkan kurangnya pemahaman tentang anarkisme. Maka di sini kembali dicoba untuk dijelaskan perihal anarkisme. Kata anarki berasal dari bahasa Yunani kuno άυαρχος (anarchos/anarchein), yang tersusun dari άυ (tidak) + άρχος (pemimpin atau ketua). Jadi anarkisme berarti tidak adanya pimpinan, tidak adanya pemerintahan. Etimologi kata ini menandai hal yang khas dari anarkisme; penolakan terhadap kebutuhan akan otoritas tersentral atau negara tunggal, satu-satunya bentuk pemerintahan yang kita kenal sampai saat ini. Kaum anarkis bukanlah menolak konsep pemerintahan, namun gagasan akan suatu tatanan berkuasa yang menuntut dan menghendaki kepatuhan warganya (atau kalau perlu, nyawa warganya).[i] “Negara itu seperti rumah jagal raksasa atau kuburan maha luas, di mana semua aspirasi riil, semua daya hidup sebuah negeri masuk dengan murah hati dan suka hati dalam bayang-bayang abstraksi tersebut, untuk membiarkan diri mereka dicincang dan dikubur.”[ii] Lalu apa yang dilakukan kaum anarkis dalam pemilihan umum? Pada umumnya kaum anarkis menjagokan golput sebagi pilihan politiknya. Sentralisasi kekuasaan pemerintah di negara demok-rasi liberal di-pandang sebagai hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kendati dipilih lewat pemilu. Mencoblos setiap sekian tahun, menerima hukum dan kewajiban baru apapun yang diberlakukan dipandang sebagai contoh betapa rapinya kekuasaan dipertahankan di balik samaran demokrasi. Kaum anarkis selalu mendambakan sistem perwakilan yang bersifat percobaan, yang bisa dimintai pertanggungjawaban dan siap digantikan.[iii] Ragam Anarkisme Anarkisme secara politik terbagi menjadi dua; anarkisme individualis dengan anarkisme komunis. Anarkisme Individualis bersifat liberal dengan pahamnya tentang kebebasan, toleransi, dan hak-hak individu. Max Stirner, salah satu penganut anarkisme individualis menjagokan egoisme sebagai cara untuk mereguk dan memperluas hidup. Memupuk kesejahteraan dan mencintai sesama misalnya, dilakukan karena kita memang menginginkannya, bukan karena seharusnya berbuat demikian. Namun kemudian Marx membantah pendapat Stirner; menganggap individu semata-mata sebagai individu berarti melupakan daya sosial yang justru turut membentuk pemahaman kita tentang apa arti menjadi individu. Yang kedua adalah Anarkisme komunis. Anarkisme komunis mirip dengan komunisme tradisional, perbedaannya adalah kaum anarkis berpendapat bahwa negara tetap menjadi penubuhan struktur kekuasa-an otoriter dalam bentuknya yang sama persis. Hal ini bertentangan dengan sifat non-hirarki komunisme. Selain itu ada yang menarik,- primitivisme yang anti-otoritarian,- yang mengaku anarkis, namun juga condong ke individualisme ekstrem kanan seperti halnya anarko-kapitalisme. Golongan ini menganggap tekhnologi telah lepas kendali dari pembuatnya sendiri, yang mengakibatkan ia harus dihancurkan. Golongan ini sepertinya melupakan bahwa teknologi itu benda mati, yang menjadi masalah adalah individu dibelakangnya.[iv] Terdapat banyak lagi varian yang menjadi cabang anarkisme, seperti anarko-sindikalisme, anarko-feminisme, dan yang lainnya yang dapat diakses lebih jauh di wikipedia.com.
Anarkisme Tidak Sudi Produktif Bagi Marx, alienasi terjadi pada seseorang saat pekerjaan mereka membuatnya merasa terasing dari dirinya sendiri dan dari komunitas sosial lebih luas yang membentuk konteks hakiki bagi pekerjaan yang bermakna. Dengan tekanan kapitalisme, produksi dipacu demi keuntungan dan bukan kebutuhan, dan mayoritas pekerja tidak diperbolehkan menikmati hasil kerjanya dan diakui atas itu. Apa yang mereka hasilkan dibuat menjadi komoditas belaka yang tak berarti buat mereka. Atau dengan kata lain cara kerja yang berlaku sekarang telah merampas diri manusia dari dunia sosialnya. Kaum anarkis tidak malas atau bahkan kehilangan semangat juang, namun mereka kritis dalam bertindak. Maka anarkisme berusaha merubah pandangan Marx dengan sebuah alternatif. Anarkisme ingin menekankan betapa busuknya sebagian besar pekerjaan dan betapa rutinitas hidup telah disubordinasikan oleh tuntutan kerja. ‘Waktu luang’ kian lama kian diisi oleh persiapan berangkat kerja, belajar untuk kerja, belanja untuk kerja, berdandan untuk kerja, menempuh perjalanan pergi dan pulang kerja, dan yang paling banyak memulihkan kebugaran dari kerja agar bisa kerja lagi. Kaum anarkis ingin menumbuhkan kesadar-an bahwa membongkar eksploitasi berarti merubah cara orang bekerja. Bentuk-bentuk struktur organisasi otoriter di tempat kerja harus dirubah demi mewujudkan angan-angan akan masa depan yang egaliter.[v] Selain itu Marx juga punya istilah lain, ‘fetisisme komoditi’ yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana proses reifikasi komoditas berkurang dalam privatisasi diri. Fetisisme komoditi tercermin dalam realitas ketika individu dapat melakukan sesuatu tanpa pamrih kepada sanak keluarga dan sahabat karib (memberi hadiah pada anggota keluarga maupun sahabat tidak dipandang seperti halnya praktek tukar menukar dalam pasar), namun tidak dengan orang asing maupun rekan kerjanya.[vi] Produktifitas untuk penguasa, untuk pemerintah maupun struktur otoriter lainnya dihapuskan karena kaum anarkis bekerja untuk dirinya sendiri dan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Dalam pandangan mereka, individu dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang utuh. Dalam aplikasinya, Anarkisme menjalankan semua bentuk yang dijalankan pemerintah saat ini secara swakelola. Pemerintahanan maupun perusahaan dikelola dengan manajemen Federalis. Pemerintahan lokal dijalankan oleh komite-komite, dan kordinasi antara yang satu dengan yang lain sangat kuat. Tak ada pemilikan pribadi, toko, kafe, pabrik, sepeda motor, taksi, bus, bahkan kotak semir sepatu pun telah dikolektivikasi. Buruh diakui akan hasil kerjanya dan gajinya dinaikkan dan kenaikkan gaji tersebut tidak menjadi masalah karena motif mencari untung telah dihapuskan dan gaji tinggi yang diberikan pada eksekutif telah disetop. Tak ada sikap merendahkan diri, ucapan basa-basi menghilang, semua diperlakukan dengan sederajat. Kuatnya kesadaran moral dan budi pekerti membuat tugas administrasi ini tak seberapa semrawut sebagaimana yang dibayangkan.[vii] (BKL) 4 [i] Sean M. Sheehan, ANARKISME, Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan, Marjin Kiri; Jakarta, 2007 hal 1-2. [ii] Mikhail A.bakunin,”The Paris Commune and the Idea of the State”2002, dalam wikipedia.caom [iii] Sean M. Sheehan, op.cit, hal 30-31. [iv] Lebih jauh lihat www. Primitivism.com atau manifesto unabomber yang tersedia di berbagai situs. [v] Sean M. Sheehan, op.cit.halaman 73-76. [vi] ibid, halaman 77-78. [vii] ibid, halaman 100-105.

HIDoeP PRODoeKTIF ( kReAtiFiTaS )

Gorajit Desario
Sosiologi Pembangunan 04
KENAPA sih kita harus hidup produktif? Apa unsur utama dari sebuah produktivitas? Apakah salah satu unsur tersebut adalah kreativitas? Tulisan ini mencoba memaparkan fungsi kreativitas dalam hidup produktif. Jika ternyata produktivitas itu penting, seharusnyalah kita mencoba untuk hidup produktif, dengan menjadi seseorang yang kreatif di segala bidang. Manusia diciptakan mempunyai rasa, cipta dan karsa yang melahirkan sebuah kreativitas dalam hidupnya. Keanekaragaman dalam bentuk apapun bisa terjadi dalam kehidupan sosial, dan hal ini terbukti jika kreativitas memberikan keuntungan atau nilai sosial. Kreativitas dapat dituangkan dalam berbagai media, seperti media tulisan, fotografi, dan ilustrasi. Bentuk kreativitas lainnya juga banyak mengalir dalam kegiatan sehari-hari kita, misalnya dengan memiliki hidup yang menyenangkan dan membahagiakan dan ataupun dengan upaya memenuhi beragam kebutuhan hidup dengan bekerja dan berkarya. Kreativitas muncul ketika manusia tiba pada moment yang mana suatu ide baru terbesit. Saat-saat penuh inspirasi ini sangat penting bagi setiap relasi yang terjalin dalam hidup ini, seperti hubungan keluarga, hubungan komunitas sosial, pekerjaan maupun bisnis. Disnilah sebuah produktivitas manusia dalam hidup segera dimulai. Segala sesuatu di dunia ini dibuat atau dibentuk dari sejumlah kecil unsur. Dalam fisika dikenal bahwa semua zat dibentuk dari partikel proton dan elektron. Dalam kimia pun kita ketahui bahwa berbagai jenis bahan kimia terbentuk dari senyawa karbon dan hidrogen. Berbagai karya tulisan, sastra dan ilmu engetahuan tersusun dari hanya 26 alfabet! Demikian halnya musik baik itu berupa musik klasik, rock n roll, reggae, pop tercipta dengan sebuah harmonisasi yang indah hanya dari 7 nada dasar! Apa yang dapat kita petik dari semua ini? Jawabannya adalah kreativitas. Kita dapat menciptakan banyak hal dari sumber daya yang terbatas dan dekat dengan kita. Saat inilah proses berkreatif berlangsung. Mengapa hal tersebut disebut kreativitas? kreativitas berasal dari kata dasar kreatif yang memiliki akar kata to create yang artinya mencipta. Inilah sesungguhnya Kuasa yang diberikan Tuhan (we are given the authority to use the Power of God,– Kita diberikan wewenang untuk menggunakan Kuasa Tuhan). Telah menjadi jelaslah bahwa ketika kreativitas ada, maka produktivitas pun lahir dengan sendirinya. Pemahaman kata produktif yang berarti sifat membuat/ melahirkan sesuatu, maka hidup produktif membutuhkan sebuah kreativitas agar hasilnya maksimal. Mungkin banyak dari kita yang merasa sulit menggali kreativitas diri, dan tulisan ini pun mencoba untuk mengatasi krisis kreativitas tersebut : Jadilah penjelajah pikiran Ciri orang yang kreatif adalah selalu terbuka dengan gagasan atau kemungkinan baru dan secara aktif mencari dan mengembangkan gagasan secara berkelanjutan. Seperti halnya penjelajah, seorang kreatif senantiasa berusaha mencari berbagai cara yang berbeda untuk mengerjakan sesuatu. Seorang penjelajah pikiran meyakini banyak kemungkinan, peluang, produk, jasa, teman, metoda dan gagasan yang menunggu untuk ditemukan. Mereka tidak takut dengan ketidaktahuan dan ketidakpastian karena Mereka yakin Seperti yang dikatakan Robert E. Peary,- penjelajah pertama yang mencapai Kutub Utara,-: In veniam viam aut faciam (I will find a way or make one – saya akan menemukan jalan atau membuat jalan baru). kesuksesan tidak datang dari mengikuti jejak orang lain, melainkan dengan mencari jalannya sendiri. Kembangkan pertanyaan Dengan mendalami dan mengembangkan pertanyaan, kita akan menemukan hal-hal baru. Contohnya bila kita mempertanyakan keberadaan anak jalanan? Anak jalanan adalah potret kehidupan anak dengan segala keterbatasan mencari dan mengisi hidup dijalanan untuk memperoleh rezeki.. Tetapi dengan menggunakan kreativitas, timbul banyak pertanyaan turunan dari pertanyaan tersebut, seperti, Bagaimana mereka hidup? Apa sih yang menyebabkan mereka ada dijalanan? Apakah mereka sekolah?di mana orang tua mereka? Nah, ini akan menjadi sebuah pertanyaan yang kompleks. Dengan terus berpikir dan belajar, maka kita akan menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tentunya tak sedikit dari jawaban tersebut dapat memberikan sebuah wawasan baru mengenai potret anak jalanan tersebut. Kembangkan gagasan sebanyak-banyaknya Jika membatasi diri dengan satu gagasan, satu jawaban, satu cara, dan satu kehidupan yang kita jalani, adalah sama halnya dengan kita tak akan pernah memperoleh hal-hal terbaik, yang dapat diberikan oleh kehidupan ini kepada kita. Ungkapan “banyak jalan menuju Roma” merupakan bagian dari naluri kreatifitas kita akan berbagai cara yang bisa dipergunakan dalam mencapai sebuah cita-cita. Langgar peraturan dan hancurkan kebiasaan lama Menjadi kreatif kerap berarti melanggar aturan atau pola-pola lama yang sudah ada, dan mengembangkan cara-cara baru untuk berbagai hal. Jika kita tidak memperoleh hasil yang baik seperti yang kita inginkan, baik dalam relasi sosial, pekerjaaan, maupun bisnis, cobalah untuk melakukan hal yang berbeda. Bagaimana anda mengharapkan hasil atau keadaan yang berbeda dengan apa yang anda miliki sekarang, jika anda tetap melakukan hal yang sama? Jika anda menginginkan hasil yang berbeda, lakukan hal yang berbeda. Keluarlah dari zona kenyamanan (comfort zone) dan lakukan sesuatu dengan hidup. Gunakan imajinasi Imajinasi tidak dibatasi oleh batasan dunia nyata. Imajinasi kita tidak mengenal batas dan apa pun yang ditangkap oleh pikiran kita dan kita yakini, akan dapat mewujud menjadi realitas. Imajinasi kreatif membantu kita untuk mengeksplorasi pilihan-pilihan atau opsi yang berbeda dan melihat banyak sekali skenario dan peluang hasilnya. Isilah sumber inspirasi kita Mengisi sumber inspirasi berarti mengembangkan diri untuk lebih waspada, menyeimbangkan kehidupan kita. Coba ingat pepatah Zen: ”The bow kept forever taut will break.” (Busur panah yang terus menerus ditarik, lama-lama akan patah). Peliharalah keseimbangan antara kerja dan relaks, antara privat dengan publik. Dengan melakukan interaksi dalam sebuah hubungan, maka semua itu bisa kita jadikan sebuah inspirasi dalam memotivasi diri agar tetap produktif selama kita menjalani hidup. Hidup produktif perlu ditanamkan dalam diri kita, ini bisa diawali dengan menggunakan kreativitas dalam memecahkan permasalahan apapun agar tercipta sebuah keanekaragaman dalam hidup kita. “BERANI BERPIKIR, BERANI BERTINDAK” (GDP)

SEBUAH PERMULAAN..?!!

oleh Yuken, Pendidikan sosiologi 04
KATA Mahasiswa mempunyai makna yang cukup sakral bagi sebagian besar dari kita. Dalam kosakata kita, kata mahasiswa tersusun atas 2 suku kata, yaitu maha dan siswa. Dalam bahasa Indonesia, selain Tuhan, hanya mahasiswa-lah yang menyandang predikat kata kata "maha" di depan namanya.Perasaan senang dan bangga tentu saja yang pertama kali di rasakan oleh teman-teman mahasiswa baru (MABA), yang berhasil diterima di kampus kita yang tercinta ini. "MPA Bukan Sebuah Proyek Pembentukan Idealisme terhadap maba" Ingat, maba tetap memiliki modal potensi dasar. Idealisme bukan sesuatu yang haram, tetapi waspadailah maba-maba kita dari bentuk idealisme tidak produktif dan berbau kepentingan!!!! Sebuah luapan perasaan yang wajar di rasakan mengingat ketatnya persaingan untuk masuk kampus ini. Akan tetapi tentunya diperlukan kesadaran pada mahasiswa baru bahwa tantangan segera akan dimulai.Para mahasiswa baru tentunya mempunyai asa untuk menjadi individu yang bermanfaat bagi semua. Ketika kalian mulai berkiprah di kampus ini. Bagi mahasiswa baru seharusnya bukan hanya kebanggaan yang harus kalian sandang ketika masuk perguruan tinggi. Jangan hanya bangga bahwa anda sanggup menyisihkan sekian ribu peserta yang tidak bisa masuk perguruan tinggi, Tetapi ingatlah bahwa pada saat kalian masuk perguruan tinggi, janganlah kemudian menjadikan perguruan tinggi sebagai "menara gading" yang hanya bisa di masuki oleh orang-orang yang punya uang saja. Hal ini mengingat bahwa biaya masuk perguruan tinggi menjadi semakin mahal dan anggaran pemerintah untuk pendidikan yang justru semakin kecil. Tetapi sadarlah untuk apa kalian masuk perguruan tinggi hanya untuk memperoleh ijazah dan kemudian kalian jadikan alat untuk mencari pekerjaan. Namun, beban penting yang harus dipikul adalah memperbaiki seluruh tatanan sosial, politik ekonomi, dan kemasyarakatan agar kelak menjadi lebih baik. Jadilah kaum-kaum terpelajar yang selalu berusaha untuk ingin menjadi lebih baik. Jadilah mahasiswa yang menjadi bagian dari sejarah bangsa ini. (YKN)

Masa Pengenalan Akademik

Oleh Candra Irawan H Sosiologi Pembangunan’05
BAGI mahasiswa/i baru kata MPA mungkin masih asing di telinga dan menjadi sebuah pertanyan, mungkin yang terlintas adalah sebuah ajang perpeloncoan senior terhadap junior. MPA (Masa Pengenalan Akademik) adalah kegiatan pengenalan universitas kepada mahasiswa/i baru. Di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) MPA dilakukan selama tiga hari dengan tujuan agar mahasiswa/i baru mengenal dan mengerti akan kegiatan civitas akademik dari mulai tingkatan Universitas hingga Jurusan. Pelaksanaan MPA dilakukan oleh panitia yang dibentuk dari mulai tingkatan Universitas, Fakultas dan Jurusan dan dalam kegiatannya dipantau dan diawasi oleh TIPE. Kegiatan MPA pun dimaksudkan untuk mengenalkan segala bentuk kegiatan akademik terutama yang berhubungan dengan administrasi mahasiswa/i hingga lembaga-lembaga pemerintahan baik itu OPMAWA maupun ORMAWA. UNJ yang berdiri dan berkembang sesuai dengan latar belakang sejarahnya, adalah untuk menghasilkan tenaga pendidik yang bermutu dan berkualitas demi memenuhi kebutuhan sistem pendidikan nasional, mengembangkan ilmu pendidikan serta menciptakan tenaga pendidik maupun non-pendidikan yang relevan yang diharapkan dapat bersaing dalam tataran global, dan inilah yang menjadi visi dari Universitas Negeri Jakarta. Ajang MPA menjadi tantangan tersendiri bagi UNJ untuk dapat secara relevan mampu mengenalkan UNJ dengan terbuka dan jujur kepada mahasiswa/i baru. MPA menjadi titik awal pembekalan mahasiswa/i tentang dunia kampus, dimana nantinya para mahasiswa/i diharapkan dapat menjadi pelaku atau agen perubahan dalam sebuah masyarakat dalam mengiringi proses pembangunan bangsa. Mahasiswa/i mempunyai tanggung jawab dan kewajiban terhadap perubahan, bukan hanya pada diri sendiri melainkan kepada masyarakat banyak. Mengerti akan keberadaan, kebutuhan dan posisi menjadi point penting bagi mahasiswa/i. Dengan memiliki kesadaran diri dan kepedulian yang tinggi terhadap realitas sosial adalah salah satu tujuan yang harus dicapai dalam pelaksanaan program MPA. Beberapa pihak menilai bahwa mahasiswa/i berada pada kelas menengah, berbeda ketika kita melihat Marx yang membagi masyarakat menjadi dua kelas, yaitu kelas penindas (borjuis) dan tertindas (ploletariat). Fungsi dan peran mahaiswa/i – pun dapat diputarbalikkan dalam praktiknya, apakah menjadi corong atau memihak kepada penguasa atau sebaliknya menjadi pembela rakyat atas kebijakan-kebijakan penguasa yang tak berpihak kepada rakyat. Jelas peran dan fungsi mahasiswa/i bukanlah suatu pilihan yang memberatkan dalam menentukan sikap di atas, karena esensi mahasiswa/i adalah kaum intelektual muda yang memiliki posisi tawar yang strategis untuk membela rakyat dari segala penindasan dan pembodohan, bukan itu saja bahwa mahasiswa/i adalah bagian dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ada beberapa hal yang menarik yang dapat kita amati dari pelaksanaan MPA, diantaranya adalah munculnya warna-warni yang menjadi ciri khas masing-masing jurusan yang ditampilkan melalui simbol-simbol perlengkapan MPA dan juga tema MPA di setiap jurusan. Ini jelas menunjukkan betapa majemuknya UNJ. Kita semua sangat berharap dari pelaksanaan MPA mahasiswa/i bukan lagi menjadi manusia tak tak mengerti dan memahami fungsi dan peran, untuk itulah hal ini menjadi tanggung jawab dan kewajiban segala pelaksana civitas akademik UNJ dalam mewujudkan apa yang menjadi motto UNJ yaitu "Building Future Leader" mempersiapkan pemimpim masa depan dan tentunya yang mampu bersaing dalam dunia global dengan kualitas individu yang mampu bersaing dan kompeten yang akan kembali ke masyarakat.