Friday, May 23, 2008

Sinopsis Novel “Laskar Pelangi”

Andrea Hirata dengan novelnya menawarkan sebuah cerita yang mengagumkan dan menyentuh hati setiap pembacanya. 10 anggota Laskar Pelangi beserta Bu Mus dan Pak Harfian telah mengajak pembaca untuk memahami karakter masing-masing, dengan bentukan tokoh-tokoh manusia sederhana, jujur, sabar, tawakal, gigih, religius dan semangat yang tak urung hilang. Penulis menggambarkan kemiskinan dari pelbagai hal, salah satu yang menjadi sorotan saya adalah seorang tokoh yang bernama Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus. Beliau adalah seorang pengajar di Sekolah Dasar Muhammadiyah di Belitong. Saat SD Muhammadiyah terancam ditutup dan Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel memperingatkan bahwa SD Muhammadiyah harus mempunyai murid 10 orang atau lebih. Bu Mus, Pak Harfian selaku Kepala Sekolah dan murid-murid lain cemas menunggu satu murid yang tak kunjung datang hingga batas waktu yang telah ditentukan. Akhirnya seorang anak yang bernama Harun yang didampingi ibunya datang menyelamatkan kehancuran SD Muhammadiyah.

SD Muhammadiyah adalah salah satu sekolah miskin dan satu-satunya sekolah di Belitong yang mengutamakan ilmu keagamaan. Mempunyai enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD dan sore untuk SMP Muhammadiyah. Keterbatasan kepemilikan seragam, ruang kelas yang luas, bangku tersusun rapi beserta mejanya dan papan whiteboard nampaknya tak menyurutkan niat sepuluh murid ini untuk mengenyam pendidikan. SD Muhammadiyah hanya mempunyai sebatang tiang bendera dari bambu kuning dan sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring di dekat lonceng yang terbuat dari besi bulat berlubang-lubang bekas tungku dan yang paling mengagumkan adalah keberadaan sebuah poster yang berada persis dibelakang meja Bu Mus, Poster ini memperlihatkan seorang pria berjenggot lebar, memakai jubah, dan ia memegang sebuah gitar penuh gaya. Pria tersebut terlihat melongok kelangit dan banyak sekali uang-uang kertas dan logam yang jatuh menimpa wajahnya. Tak lain tak bukan, itu adalah poster Rhoma Irama dengan tulisan dibawah poster “Rhoma Irama, Hujan Duit”.

Keadaan ini jauh dari kata mewah, bangunan dengan arsitektur megah, dan fasilitas yang lengkap seperti yang terdapat pada sekolah-sekolah PN Timah. Jangankan bangunan bergaya Victoria, sekolah ini bahkan sudah hampir rubuh jika hujan lebat beserta angina kencang. Sekolah ini tidak membebankan orang tua dalam hal pembayaran, maka dari itu perihal fasilitas yang seadanya, baju seadanya tanpa seragam dan dengan beralas sandal bukan sesuatu yang dipermasalahkan lagi bagi Bu Mus, Pak Harfiah maupun orang tua murid.

N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid atau lebih dikenal dengan Bu Mus, hanya mempunyai ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri), ia terus memajukan pendidikan Islam sesuai dengan cita-cita Ayahandanya, K.A. Abdul Hamid sebagai pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong. Apa yang dialami Bu Mus membuatnya dekat dengan dunia kemiskinan. Bagaimana tidak, beliau hanya dibayar beras 15 kilo setiap bulannya. Segala bentuk ajaran yang diberikan Bu Mus berupa pelajaran wajib dan Islam beliau ajarkan sendiri. Sudah tentu bayaran beras 15 kilo perbulan tidak mampu memenuhi biaya hidupnya. Maka dari itu beliau menerima jahitan hingga larut malam untuk mencari nafkah tambahan, menopang hidup dirinya dan adik-adiknya.

Terlepas dari kemiskinan yang melekat didirinya, Bu Mus adalah seorang guru yang pandai, karismatik dan memiliki pandangan jauh kedepan. Bu Mus selalu mengajarkan pandangan-pandangan moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi. Beliau selalu mengajarkan bagaimana menjalani hidup sesuai dengan ajaran-ajaran dan pedoman islam. Tak sering beliau mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Quran dengan indah dan bermakna.

Di SD Muhammadiyah ini, Bu Mus mendapatkan orang-orang yang luar biasa hebat, mereka adalah Lintang, Mahar dan Flo. Saat pertama kali beliau menemukan kejeniusan dan intelegensi tingkat tinggi didalam diri Lintang, tak henti-hentinya beliau mengucapkan Asma Allah, “Subhanallah... Subhanallah” sebagai kekagumannya pada sesosok anak lelaki yang dilahirkan oleh keluarga nelayan dan tinggal di pesisir pantai, jauh berpuluh-puluh kilometer menuju sekolah. Lintang selalu bisa memecahkan pelbagai pertanyaan dan soal-soal yang diberikan Bu Mus. Nilainya selalu sembilan, hanya pelajaran keseniannya saja yang mendapat nilai delapan di rapornya. Hingga pada suatu perlombaan cerdas cermat yang diadakan oleh PN, sekolah Muhammadiyah berpangku tangan pada kejeniusan otaknya. Benar sekali, dalam perlombaan tersebut Lintang membabat habis semua pertanyaan yang dilontarkan pembawa acara. Dan sejak saat itulah Sekolah Muhammadiyah tidak pernah dianggap sebelah mata lagi. Lain halnya dengan Mahar, anak yang satu ini sangat piawai dibidang kesenian. Reputasinya dalam kesenian sangat banyak memajukan Sekolah Muhammadiyah dikalangan masyarakat Belitong. Bakat seni fenomenalnya terdapat saat Bu Mus mempercayakannya mengikuti karnaval 17 agustusan. Dimana Mahar mengkoordinisir teman-temannya untuk memainkan tokoh-tokoh yang diperankan dalam pementasan tersebut. Dunia seni memang ditujukan untuk seorang anak yang selalu membuat Bu Mus kagum dan menggelengkan kepalanya setiap ada hal aneh yang dilakukannya, inilah Mahar. Sedangkan Flo, ia adalah anak salah satu orang penting di Perusahaan Timah PN. Namun ada keanehan dan ketidakbiasaan dari anak orang kaya lainnya, Flo tidak mau sekolah di Sekolah PN. Ia lebih memilih sekolah di Muhammadiyah yang 180 derajat berbeda dari sekolahnya dulu.

Sekolah Muhammadiyah memang sangat bermakna bagi siapa saja yang berada disana. Inilah yang membuat Bu Mus tidak pernah mengeluh mengajar murid-muridnya, dan pastinya saat perpisahan di kelas 3 SMP membuat beliau rindu mengajar murid-murid yang mengagumkan yang beliau sebut sebagai laskar pelangi.

Kemiskinan bagi N.A. Muslimah Hafsari Hamid bukanlah sesuatu yang memberatkannya, karena beliau selalu diajarkan hidup dalam kesederhanaan. Dan didalam keserhanaan itu, beliau terus belajar dan berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anak didiknya. Hanya satu yang beliau jadikan patokan hidupnya yaitu, amar makruf nahi mungkar. Beliau adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya, dimana beliau bisa dijadikan sosok seorang ibu, pengajar, dan juga seorang sahabat.

Tahun 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup, walaupun demikian sekolah ini tetap meninggalkan sejarah luar biasa. Nasib pun memberikan jalan pada Bu Mus, beliau mendapat kesempatan dari Depdikbud untuk mengikuti Kursus Pendidikan Guru (KPG) lalu diangkat menjadi PNS. Saat ini Bu Mus diangkat mengajar Matematika di SD Negeri 6 Belitong Timur. Selama perjalanannya menjadi seorang guru hingga 34 tahun, beliau tidak pernah lagi menemukan murid-murid sefenomenal Linyang, Mahar, Flo dan tentunya sehebat anggota Laskar Pelangi.

Dalam novel yang berjudul Laskar Pelangi ini, ada konstruksi sosial kemiskinan yang terlihat, misalnya pada cerita yang menggambarkan keadaan Sekolah Muhammadiyah di Belitong. Keadaan yang minim dan terkesan sekolah miskin ini ternyata telah melahirkan orang-orang yang luar biasa cerdas. Keterbatasan fasilitas dan ruang di Sekolah Muhammadiyah membuat murid-murid semakin kreatif dalam mencapai pendidikan. Karena untuk mendapatkan pendidikan tidak perlu kaya dan sekolah di sekolah ternama, namun dengan bersekolah di sekolah miskin pun, bisa mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik. Dengan kata lain kemiskinan bukanlah alasan untuk menggapai pendidikan yang lebih baik.

Penulis menggunakan kiasan / analogi yang sangat apik diiringi dengan penggunaan majas metafora yaitu suatu benda mati seolah-olah menjadi hidup. Selain itu penulis terlihat sangat terampil memadupadankannya kedalam sebuah cerita. Penulis bukan hanya memberikan kata kiasan pada sebuah kalimat agar menjadi apik, namun penulis juga tanpa disengaja telah menyisipkan beberapa pengetahuan untuk para pembacanya.

Bukan hanya kiasan yang menawan, gaya deskripsi yang penulis gunakan juga sangat detail. Misalnya dalam pendeskripsian Sekolah Muhammadiyah dan Sekolah PN, penulis menggambarkannya secara terperinci sehingga pembaca seolah mengalaminya langsung dan berada di lokasi tersebut. Empati pembaca inilah yang memperjelas adanya ketimpangan antara Sekolah Muhammadiyah dan Sekolah PN.

Dalam novel ini, ada struktur sosial yang terdapat di Belitong. Ada kelas atas, menengah dan bawah yaitu Orang-orang yang mempunyai peran penting di PN baik pengusaha maupun manajer PN itu sendiri yang menempati kelas atas, lalu di kelas menengah ada pegawai dan staf PN, di kelas bawah ditempati oleh masyarakat Belitong yang berada diseberang tembok tinggi, pembatas PN dengan masyarakat Belitong. Maka dari itu terdapat fungsi perbandingan didalamnya. Ada ketimpangan antara masyarakat Gedong di PN dengan masyarakat Belitong yang bersahaja walaupun terkesan sangat miskin.

Wita Andriyani Mahasiswa Sosiologi Pembangunan UNJ 05

Panaptikon dan Hegemoni Tubuh

Kapitalis menurut saya bukan hanya sebagai sistem ekonomi. Tapi dia adalah sebuah sistem kuasa dalam berbagai hal. Kebanyakan dari kita menganggap, kapitalis hanya mengambil nilai lebih seperti ide teori konflik Marx. Postmodernisme menemukan hal baru seiring dengan keberadaan teori-teori kebudayaan dan teori kritis. Mengawinkan kedua teori-teori tersebut, para ahli posmodernisme menukan adanya hegemoni dalam budaya yang dihasilkan sistem ekonomi kapitalis yang berhubungan dengan penubuhan. Tidak hanya tubuh perempuan, laki-laki yang diklaim dibenci feminis juga termasuk yang terhegemoni.

Dalam proses produksi, ada salah satu tahap dimana suatu barang perlu dipublikasikan (iklan). Dalam kaitannya dengan tubuh, stratifikasi sosial dalam kehidupan menjadi bertambah satu. Pertama, cantik(♀)/tampan(♂), kedua, lumayan/ga’ jelek-jelek amat (♀/♂),dan ketiga ancur (♂/♀). Meski ada yang bilang itu diferensiasi (hanya pembedaan dan tidak ada tingkatan yang tinggi, sedang dan rendah) namun saya akan tetap beraargumen itu merupakan stratifikasi. Why ? Karena saya yakin jika anda diminta memilih pacar atau pasangan hidup, maka anda akan memilih stratifikasi yang pertama yaitu cantik(♀)/tampan(♂).

Pada mulanya saya menganggap kalau tubuh saya ini bersifat naturalistik. Jika ibu saya berkulit coklat dan punya tubuh pendek dan “kawin” dengan bapak saya juga berkulit coklat dengan tubuh pendek, maka anda bisa liat saya sekarang seperti apa. Dan ketika saya tau bahwa ada mitos yang 75% saya percaya bahwa meminum air kelapa hijau saat mengandung dipercaya menjadikan anak yang lahir akan memiliki tubuh yang putih. Ada penyesalan dalam diri saya, namun ketika beranjak dewasa ada kesempatan lagi untuk merubah tubuh saya ini. Banyak di tv, majalah, koran, dan pacar saya mengiklankan betapa banyak produk yang bisa merubah kesempatan hidup. Kenapa kesempatan hidup ? anda ingat belakangan ini ada iklan yang menggambarkan tentang seorang wanita dengan rambut indah boleh ikut audisi padahal audisi sudah ditutup.

Tesis tulisan ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa pada dasarnya tubuh ini merupakan sesuatu yang sosial bukan natural. Persoalannya bagaimana tubuh dikonstruksikan dan mengapa ? Respon sosial yang berbeda dan kesempatan hidup yang berbeda pula ketika usia, gender, warna kulit, kecantikan, tinggi dan berat badan dipertanyakan dan diperhatikan. Sebenarnya siapa yang menjadi dalang sehingga wacana ini menjadi sangat horor dan mengancam ? Pertanyaan tersebut sebaiknya kita jawab bersama dengan diskusi, saya hanya sebagai pembawa wacana.

Dalam tulisan ini saya hanya akan menggunakan satu tokoh sosiologi yang terkenal akan Discipline and Punish yang didalamnya terdapat konsep panaptikon Foucault dalam menjelaskan konsepnya tentang pendisiplinan yang menjelaskan bagaimana kuasa atas tubuh berlangsung secara otomastis, anonim, dan hegemonistik. Ada dua jenis tubuh yang akan saya paparkan, pertama tubuh sosial, yaitu suatu tubuh ideal yang dikonstruksikan masyarakat lewat interaksi dan budaya. Dan kedua tubuh fisik yaitu tubuh secara kasat mata. Mary Douglas bilang dalam bukunya Natural Symbol “tubuh sosial memaksakan suatu cara agar tubuh fisik dapat diterima”. Dari kalimat yang singkat ini, isinya mendukung konsep Foucault. Ada tiga inti yang sangat jelas dalam kalimat tersebut, Pertama, tubuh sosial dipuja dan dibentuk oleh sesuatu, kedua ada unsur pemaksaan agar tubuh fisik bisa diterima, dan yang ketiga untuk itu ada caranya. Mari kita diskusikan ................................

Lihat : Anthony Synnott, Tubuh Sosial, 2007, Jalasutra. Chris Shilling, The Body and Social Theory,edisi kedua 2003, London, Sage Publication. Dani Cavallaro, Critical and Cultural Theory, 2004, Niagara.

Dian F.

Sosiologi Pembangunan UNJ 03’

for DKS 10 Jan 08

THE AMAZING GRACE; Based On True Story Films.

“”

KISAH PERBUDAKAN YANG DRAMATIS.[1]

Oleh A.S. Anam

Mahasiswa Sosiologi Pembangunan UNJ 03

Pada abad ke 18 atau lebih tepanya tahun 1799, di Inggris. Perdagangan manusia atau disebut sebagai perbudakan menjadi hal yang sangat lazim dan biasa, karena pada saat itu banyak imigran Afrika diperdagangkan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan perkebunan dan gula. Sebagai buruh yamg majikannya pengusaha yang juga bekerja sebagai anggota parlemen Inggris ( perlu diketahui bahwasanya Inggris didirikan oleh budak Afrika yang diperdagangkan ). Para buruh itu terdiri dari wanita, anak – anak, dan orang dewasa. Mereka diperdagangkan karena di Afrika sendiri dikuasai oleh bangsakulit putih, contoh Perancis, Inggris, serta Spanyol, dan tidak ada lahan pekerjaan.

Dalam film the Amazing Grace, diceritakan penderitaan, penindasan, yang dialami oleh para budak Afrika. Mereka dibayar dengan sangat murah, gaji mereka dirampas oleh majikannya untuk digunakan membeli pelacur, dan membeli budak yang lain. Untuk mengangkut para budak, pengusaha menyediakan sebuah kapal yang diberi nama, kapal budak. Didalam kapal itu terdapat ribuan budak, mereka ditempatkan disebuah geladak yang hanya berukuran 3 meter. Selama perjalanan mereka diberi makan sehari sekali, padahal mereka menempuh perjalanan selama 3 bulan. bahkan untuk membuang hajat, mereka harus melakukannya ditempat itu juga. Dan ketika mereka sampai di perkebunan Jamaika, tempat berlangsungnya kegiatan pabrik, banyak yang mati karena kelaparan

Selain itu, di film ini diceritakan ada seorang anggota parlemen ( kaum borjuis ), bernama William Willberforce, yang selalu berjuang untuk mengakhiri perbudakan di Inggris. Dia selalu mendapat pertentangan dari pengusaha dan anggota parlemen yang menolak gagasannya untuk membuat Rancangan Undang – Undang larangan perbudakan. Mereka beralasan jika perbudakan dilarang, sama saja dengan beralihnya pabrik – pabrik perkebunan dan gula ke tangan Perancis, dan akan mengancam finansial industri besar di kota Boston, Paris, Liverpool, New York, dan London. Sebagai pusat perbudakan di dunia dan mengakibatkan pengusaha menutup pabriknya dan terancam tidak bisa memberi makan dan nafkah bagi keluarganya.

Dalam usahanya meyakinkan pemerintah mengakhiri perbudakan, Willber membuat petisi yang isinya berupa tanda tangan anggota parlemen yang mendukung perjuangannya, lalu para mantan budak, dan masyarakat yang menolak perbudakan. Ada sebuah drama dimana dia ditantang oleh seorang pengusaha berjudi. Bila pengusaha itu kalah, dia akan menyerahkan budaknya kepada Willber. Tapi dia menolaknya dan meminta pengusaha tadi membebaskan budak itu. Dia juga mengundang para gelandangan, pengemis, pelacur, untuk makan malam di rumahnya.

Yang membuat dia sangat kuat untuk membela kaum tertindas adalah dia merasa Tuhan sangat dekat dengannya, demi Tuhan akan ku akhiri penderitaan in, begitu teriaknya di belakang rumahnya. Willber mempertaruhkan dirinya, keluarganya, kekayaanya, derajatnya sebagai kaum borjuis, dan anggota parlemen untuk menciptakan keadilan. Bahwa Tuhan menciptakan manusia sama, dan harkat, derajat budak harus di selamatkan,,, serunya di hadapan anggota parlemen.

Di akhir film, parlemen menyetujui rancangan undang- undang larangan perbudakan di Inggris menjadi undang – undang. Dan setelah itu, Willber terus berkampanye tentang keseteraan pendidikan, kesehatan, dan penjara, hingga akhir hayatnya. Sir William Willberforce wafat pada tahun 1833, dan dimakamkan di Westminster Abbey, bersebelahan dengan makam sahabatnya William Pitt.


[1] Untuk diskusi kamis sore, the Amazing Grace, Kamis, 17 April 08.

Patriarkhat & Kapitalisme ;

Konflik Laten, Pernikahan, dan Buah dari KeduanyaÓ

Menurut anda, siapa yang lebih dahulu muncul dan siapa yang mencintai lebih dahulu ? Itu salah satu pertanyaan yang akan saya jawab dalam tulisan ini. Dalam pencarian ilmu di kampus ini, saya bertanya-tanya dalam hati mengapa laki-laki dan perempuan ditakdirkan (atau memang takdir yang direncanakan) berbeda dalam status social. Pertanyaan ini terjawab ketika saya menemukan tulisan yang diberikan dosen pembimbing yang berhubungan dengan tugas akhir. Meskipun argumennya tidak sepenuhnya bisa dipercaya dan harus kita kritisi, setidaknya menawarkan rasa penasaran tersebut. Dalam diskusi ini saya ingin menceritakan dari segi sosiologi dan antropologi perhelatan antara patriarkhat dan kapitalisme sebagai sebuah system yang menjadi pengaruh paling besar dalam hidup semua mahluk dibumi selain cinta dan agama.

Sebelum kapitalisme, ternyata patriarkhat telah lahir lebih dahulu. Perempuan dan anak sebagai bagian dari keluarga telah dikendalikan oleh sang ayah (laki-laki) sebagai tenaga kerja, dengan demikian pada saat itu laki-laki mempelajari teknik organisasi dan kontrol yang bersifat hirarkis. Setelah kemunculan negara dan system ekonomi yang didasari oleh penyerahan kewajiban individu demi hak yang akan didapat oleh individu (pertukaran) dan unit produksi yang lebih luas, maka muncul pemisahan antara publik dan privat. Kemunculan ini membuat masalah dalam patriarkhat, sehingga mereka harus mempertahankan kontrol mereka atas tenaga kerja perempuan dan anak. Setelah negara dan system ekonomi tercipta, maka kontrol tersebut kemudian dibagi kepada mereka. Kemudian kontrol menjadi lebih kuat dan tersebar, karena istitusi masyarakat telah turut campur membahas ini dan kontrol personal (laki-laki) menjadi kontrol impersonal (masyarakat). Pada akhirnya abad ke-15 ditandai dengan kemunculan kapitalisme dengan membawa simbol-simbol ekonomi. Disinilah konflik laten tersebut mulai muncul, hingga akhirnya ada kesepakatan “menikah sirih” diantara mereka. Kapitalisme ternyata melahirkan institusi baru yakni “pasar tenaga kerja bebas” yang mengancam menghancurkan kontrol patriarkhat atas tenaga kerja perempuan yang telah ada sebelumnya. Pasar tenaga kerja bebas menjunjung tinggi tenaga kerja yang murah namun pekerja keras tanpa memandang jenis kelamin ras dan etnis. Munculnya kapitalisme mengancam membawa perempuan dan anak dalam pasar tenaga kerja bebas dan akan menghancurkan keluarga dan basis kekuasaan laki-laki terhadap perempuan dalam arti kontrol tenaga kerja dalam keluarga. Pernikahan mereka bukan atas dasar cinta tulus, namun dilatarbelakangi oleh banyaknya kepentingan. Kaum radikal memberikan pandangan bahwa peran laki-laki sebagai kapitalis membentuk hirarki dalam proses produksi dengan tujuan mempertahankan kekuasaan mereka (laki-laki). Kapitalis yang ingin menerapkan pasar tenaga kerja bebas tidak sanggup mengalahkan patriarkhat sebagai system. Hingga akhirnya mengambil jalan tengah dengan membagi pasar tenaga kerja menurut jenis kelamin, ras, dan etnis. Jalan ini mengakibatkan kapitalis dan patriarkhat tetap berjalan sebagaimana mestinya; kapitalis tetap dengan upah kerja yang murah dan patriarkhat tetap dengan kekuasaannya hingga berbuah pembagian kerja menurut jenis kelamin. Pembagian kerja menurut jenis kelamin ini mempertahankan superioritas laki-laki atas perempuan yang berakibat upah perempuan menjadi lebih murah daripada laki-laki. Keadaan ini mengakibatkan ketergantungan yang amat sangat terhadap perempuan atas laki-laki dan mendorong perempuan untuk kawin. Laki-laki dengan kuasa yang telah berjalan sebelumnya mengharuskan perempuan bekerja dalam rumah tangga (mengurus suami dan anak). Pembagian kerja dalam rumah tangga (laki-laki mencari makan dan perempuan mengurus rumah) melemahkan posisi wanita dalam pasar tenaga kerja; dan kehirarkisan tersebut (pembagian kerja dalam rumah tangga) dilestarikan pasar tenaga kerja, demikian sebaliknya. Pernikahan antara keduanya melahirkan lingkaran setan bagi perempuan hingga saat ini.

Dalam sebagian pandangan antopologi, dominasi laki-laki telah hadir saat awal perkembangan manusia. Levy-Straus berpendapat bahwa subordinasi wanita sebagai proses ciptaan masyarakat. Perkawinan menurutnya menghilangkan otonomi keluarga sebagai suatu kesatuan yang utuh. Pertukaran wanita menciptakan ketergantungan antara keluarga dan menciptakan kehidupan bermasyarakat. Jika dikatakan bahwa jenis kelamin tertentu harus melakukan kegiatan tertentu, maka jenis kelamin lain dilarang melakukan kegiatan tertentu tersebut. Jadi menurut Levy, ini merupakan suatu gejala yang universal, meskipun pembagian tugas (kegiatan) tersebut berbeda dalam setiap masyarakat. Dilain pihak, ada antropolog lain yang menolak gejala tersebut sebagai sesuatu yang universal. Penelitian Draper pada beberapa kelompok suku Kung di Afrika Barat membantah universalitas tersebut. Perempuan disana pada periode berburu dan mengumpulkan makanan punya otonomi dan pengaruh yang besar, hingga akhirnya laki-laki mulai mengambil alih pekerjaan mengembala dan bertani. Keadaan tersebut membuat perempuan untuk lebih dekat dengan pekerjaan rumah tangga. Meski masih nampak kaku (pada saat itu), pembagian kerja menurut jenis kelamin membuat laki-laki mulai mengenal harta sebagai milik mereka (daripada menganggap itu sebagai milik bersama). Pada intinya menurut aliran ini, ada tiga variable yang menerangkan kemunduran status social perempuan, (1) perempuan kehilangan kontrol kemapanan dalam hal produksi karena berubahnya metode produksi dan pengurangan partisipasi; (2) perempuan yang awalnya sebagian besar mengabdi pada masyarakat (kelompok keluarga) menjadi berfokus pada keluarga batih; (3) negara sebagai hasil dari kekuasaan laki-laki terhadap laki-laki lain merubah kultur kekeluargaan kelompok menjadi keluarga inti. Dengan mekanisme tersebut pembagian kerja menjadi hirarkis. Analisi yang terakhir ini menolak anggapan bahwa pembagian kerja menurut jenis kelamin dan berhirarkis bukan karena proses ciptaan masyarakat, namun sebagai hasil perubahan kondisi social (dan yang mengubah adalah laki-laki) dan pada awalnya tidak bersifat universal. Meskipun pandangan antropologi masih terpecah tentang asal-usul patriarkhat, namun sebagian besar telah setuju bahwa patriarkhat telah ada jauh sebelum kapitalisme muncul.

TERIMA KASIH.

Dian. F

Mahasiswa Sosiologi Pembangunan UNJ 03

e-mail:jambronks09@yahoo.com

Save DKS


Ó Tulisan ini di rangkum dari Heidi Hartmann dengan judul Kapitalisme, Patriarkhat, dan Segregasi Pekerjaan Menurut Jenis Kelamin dalam buku Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan dan Konflik, Anthony Giddens dan David Heild untuk DKS yang saya rindu keabadiannya.

UN SOSIOLOGI BENARKAH SUDAH SOSIOLOGIS

Oleh; Wahyu (Wajenk)

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNJ 05

UN alias ujian nasional yup, momok bagi para pelajar ini tak terasa sudah 5 tahun berjalan, walaupun sudah banyak kritik yang dengungkan dari berbagai pihak agar pemerintah menghentikan/ paling tidak merubah system ini toh pemerintah tak bergeming dengan alasan “mengejar” kulitas pendidikan Negara lain, pemerintah terus menjalankan system UN ini, padahal kenyataannya hampir semua infrastruktur di lapangan belum mendukung dunia pendidikan Indonesia untuk melakukan system penilaian berupa UN ini.

Tahun ini kembali sekolah-sekolah di Indonesia di sibukkan dengan persiapan UN , yah semua sekolah semua standart (internasional,nasional maupun sekolah “perjuangan”), dengan nilai standart yang kembali di naikkan menjadi 5,25,dan mata pelajaran yang di tambah ,sekolah harus mencari cara agar semua siswanya bisa lulus,karna secara tidak langsung banyak tidaknya siswa yang lulus sangat mempengaruhi “Akreditas/ status sekolah” , makanya jangan heran jika sehabis pelaksanaan UN ,bermunculan “isu” tentang “kecurangan yang di lakukan sekolah secara “berjamaah” demi mencapai target kelulusan.

Khusus untuk program IPS, Sosiologi menjadi salah satu mata pelajaran yang di masukkan ke dalam UN, di satu sisi saya yakin seluruh masyarakat sosiologi sangat bangga, karna dengan di masukkannya sosiologi ke dalam UN, tentu ada “prestice” sendiri dalam benak masyarakat sosiologi , karna otomatis Sosiologi tak lagi hanya di anggap” pelajaran yang pengisi waktu luang” , tetapi saya juga yakin ada “penolakan” dalam hati masyarakat soiologi bila melihat kisi-kisi soal Sosiologi di UN, yup..,soal sosiologi berbentuk PG alias pilihan ganda sungguh membuat miris karena sebagai cabang ilmu social, nilai dasar sosiologi ialah membuat orang yang mempelajarinya dapat berpikir imajiner dan kritis dalam memberikan pendapat, nah kalau bentuk soalnya PG, kami (masyarakat sosiologi) beranggapan bahwa sosiologi bisa kehilangan “identitas” , karna apabila sosiologi di terjemahkan ke dalam soal yang berbentuk PG, kami khawatir para siswa nanti tidak terbiasa menganalisis sesuatu secara “sosiologis”, serta kurang bisa membuat perencanaan strategis alias terbiasa dengan model perencanaan yang praktis.

Menurut Friere tugas dari ilmu / teori social ialah melakukan apa yang di sebutnya sebagai Conscienstizacao atau proses penyadaran terhadap system dan struktur yang menindas, yakni suatu system dan struktur “dehumanisasi” yang membunuh kemanusiaan, dan Friere juga membahas bagaimana pendidikan yang menjadi bagian masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut ,serta pendidikan bukan lagi area netral tentang estetika belaka , melainkan sudah berada di dalam suatu system dan struktur yang bersifat hegemonic, hal ini menurutnya sudah sangat jauh dari landasan pendidikan yang menurutnya adalah “proses memanusiakan manusia kembali” .[1]

Dengan menggunakan analisa di atas kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya pemberian soal Sosiologi dalam UN sama sekali tidak bersandar pada apa yang sudah menjadi “Pakem “ teori ilmu social dan paradigma Sosiologi yang sudah menjadi suatu kiblat bagi kami ( masyarakat sosiologi) dalam mempelajari disiplin ilmu kami ( Sosiologi ).

Tampaknya yang dosen saya bilang,“ bahwa di sekolah-sekolah Indonesia sangat kurang SDM dari sosiologi benar adanya, karena dari beberapa kali obsevasi saya ke sekolah-sekolah ( berkenaan dengan tugas ), sangat terlihat betapa mereka tak mengerti bahkan terkesan “meremehkan” terhadap mata pelajaran yang bersifat social ( kecuali ekonomi) , yah wajar aja karna selain gurunya bukan orang sosiologi , reorientasi sosiologi di sekolah-sekolah ini sangat rendah, bahkan ada satu sekolah yang “kehilangan”guru sosiologinya menjelang UN berlangsung ( miriskan ).

Kalau boleh memberikan pendapat mungkin hal yang terjadi pada ilmu sosiologi di Indonesia akibat mungkin dari rendahnya reorientasi sosiologi di Indonesia , wajar aja sudah bertahun-tahun bangsa ini menetapkan reorientasi Ekonomi di atas segalanya, padahal di abad modern ini peperangan yang terpenting adalah berperang secara “Ideologi” (Gramsci ) , dan untuk itulah saya anggap sangat perlu reorientasi secara sosologis , untuk dapat menjabarkan segala abstraksi masyarakat yang terus mengalami dinamika (perubahan social ), dan percayalah bahwa bukan ekonomi lagi yang akan menjadi “The Queen of The Social Sciences”, tetapi sosiologilah yang mengulur tangannya kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu.

Nah semakin jelas sudah kenapa kekhawatiran ini muncul, layaknya anak berumur lima tahun yang sudah bisa mengenali suatu objek, maka hendaknya pula perlu adanya evaluasi dari semua pihak yang terkait dengan UN khususnya (Mendiknas),untuk lebih bisa melihat realita pendidikan kita, seperti lomba lari para peserta takkan mau di kejar oleh peserta lain,pun begitu juga pendidikan, ketika tujuan kita hanya mengejar kualitas pendidikan negara lain, mereka (Negara lain) akan berlari lebih kencang, dan kalaupun kita dapat mengejar, mereka sudah tersenyum dengan memegang piala kemenangan mereka.


[1] Mansour Fakih , Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi

Kebangkitan Nasional

Mari kita bersama–sama menangisi Indonesia, yang tak pernah bisa belajar dari kesalahan masa lalu. Bangsa ini sepertinya butuh pertolongan cepat, untuk bisa keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi. Coba kita tengok permasalahan yang mendera bangsa ini datang silih berganti, tanpa ada yang bisa menahannya. Mulai dari soal politik, ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, kesehatan, alamak terlalu berat dosa yang di tanggung bangsa ini karena sudah menipu rakyatnya sendiri!.

Bangsa Indonesia hingga kini masih gemar saling menyalahkan, selalu saja mencari kambing hitam atas penderitaan rakyat. Sementara itu negara-negara tetangga, seperti Vietnam yang telah merumuskan berbagai strategi guna menjadi negara terdepan dalam urusan pendidikan dan ketahanan pangan. Malaysia berkembang sangat cepat menjadi negara dengan tingkat pertumbuhan ekonominya yang tinggi di kawasan Asia Tenggara. Singapura, negara yang luas wilayahnya hanya setara dengan luas wilayah Jakarta Pusat, sudah sejajar dengan Jepang. Dan Indonesia masih saja tertinggal, krisis pangan, krisis energi, maupun krisis sumber daya telah menjadi pemandangan sehari-hari. Indonesia sudah menjalani satu abad kebangkitan nasional, namun tanpa mendalami maknanya. Bangsa kita masih saja bangga dengan sebutan bangsa kaya sumber daya alamnya, Tetapi tingkat kemiskinan dan pertumbuhan ekonominya terburuk di kawasan Asia. Kita terlena oleh kekayaan itu tanpa bisa mengelolanya untuk kemaslahatan bersama, bangsa ini benar–benar terpuruk selamanya, setidaknya untuk saat ini.

Bangsa ini sudah di pimpin oleh 6 presiden yang latar belakangnya beragam, mulai dari kalangan intelektual, militer, nasionalis, dan agamawan. Masing–masing dengan karakter dan ciri kerja yang berbeda–beda, dan masing–masing dengan prestasinya sendiri. Soekarno – Hatta yang melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan, Soeharto dengan ketahanan pangan dan swasembada berasnya, Habibie dengan menumbangkan kekuasaan diktator orde baru, dan Megawati & Gus Dur dengan kebebasaan berpendapat, serta yang terakhir Susilo Bambang Yudhoyono dengan pemilihan langsung kepala daerah. Tetapi menurut Franz Magnis Suseno, Guru Besar Filsafat Driyakarya, tak ada satupun pemimpin yang mampu mengatasi penyakit kronis bangsa ini. 1. keadilan sosial, 2. penegakan hukum. Memang betul bahwasanya bangsa ini memerlukan lebih dari sekedar tindakan nyata agar setiap kebijakan yang menyangkut hajat hidup rakyatnya sendiri, dapat mengurangi beban hidup yang terasa semakin berat saja.

Jika kita mendiskusikan tentang keadilan sosial dan penegakan hukum, yang sepertinya menjadi barang mahal di negeri ini. Kita patut merasa prihatin tapi bukan berarti kita diam saja. momen 1 abad kebangkitan nasional semestinya kita artikan sebagai langkah awal save our nation. Tak ada yang tak mungkin dari dunia ini, ke depan beban hidup akan semakin berat dengan rencana pemerintah menaikkan BBM akhir Mei. Kita juga harus sadar bahwa beban pemerintah, beban rakyatnya juga. Krisis pangan, gizi buruk, kelaparan, korupsi, kemiskinan, pengangguraan tinggi, adalah sebagian pengaruh dari tidak diwujudkannya keadilan sosial dan penegakan hukum di negeri ini.

Mungkin rakyat di negeri ini sudah bosan dengan janji–janji politik yang disuguhkan di setiap pergelaran pemilihan umum. Perubahan menjadi kata kunci menuju Indonesia baru, yang lepas dari dera kemiskinan, korupsi, dan terbelakang. Mahathir Mohammad, mantan perdana menteri Malaysia, mengatakan pondasi negara supaya maju adalah dari sektor pendidikan, dan Malaysia sudah memulainya dengan menganggarkan sekitar 25 % untuk pendidikan. Sementara bangsa ini masih berkutat di angka 12 % untuk menyukseskan Indonesia maju pada tahun 2030, mengenaskan!

So, save our nation harus dimulai dari kemauan pemimpinnya sendiri, seberapa jauh mereka menginginkan Indonesia yang sejahtera, gemah ripah loh jinawi. Nietzsche mengatakan ada satu masa satu–satunya kebijakan pemerintah adalah kebijakan pendidikan. Sebenarnya, ini masalah kita memerhatikan pendidikan dengan sungguh–sungguh. (tim dks).