Monday, January 24, 2011

PEREMPUAN DALAM JEJAK-JEJAK EKSISTENSIALISME

“One is not born, but rather becomes a woman” (Simone de Beauvoir)

1. SIAPAKAH PEREMPUAN?

Dalam banyak kajian tentang Feminisme—baik itu Feminisme Liberal, Sosialis, dan Radikal. Pembahasan mengenai kaum perempuan telah menghasilkan sejumlah tafsiran. Feminisme Liberal menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia—demikian menurut mereka—punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.

Sedangkan untuk Feminisme Sosialis, lebih menekankan atas perjuangan penghapusan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender. Seperti dicontohkan oleh seorang tokoh teori kritis, Nancy Fraser. Di Amerika Serikat, keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat masalah-masalah kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

Pada apa yang disebut dalam Feminisme Radikal. Negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda serta berasal dari teori pluralisme (keberagaman) negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksi menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentingan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memang memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cenderung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara.

Dari ketiga pandangan Feminisme diatas, secara langsung memang tidak menekankan pada pertanyaan “siapakah perempuan?” Melainkan bagian dari upaya untuk menerjemahkan perempuan dalam lingkup relasinya (keterhubungan) dengan lingkungan disekitar mereka (Negara, kebijakan-kebijakan, sistem politik-sosial-budaya-ekonomi, dan lain lain). Jarang ditemukan pengkajian ilmiah yang secara tegas berusaha untuk menjelaskan perempuan dalam konteks subjek eksistensi hidupnya. Mungkin, pendekatan melalui aliran Feminisme Eksistensialisme adalah yang cukup tepat.

2. FEMINISME EKSISTENSIALIS

Dalam tradisi feminisme, setidaknya untuk di Indonesia, eksistensialisme lebih berarti sebagai suatu kajian filosofis. Ia belum banyak dikenal sebagai gerakan baru dari feminisme. Dengan demikian, perlu kiranya kita memahami serta mengenali feminisme eksistensialis dalam kerangka kajian feminisme itu sendiri, dan ditambah dengan refleksi filosofis mengenai eksistensi manusianya.

Feminisme Eksistensialis baru menemukan wajahnya ketika tokoh feminis asal Perancis, Simone Ernestine Lucia Marie Bertnand de Beauvoir, atau yang lebih dikenal Simone de Beauvoir. Untuk pertama kali mengikutsertakan konsep “keberadaan” milik Jean-Paul Sartre, dalam mengkaji feminisme.

Menurut Sartre, terdapat tiga modus “Ada” pada manusia, yaitu Ada dalam dirinya (etre en soi), Ada bagi dirinya (etre pour soi), dan Ada untuk orang lain (etre pour les autres). Etre en soi adalah keberadaan yang penuh, sempurna, dan digunakan untuk membahas obyek-obyek yang non manusia karena tidak berkesadaran. Sedangkan etre pour soi mengacu pada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran, yang merupakan ciri khas manusia.

Konsep Sarte yang paling mendekati feminisme adalah etre pour les autres. Ini adalah kajian filosofis yang melihat relasi-relasi manusia. Seperti halnya relasi kaum perempuan dengan kaum lelaki yang banyak dijelaskan oleh teori feminisme. Laki-laki mengobyekkan perempuan. Jadi, laki-laki adalah subyek dan perempuan adalah obyek. Banyak nilai-nilai keidealan yang dianut perempuan, merupakan buah penilaian laki-laki atas perempuan. Setiap nilai mengandung subyektifitas proyeksi serta persepsi kaum lelaki, dan terkristalisasi menjadi suatu keidealan. Sebagai contoh, dalam keyakinan-keyakinan perempuan, kecantikan fisik seorang perempuan yang perlu dibangun adalah kecantikan versi laki-laki. Meliputi diantaranya, rambut panjang, kulit putih bersinar, serta tubuh yang semampai. Termasuk didalamnya mengenai gaya berpakaian kaum perempuan. Lebih dari itu, pola karakter serta sikap tingkah laku perempuan juga ikut diatur. Perempuan yang ideal dimata lelaki adalah perempuan yang tutur katanya sopan, halus, lemah lembut sikap perilakunya, dan lain-lain. Penulis melihat, semua nilai itu tak ayal mengasingkan perempuan dari konsep otentik yang bersifat subjektif tentang eksistensi/keberadaan seorang perempuan. Untuk menghindar dari keterasingan, perempuan perlu bersikap tegas dalam menerima posisi obyek. Tegas yang dimaksud disini adalah, perempuan harus memahami serta memikirkan kembali setiap nilai yang diterimanya dari kaum lelaki, dan mempertentangkannya dengan sisi subjektif yang dimiliki kaum perempuan. Inilah titik awal perempuan yang bereksistensi. Perempuan yang coba menerjemahkan perihal keberadaannya didunia ini. Tidak terkecuali mengenai relasinya dengan para lelaki.

Senada dengan Simone de Beuvoir, tentang hubungan kaum perempuan dan kaum laki-laki. Perempuan menjadi “yang lain” dimata laki-laki sebagai “diri”. Jika “yang lain” adalah ancaman bagi sang “diri”, maka perempuan adalah ancaman bagi kaum laki-laki. Karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya. Menurut Beauvoir, laki-laki dapat menguasai perempuan dengan menciptakan mitos bahwa perempuan yang dipuja laki-laki adalah perempuan yang mau mengorbankan dirinya untuk laki-laki. Menurut Margaret A. Simons, ada dua elemen dalam konsep feminisme eksistensialis Simone de Beauvoir. Pertama gender dikonstruksi secara sosial, hasil dari sosialisasi masa kanak-kanak perempuan. Beauvoir mengatakan, bahwa bukan takdir ekonomi, biologis, dan psikologis yang menentukan figur manusia, melainkan peradaban (civilization). Selama ini perempuan dikonstruksikan sedemikian rupa untuk menjadi perempuan yang diinginkan masyrakat. Sekali lagi, perempuan hanya menjadi obyek dalam berbagai aspek, dalam berbagai bentuknya.

Kedua, gender merupakan suatu proses menjadi, karena itu mengandung makna pilihan dan perubahan (choice and change). Gender adalah proses terbuka terhadap tindakan sosial dan pilihan individual. Judith Butler menyebut elemen kedua ini adalah elemen yang paling mewakili sisi eksistensialis dari feminisme Simone de Beauvoir.

Melalui penjelasan diatas, maka dapat ditarik satu garis besar bahwa, feminisme eksistensialis mengajak perempuan untuk menolak segala bentuk opresi—baik itu melalui nilai budaya, kondisi sosial, ekonomi, dan lain-lain—yang dapat mendiskriminasikan perempuan atas hak serta kebebasannya, dan bisa menghilangkan sisi keberadaan/eksistensinya sebagai manusia. Dalam konteks relasi perempuan dan laki-laki di lingkungan masyarakat seperti saat ini, hal yang perlu dilakukan perempuan adalah menghidupi sisi subyektif yang dimilikinya. Ini melihat karena kiranya hampir tidak mungkin seorang perempuan, bahkan juga laki-laki, dalam proses interaksinya menjalin relasi kepada sesama, mampu menghindar dari posisi obyek. Kita boleh saja menerima posisi itu, dengan catatan tidak mematikan sisi subyektif didalam diri kita. Karena hanya dengan menjadi suyektiflah kita dapat melakukan serangkaian aksi berkesadaran dalam memilih pilihan hidup. Hendak kemana dan bagaimana kehidupan kita berjalan, adalah pertanyaan yang hanya mampu dijawab oleh manusia yang telah matang dalam mengelola sisi subyektifnya. Begitupun dengan pertanyaan “siapakah perempuan?” Setiap perempuan, tanpa terkecuali, akan dapat memecahkan teka-teki hidupnya, jika terlebih dahulu perempuan itu menyadari bahwa, ia juga manusia yang memiliki kebebasan dalam memilih serta menentukan arah hidup. Ia bukanlah robot yang dikendalikan dari jauh, dalam jarak yang sulit terjangkau, melainkan hidupnya adalah begitu dekat dengan dirinya. Setiap saat, kapanpun dan dimanapun, ia dapat berinteraksi secara baik dengan dirinya. Hal yang juga perlu dilawan oleh perempuan adalah, segala bentuk internalisasi gagasan yang dapat membatasi, memberi jarak atau bahkan menfragmentasi perempuan dengan dirinya.

Seperti yang terpaut dalam kalimat Simone de Beauvior: “One is not born, but rather becomes a woman”. Kehidupan yang dijalani perempuan adalah serangkaian proses menjadi. Pengelamannya adalah pengalaman perempuan, sebagai subyek, yang coba mengalami serta berusaha menjadi.

Salam, ArisNya

No comments: