Tuesday, August 19, 2008

Industri Demokrasi dalam Media

Oleh Dian Fitriansyah
“Pilih Ucup ya…, caranya ketik IDOL(spasi)UCUP kirim ke 9090”. Anda pasti mengerti maksud dari frase pembuka tersebut. Rasanya bukan saya saja yang mengalami kekhawatiran jika menyimak pemberitaan di layar kaca dalam lima tahun terakhir ini. Sebagai pemirsa, saya menyaksikan betapa cepat drama kehidupan berganti lakon. Pemirsa televisi seolah digiring dalam satu fragmen ke fragmen lain yang semua perannya telah diatur sesuai trend pada masanya. Setelah sebelumnya, media menayangkan hal-hal yang bernada agama seperti sinetron "Rahasia Illahi" dan "Takdir Illahi". Rupanya para pemikir keagamaan sekarang harus mulai melihat bahwa rasa keagamaan pun mulai mengalami komodifikasi (menjadi komoditas) di pentas konsumsi massa. Kemudian menempel dibelakangnya semua yang berbau “idol” atau dengan kata lain kontes pencari bakat yang dikemas layaknya reality show. SMS (short message system) dari HP (handphone) Android yang bersifat personal digunakan sebagai cara untuk memilih siapa idola kita. Dengan tarif yang berbeda dan tarif regular, ribuan orang (bahkan lebih dari itu) bersedia melakukannya demi idola yang dia sukai. Saya sedikit membayangkan (meskipun rasanya tidak mungkin) jika pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau Pemilu secara langsung meniru gaya pemilihan idol. Bukan tanpa dasar sedikit berhayal, namun rasanya sangat efektif cara seperti itu jika melihat kecenderungan partisipasi masyarakat dalam hal demokrasi langsung yang sangat kecil. Pemilihan langsung dengan cara tersebut justru diklaim oleh media penyiar acara-acara semacam “idol” sebagai hal yang demokratis. Mereka merayakan demokrasi setiap hari, melebihi pemilu yang diselenggarakan hanya setiap lima tahun sekali. Polling SMS digunakan untuk memilih idol yang kita sukai berdasarkan perspektif pemirsa masing-masing. Itu juga mengapa acara semacam ini dikategorikan sebagai reality show, karena pemilihan didasarkan pada polling SMS tersebut.
Dalam pemikiran masyarakat awam reality show adalah acara persembahan bagi pemirsa yang hasilnya tanpa rekayasa dari pihak media. Namun dalam perspektif sosial kritis, apa yang kita baca dan kita dengar setiap hari adalah produk dari pembentukan realitas oleh media. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak. Dengan cara apa media mengkonstruksi realitas? Media memilih kejadian mana yang patut diekspos sebagai bahan penyiaran. Dalam konteks “idol” yang patut diekspos adalah kecemasan, tangisan, dan usaha peserta yang ingin menjadi idola. Bukan hanya itu, banyak cerita-cerita haru dan unik tentang alasan mengapa peserta mengikuti “idol” tersebut dipersembahkan, seperti ingin mendapatkan uang dengan cepat agar bisa mengobati orang tuanya yang sakit atau hanya ingin memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga dengan cara menjadi popular.
Kecenderungan acara semacam ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Terlebih, acara-acara dengan jenis semacam itu diadaptasi dari luar (Indonesia), seperti Idol dan Mamamia yang ada juga dibeberapa negara. Saat ini partisipasi masyarakat dunia amat tinggi, dan fenomena partisipasi aktif ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme. Masyarakat kapitalis mutakhir disebut Jean Baudillard dengan “masyarakat konsumer” (Jean Baudrillard, 2004) dan Adorno dengan “masyarakat komoditas” (commodity society) (Ibrahim dalam Ibrahim, 1997).
Peserta-peserta acara kontes tersebut menurut Adorno telah melalui proses komodifikasi, karena jika dalam istilah ekonomi para peserta tersebut dari sesuatu yang tidak bernilai menjadi sesuatu yang bernilai. Bahkan jika dilihat lebih kedalam, mereka adalah komoditi (peserta;manusia) yang menjual komoditi lain (iklan;barang). Media massa memang sebagian besar menyajikan komoditas, baik secara langsung atau tersamar, dalam arti ide yang di dalamnya terdapat komoditas. Terlebih lagi bagi media televisi. Media bahkan telah merasuki wilayah privat para peserta idol. Seluruh aktivitas idol mengalami reifikasi setelah mereka menyetujui kontrak kerja dengan penyelenggara. Para idol telah kehilangan jati dirinya, seluruh bagian dari diri telah diskenariokan sedemikian rupa demi meraih perhatian pemirsanya. Semua demi satu tujuan; peningkatan rating program tersebut.
Beban itu semestinya semakin besar karena televisi disebut-sebut memiliki pengaruh yang sangat kuat dibandingkan dengan media-media lainnya. Mengapa televisi?. Media massa memiliki peran strategis karena sifat dari media massa (khususnya TV) itu sendiri mempunyai dampak yang luas dan seketika karena intensitas kekuatan audio-visualnya. Upaya-upaya mengkritisi isi program televisi harus dilakukan karena adanya kepercayaan yang tinggi bahwa media, terutama televisi, memiliki pengaruh kuat pada penontonnya. Memang dalam kajian komunikasi klasik dan dominan, pengaruh media mengalami pasang surut. Akan tetapi, secara umum teori efek media telah beranjak dari limited effects (efek yang terbatas) menjadi powerful effects (efek yang tidak terbatas). Sebagian besar ahli komunikasi massa percaya, media memiliki kekuatan besar dalam memengaruhi khalayak.
=>tulisan ini juga dimuat pada buletin Resolusi, sebuah buletin pra konperensi Demokrasi dan Tirani Modal
Referensi
  • Baudrillard, Jean.2004. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta:Kreasi Wacana
  • Ibrahim, Idi Subandy. 1997. Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Bandung: Mizan
  • Sumandono, Priyo. 1999. Wacana Gender dan Layar Televisi (studi perempuan dan pemberitaan televisi swasta), Yogyakarta:LP3EYdan Ford Foundation