Thursday, October 28, 2010

Senioritas, Perlu Gak Sih?

SENIORITAS,

PERLU GAK SIH?:

Tela’ah kritis Mengenai Sisi Relasi, Norma, Dan Perilaku Senioritas[1]

Oleh:

Johan Nurul Imani[2]

Abstrak

Tulisan ini bertujuan mengkaji sebuah fenomena senioritas sebagai budaya yang tampaknya juga menjadi gejala umum ditengah masyarakat kita. Siapa yang tidak pernah mendapati pengalaman yang satu ini?setidaknya, sejak kita mulai menjejaki diri sebagai siswa didik dibangku SMP atau yang setara dengan itu pasti pernah mengalami situasi yang dinamakan “senioritas”. Pun jika kita belum mengalaminya, sejelek-jeleknya kita bisa tahu situasi tersebut dari teman sepermainan kita di lingkungan sekolah yang menjadi”korban” atau “pelaku” fenomena senioritas. Pun jika tidak juga mengalaminya, kita sudah pernah mengalaminya di lingkup teman seperemainan di lingkungan rumah tempat tinggal kita. Dan karena senioritas jua, kita mengenal siapa dan apa itu “junior”. Senioritas yang kita kenal hingga saat ini adalah seraut wajah penuh”horor” yang terus menciptakan rasa tertekan bagi langganannya, yaitu junior-junior yang pernah punya mimpi buruk dengan fenomena ini. Mungkin juga termasuk anda. Sesungguhnya, apakah itu senioritas?perlukah senioritas dikembangkan sementara fenomena tersebut dikenal sebagai momok tidak bagus?bagaimana senioritas bisa terbentuk dan cenderung “terpelihara”?sebuah “pepesan kosong”kah, atau memang ternyata memiliki andil yang belum tersingkap terhadap”nilai-nilai” positif ditengah masyarakat kita?

Toro(bukan nama sebenarnya) terbangun pagi-pagi tanpa alarm. Ia sedang berjalan di pinggir trotoar menuju kampus barunya. Mukanya tampak tegang, dan basah karena keringat padahal udara pagi tidak menyengat panas, justeru sejuk cenderung dingin. Pikirannya melayang-layang, hampir tidak konsentrasi, katakanlah bingung. Langkah kakinya sengaja ia perlambat, seakan-akan ada beban perasaan berat yang menggelayuti benaknya untuk segera sampai di tempat tujuannya. Gedung dan pintu gerbang kampus barunya sudah nampak dari jauh. Matanya memicing sedikit. Pemandangan jelas didepan matanya memberi tekanan cukup kuat kepada dirinya. Dadanya sesak, ritme langkah kakinya berantakan, di dahinya mengucur keringat dingin, kadang-kadang ia merasakan sensasi merinding karena berdiri bulu kuduknya, perutnya mules tiba-tiba, raut wajahnya semakin tegang saat itu. Sesaat dalam kondisi seperti itu membuatnya tidak sadar ia tidak “sendirian”. Satu, dua, tiga orang bahkan lebih, datang dari berbagai penjuru arah mulai bergabung berjalan searah dengan Toro. Mereka tidak saling kenal, setidaknya belum hingga saat nanti. Dari jauh, terdengar teriakan-teriakan dari orang yang memberi sinyal lambaian tangan kepada mereka. Toro dan teman-teman yang belum dikenalnya itu segera sadar bahwa teriakan-teriakan itu tertuju padanya. Tanpa mengetahui apa yang diteriaki, Toro dan teman-teman yang belum dikenalnya itu serentak tanpa aba-aba berlari-lari kecil menuju orang berteriak. Semakin dekat teriakan itu semakin jelas terdengar, “Ayooo,buruannn. Jangan lelet!!”. Teriak orang itu dengan nada tinggi, jelas, namun sedikit memaki. Wajah Toro memucat, keringat dingin yang mengalir deras didahinya kering, kini digantikan dengan kerongkongan yang kering, tercekat dan ingin minum air rasanya. Ia sadar, yang diteriaki oleh orang itu adalah dirinya. “Heh, apa yang diliat!?, cepetan masuk..!”, bentaknya. Toro kemudian paham kemana arah yang ditunjuk oleh orang itu. Arah tangannya menuju sebuah gerbang pintu dengan sebuah patung monumen yang baru terlihat setengahnya. Waktu terasa melambat bagi Toro. Entah, ia baru mulai merasakan sensasi luar biasa disekitar perutnya, bukan sakit perut, mual tapi tidak ada yang bisa dimuntahkan. Sensasi itu menjalar ke dada, kemudian tenggorokannya. Membuatnya hanya bisa menelan ludah dengan maksud bisa menghilangkan sensasi tidak mengenakkan itu. Ya, Toro sepertinya mengalami gejala depresi ringan. Belum selesai ia menikmati gejala-gejala depresinya, si orang yang berteriak kepadanya semakin memberinya tekanan,”sana, baris!,cepetaaan..lelet banget sih lu!nenek gw ja kagak lelet kayak lu!”. Senyum setan si senior pun terlihat jelas dihadapannya, menyeringai lebar. Pintu gerbang dan patung monumen sudah tampak jelas didepannya. Dibawahnya, sekitar 40 orang atau lebih, mungkin mencapai angka 80 sudah sibuk dengan berbagai macam bentuk aktifitas. Ada yang berbaris, joged-joged tanpa alasan yang jelas, terdiam memojok dipinggir kawan-kawan lainnya entah sedang apa, ada juga yang sedang menjalani hukuman fisik, satu atau dua anak ia lihat sungguh sedang kerepotan melayani ocehan lima orang seniornya sekaligus. Karena sibuk kebingungan dengan pemandangan yang ia lihat, Toro tidak sadar ada kakak senior menghampirinya, menggapai lengannya dan menggiringnya. Sepertinya, ia digiring menuju hadapan kedapan semua orang yang ia lihat. Tanpa bisa menolak, dalam hatinya berbicara, “aku ingin pulang...pulang”. tapi tidak bisa. Saat ia berhenti digiring, sudah ada sejumlah pasang mata mengamati dirinya. Tidak dikomando, namun satu-satu dari mereka yang tadinya sedang sibuk dengan ini dan itu mulai memperhatikan dirinya. “Nih,contoh gak bagus buat lo semua, dateng orientasi aja telat!”, kata senior yang disampingnya. Wajah-wajah beringas senior mulai menggelayuti pikirannya, ia ketakutan. Senior-senior yang tadinya cuma ada satu yang disampingnya, mulai mendatangi dirinya. Satu, dua, tiga, empat...dan lima. Masih terus bertambah. Semakin banyak hingga hampir semua. “Kok telat sendiri??”, tanya seniornya. “....”, Toro mendadak gagap. “Ditanya tuh jawabbbb!”. Bentak seniornya yang lain, kali ini didepan muka tepat. Kaki Toro seperti kehilangan tenaga. Tangannya gemetar kecil. Pikirannya melayang kemana-mana. Ia merasa seperti domba terjebak di kerumunan serigala yang siap dimangsa hidup-hidup kapan saja. “pulang,,pingin pulang”, dalam hatinya lirih. Satu senior dengan ekspresi paling garang meraih lengan kanannya dengan kuat sembari mengatakan,”HHHEEKH!!”. Toro jatuh pingsan seketika itu juga. Ia terkapar lunglai, namun masih setengah sadar. Lemas. Sangat lemah. Dalam sadarnya yang setengah itu. Alam bawah sadarnya bermain, wajah-wajah senior yang sesungguhnya saat itu kebingungan perlahan berubah menjadi manusia-manusia kanibal, primitif, jorok dan bau. Disekitar mulutnya ada noda entah bekas darah atau noda apa. Wajah-wajah itu tersenyum, matanya melotot tajam kepadanya, dan tertawa. Toro sungguh pasrah, sungguh malang. Selamat datang Junior!. =)

Cerpen diatas adalah deskripsi dari tema diskusi yang akan dibahas. Deskripsi cerpen tersebut diangkat dari berbagai gambaran-gambaran kisah perpeloncoan atas nama senioritas yang umumnya terjadi di institusi pendidikan kita. Sejak SMP, ke SMA hingga jenjang sekolah tinggi(universitas) fenomena itu kerap ditemui.

Senioritas adalah gejala sosial yang ada di masyarakat kita. Setiap individu sosial yang ada di masyarakat, terbilang hampir semuanya pernah mengalami masa-masa “indah” ini. Fenomena ini biasanya terjadi selama jenjang pendidikan seseorang. Subur mengakar di lingkungan pendidikan kita. Memberi warna menarik pada wajah dunia pendidikan kita.

Data setidaknya menunjukkan, bahwa kecendrungan kasus perpeloncoan atas dasar senioritas itu terjadi dilingkungan sekolah, dengan pelaku dan korban siswa-siswinya sendiri. Media cetak dan media elektronik hingga media on-line memiliki banyak contoh kasus yang kerap terjadi ini.

Apa itu senioritas?merujuk pada situasi dan penjelasan apakah senioritas itu?. Penulis sendiri belum pernah menemui definisi yang spesifik mengenai senioritas ini. Namun, kita semua bisa-entah dengan cara yang bagaimana-memiliki gambaran yang satu visi terhadap gejala sosial satu ini. Kemungkinan besar, karena kita masih dalam satu lingkungan “bermain” yang sama, kurang lebih seperti bagimana kita membangun sebuah persepsi yang tercipta melalui proses sosialisasi oleh teman sepermainan[3].

Senioritas juga bisa dikatakan sebagai sebuah fenomena “absurd” dengan tolak ukuran yang bias, bahkan ngawur[4]. Jika kita angkat fenomena ini dari berbagai peristiwa yang umumnya terjadi disekitar kita, fenomena senioritas adalah situasi dimana terjadi pemisahan kelompok secara sosial berdasarkan umur dalam lingkup jenjang pendidikan. Yang lebih tua secara umur, mendapat labelisasi secara otomatis sebagai “senior”. Yang jauh lebih muda, adalah “junior”. Inilah pola dasar dari situasi senioritas.

Pola dasar ini kemudian semakin mengikat dan membentuk sebuah relasi sosial yang unik. Relasi ini mengikat kepada siapapun yang terkelompok secara sosial atas asumsi labelisasi tadi. Sebutlah relasi Sen-Ju, atau relasi senior-junior. Relasi ini mulai mengikat dan terbentuk pada saat ada pelembagaan struktur. Pelembagaan struktur ini adalah proses struktural dari institusi pendidikan dimana individu-individu yang terkelompok ini berada. Ya, tepat. Yang penulis maksud adalah pelembagaan relasi senioritas melalui mekanisme dan program penerimaan siswa didik disetiap tahun ajar baru. Inilah gerbang awal dari fenomena senioritas yang ada disekitar kita.

Relasi senior-junior tadi yang-entah sejak kapan menjadi ukuran-berdasar umur dan bukan merupakan suatu faktor yang deteminan, berasimilasi dengan kekuatan struktural dari sebuah institusi pendidikan yag kemudian “melembagakan” relasi tersebut. Relasi ini menjadi bagian dari struktur institusi tersebut. Aktor-aktor dari relasi ini kemudian bergerak atas nama struktur yang melegalisasinya. Inilah yang disebut Giddens sebagai dwi rangkap dalam gagasan agen dan strukturnya[5]. Relasi yang tadinya memiliki modal dasar yang lemah(kelompok berdasar umur) kini menjadi lebih kuat dibanding sebelumnya karena proses pelembagaan relasi melalui penerimaan struktural dari institusi sosial.

Pemahaman mengenai proses relasi sen-ju yang terstruktur melalui proses pelembagaan seperti diatas, juga bisa dipahami secara lebih mendalam dengan keterkaitan dan pengaruh norma sosial sebagai pisau bedahnya. Norma sosial sangat berperan penting dan memiliki pengaruh jauh kedalam masyarakat kita. Norma ini yang membentuk perilaku sosial. Bagaimana jika relasi sen-ju ini sudah terkontaminasi oleh sistem nilai dan norma melalui pelembagaan struktural oleh institusu pada penjelasan sebelumnya?. Yang terjadi adalah, kemunculan norma baru ditengah masyarakat kita yang disebut dengan senioritas. Senioritas menjadi sebuah nilai yang abstrak namun konkret secara fenomena. Senioritas sebagai norma sosial yang berlaku dimasyarakat akan menitis menjadi sebuah perilaku yang secara sosiologis disebut kita sebut sebagai folksway[6]. Perilaku yang menjelma menjadi kebiasaan. Keberuntungan “memihak” fenomena senioritas ini. Menurut Maclver dan Page, kebiasaan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat[7]. Kebiasaan menghormati yang lebih tua-salah satu substansi senioritas-merupakan kebiasaan masyarakat kita, dimana masyarakat kita bisa memberi sanksi sosial kepada setiap bentuk penyimpangan terhadap kebiasaan tersebut. Inilah salah satu gejala sosiologis yang tidak banyak dibahas dan dikaji pada saat kasus-kasus perpeloncoan yang penuh dengan dugaan kekerasan hingga sempat memakan korban jiwa[8].

STOP!!!.

Mari kita alihkan sejenak dari perasaan dan gambaran yang tidak enak perihal senioritas seperti pembahasan diatas. Mari kita berpikir lebih terbuka dan melandasi pikiran itu dengan harapan-harapan bahwa kita mampu merubah momok”horor” senioritas tersebut dengan pembahasan yang tidak kalah sosiologis. Masih banyak ruang gagasan yang jauh lebih sportif membahas fenomena yang satu ini dengan gagasan yang lebih modern.

Mari kita sedikit adopsi gagasan sosiologi modern Perancis yang dikenal dengan konsep habitusnya dan melihat bagaimana menciptakan solusi yang terbaik membahas fenomena senioritas ini dengan konsep reproduksi kulturnya sehingga kita bisa menarik sebuah kesimpulan besar yang bisa diterapkan sesegera mungkin dan dapat merasakan manisnya teori-teori sosiologi modern hingga lidah kita pun dapat mengecap sensasi manisnya. Pierre Bourdieu, menjelaskan bahwa”..the habitus is a set of disposition which incline agents to ACT and REACT in CERTAIN WAYS..”[9]. Agen/aktor/individu dalam konteks senioritas bertindak dan bereaksi dalam cara-cara tertentu. Statement tersebut jelas cukup bertanggung jawab, bukan karena ada sumbernya, melainkan secara common sense kita bisa mengiyakan gagasannya seketika jika kita sudah mengerti pembahasan mengenai fenomena senioritas sebelumnya yang mengkaji secara alur konsep senioritas dari mulai terciptanya relasi sen-ju, tersturkturnya norma senioritas karena ada pelembagaan institusi, hingga terbentuknya perilaku senioritas ditengah masyarakat kita.

Sekarang, gunakanlah imaji dari pembahasan tersebut sebagai sebuah habitus dari fenomena sosial yang sedang kita bahas. Setting social dimana institusi pendidikan sebagai latar terjadinya fenomena ini adalah habitus persoalan senioritas. Budaya senioritas ini secara sosiologis masih bisa menjadi kajian menarik, apalagi jika ada SDM-SDM unggul yang mau menceburkan dirinya dalam kerangka action research dengan tujuan mengubah “kesalah-pahaman” senioritas dimasyarakat kita.

Sebagai sebuah perilaku yang sudah membudaya dan mengakar, senioritas dengan konteks buruk perpeloncoan semestinya bisa diubah dari “dalam”. Sebelumnya, ada konsepsi dari P.Bourdieu yang haris dipahami lebih dahalu sebelum terjun, dan praksis kelapangan. Konsep reproduksi kultur dari P.Bourdieu penulis rasa sangat relevan dan efektif men-dekonstruksi gagasan senioritas dan me-rekonstruksinya kembali.

Habitus adalah satu kata bahasa latin yang mengacu pada kondisi, penampakan, atau situasi yang tipikal atau habitual, khususnya pada tubuh[10]. Sedangkan sumber karya Bordieu yang lain juga menyebutkan bahwa, Habitus adalah serangkaian kecendrungan yang mendorong aktor untuk beraksi dan bereaksi dengan cara-cara tertentu. Kecendrungan-kecendrungan inilah yang melahirkan praktik-praktik, persepsi-persepsi, dan perilaku tetap, teratur, yang kemudian menjadi “kebiasaan” yang tidak lagi dipertanyakan aturan-aturan yang melatarbelakanginya[11]. Banyak penafsiran yang menyebutkan bahwa, habitus adalah “gaya” lain dari sosiologi modern perihal agen-struktur yang olehnya dikenal juga tokoh-tokoh kenamaan seperti Anthony Giddens dan Margaret Archer[12]. Namun, Bordieu tetap memberi sentuhan yang berbeda.

Menurut pemahaman habitus, aktor dibekali serangkaian skema dan pola yang diinternalisasikan yang digunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial[13]. Namun, apa yang ada dalam habitus, apapun yang tercipta di dalamnya, tidak ada begitu saja melainkan muncul melalui sebuah proses “penanaman” yang disebut Inculquees-Terstruktur(Structurees)-berlangsung lama (Durables)-dapat tumbuh kembang (Generatives)-dan dapat diwariskan/dipindahkan (Transposable)[14]. Senioritas adalah fenomena sosial yang dilengkapi substansi-substansi”khas” berisikan gejala sosial menarik berupa terciptanya relasi sen-ju dari proses pelembagaan struktural norma yang secara paten menjadi perilaku kebiasaan dimasyarakat kita. Senioritas membudaya. Lantas bagaimana jika kita dekonstrksi gagasan senioritas itu kembali dengan pemahaman konsepsi reproduksi kultur diatas?.

Senioritas yang tadi momok”mengerikan” bisa menjadi daya tarik wisata ilmu sosial dan kajian-kajian sejenis jika kita mampu merubahnya secara radikal. Reproduksi kultur senioritas yang baru, fresh, edukatif, ditambah dengan segala macam nilai-nilai positif pada momen penerimaan siswa didik setiap tahun ajaran baru akan mengubah wajah dan konsepsi senioritas untuk selamanya. Internalisasi nilai-nilai posistif atau yang P.Boudieu sebut sebagai proses “penanaman”( Inculquees) tentu bisa dilakukan dengan proses yang kurang lebih sama dengan proses terciptanya relasi sen-ju yang kokoh melalui pelembagaan struktural menjadi norma-norma oleh institusi pendidikan kita. Reproduksi nilai-nilai kultur melalui senior yang terstruktur(structurees)dan positif akan menciptakan tata nilai dan perilaku yang dominan dengan energi positif kepada juniornya. Reproduksi ini bukan setahun atau dua tahun, melainkan terus dijaga dan diawasi agar tidak keropos di tengah jalan. Ini yang dimaksud P.Bourdieu dengan Durables. Mengembangkan nilai-nilai posistif yang ada selama proses penanaman dari pola reproduksi kultur ini juga patut ditumbuh-kembangkan/ Generatives. Kalau perlu dengan melibatkan unsur-unsur lain yang ridak kontra-produktif. Sehingga setelah proses ini sudah “mapan”, reproduksi nilai-nilai senioritas yang positif menjadi sebuah budaya baik yang bisa diwariskan/dipindahkan (Transposable).

Sebuah pemikiran terakhir ingin penulis angkat pada kesempatan ini. Penulis ingin menyampaikan bahwa, kita juga memiliki tanggung jawab secara moral dan sosial terhadap fenomena senioritas ini. Senioritas diperlukan, senioritas dibutuhkan. Itu inti dari tukisan ini. Hanya saja, harus paham betul dan harus bisa bijaksana. Dalam artian, senioritas seperti apa yang mau ditampilkan. Untuk itu, perlu berpikir matang-matang dan mendalam. Tidak semuanya bisa diturunkan kepada junior. Maka dari itu, harus bijak dan berani memilah. Mana yang konstruktif, mana yang destruktif. Mana yang positif, mana yang negatif. Mana yang benar, mana yang salah. Sehingga, dengan begitu, yang tersisa hanya ada cinta dan kasih sayang penuh kedamainan, kebersamaan, kebahagiaan antara Senior dan junior dalam kerangka sosial senioritas.

-Joe Drumz4ever-


[1] Tulisan ilmiah ini dibuat dengan memenuhi undangan sebagai pembicara dalam rangka diskusi ilmiah dengan kelompok Diskusi Kamis Sore(DKS). Kata kunci :senioritas, relasi sosial, norma, dan perilaku.

[2] Mahasiswa aktif jurusan Sosiologi, Prodi Sosiologi Pembangunan semester 10. Sedang dalam proses menyelesaikan skripsinya yang berjudul “Fenomena Reproduksi Kultur Organisasi: Studi Kasus UKM UNJ”.

[3] Kembali mengingatkan kita pada kajian sosiologis mengenai agen sosialiasi.

[4] Fenomena senioritas akan terlihat berbeda jika ditelisik lebih detail dan mendalam di tempat lain dengan seting sosial yang juga beragam.

[5] Lihat George Ritzer dan Douglas J.Goodman. TEORI SOSIOLOGI MODERN. Kencana. Jakarta.2007.hlm 508

[6] Lihat Soekanto, Soerjono. SOSIOLOGI:Suatu pengantar. Raja grafindo. Jakarta.1982, hlm 174

[7] R.M. Mc Iver dan Charles H.Page, Society, an Introductory Analysis, (New York: Rinehart and Company, Inc.,1967) hlm.19

[8] Kasus-kasus ISPDN dll, dimana perpeloncoan merupakan budaya dengan tekanan luar biasa dari relasi sen-ju yang jauh dari takaran normal.

[9] Boudieu, Pierre. LANGUAGE AND SYMBOLIC POWER. Harvard university Press.Cambridge massachussets. 1991. Page 12

[10] Jenkins, Richard.MEMBACA PIKIRAN PIERRE BORDIEU.Kreasi Wacana. Yogyakarta.2004.hal 107

[11] Rusdiati, Suma Riella. BAHASA, KAPITAL SIMBOLIK, dan PERTARUNGAN KEKUASAAN. Hal 42

[12] George Ritzer dan Douglas J.Goodman. TEORI SOSIOLOGI MODERN. Kencana. Jakarta.2007.hal 102

[13] Ibid. hal 522

[14] Opcit. Hal 43