Di Universitas Negeri Jakarta,
khususnya Kampus A, diterapkan sebuah kebijakan baru di mana terdapat
penempatan lahan parkir baru bagi kendaraan roda dua atau sepeda motor.
Kebijakan penempatan lahan parkir bagi sepeda motor yang baru ini menempatkan
lahan parkir sepeda motor di gedung parkiran yang terdapat di depan kampus dan
di sepanjang lahan parkir di belakang kampus A universitas ini. Penempatan ini
lebih ditujukan untuk menata dan menertibkan parkiran sepeda motor di kampus
ini, di mana dengan kebijakan lahan parkir yang sebelumnya membuat para sepeda
motor menjadi kurang tertib dalam memarkir kendaraannya.
Sebelum diberlakukannya kebijakan
parkir baru di kampus A UNJ, situasi parkir kendaraan roda dua atau sepeda
motor sangat tidak tertib dan tidak teratur. Sehubungan dengan semakin
melonjaknya mahasiswa yang menggunakan sepeda motor, ketidakteraturan parkir ini
semakin membuat lahan yang seharusnya bukan lahan parkir menjadi bergeser fungsinya
menjadi lahan parkir sepeda motor. Akibatnya, di mana-mana terdapat sepeda
motor yang parkir yang membuat ruang publik menjadi semakin sempit dan
menimbulkan ketidaknyamanan bagi semua pihak di kampus karena banyak space atau ruang publik menjadi lahan
parkir sepeda motor. Dampak lain dari ketidakteraturan tersebut adalah permasalahan
dari aspek keamanan kendaraan. Banyak para pengguna sepeda motor yang
kehilangan barang-barangnya yang ditinggal di kendaraannya, seperti helm, buku,
sehingga harus diberikannya uang “terima kasih” apabila barang yang hilang
tersebut ditemukan oleh petugas parkir. Namun masalah-masalah tersebut di atas akhirnya
dinilai sebatas permasalahan personal mahasiswa yang lalai karena tidak banyak
keluhan akan hal tersebut.
Selain masalah personal, terdapat
masalah struktural yang bisa dikaji. Dari pihak Universitas sendiri, mahasiswa
bisa melihat kepentingan ekonomi dalam pengambilan retibusi parkir dengan biaya
Rp 1000,- untuk sepeda motor. Karena mayoritas mahasiswa membawa sepeda motor,
mari kita perkirakan keuntungan retribusi parkir yang diperoleh pihak
Universitas. Seandainya kita hitung jumlah sepeda motor di kampus A, mungkin
lebih dari 1000 unit. Jika kita anggap jumlah sepeda motor ada 1000 unit, dalam
satu hari pendapatan parkir bisa mencapai 1 juta rupiah dan perbulannya kita
perkirakan 20 hari (tidak termasuk hari libur) adalah 20 juta rupiah (belum
termasuk mobil). Namun terdapat kejanggalan prosedur, di mana terdapat
kebijakan bahwa keamanan kendaraan tetap menjadi tanggung jawab personal dan
bukan tanggung jawab pihak kampus. Sedangkan dari hasil perhitungan kasar di
atas, pihak kampus memiliki pendapatan yang cukup besar dari pemberlakuan tarif
parkir tersebut.
Permasalahan-permasalahan ini akhirnya
berkembang menjadi isu publik ketika ketidaknyamanan lahan parkir di kampus A UNJ
ini dikeluhkan oleh semua pihak yang terlibat dalam aktifitas dan kesibukan di
sana. Terlebih bagi mahasiswa yang tidak membawa kendaraan ke kampus merasa
bahwa jalanan kampus makin sempit akibat parkiran motor yang berdesakan yang
dirasa mengganggu akses mobilitasnya di kampus.
Sebagai jalan keluar dari permasalahan
tersebut, kampus A UNJ mengeluarkan sebuah kebijakan parkir yang baru.
Kebijakan baru tersebut adalah dengan menempatkan lahan parkir sepeda motor di
gedung parkiran yang terdapat di depan kampus dan di sepanjang lahan parkir di
belakang kampus A universitas ini. Penempatan ini bertujuan untuk menata dan
menertibkan parkiran sepeda motor. Namun dari segi pemungutan biaya tarif parkir
tetap tidak ada perubahan kebijakan. Kebijakan baru ini cukup mampu mengatasi
masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, walaupun pada awalnya banyak
mahasiswa yang ‘komplain’ atas pemindahan secara tiba – tiba ini. Lahan
parkiran di bagian depan (zona 1) terdiri atas lima lantai dan cukup luas untuk
menampung sekitar 4000 unit sepeda motor. Untuk lahan parkir bagian belakang
(zona 2) diperkirakan bisa menampung sekitar 2000 unit sepeda motor. Namun
ternyata lahan parkiran bagian depan (zona 1) masih merupakan gedung yang belum
layak pakai, di mana dindingnya masih belum dihaluskan dan dicat, dengan bentuk
penataan gedung yang belum rapih. Ditinjau dari segi kebijakan pungutan tarif
parkir, dapat kita hitung lagi jika parkiran penuh, dalam sehari pendapatan
kampus dari lahan parkir motor adalah Rp 1000,- dikali 6000 unit sepeda motor,
atau sekitar 6 juta rupiah setiap harinya, dan sebulan (kita perkirakan 20
hari) adalah 120 juta rupiah. Pertanyaan yang muncul adalah “apakah jumlah
pendapatan kampus yang lumayan besar itu telah sesuai dengan pelayanan dan
kenyamanan fasilitas yang dirasakan mahasiswa sebagai pengguna lahan parkir?”
Dilihat berdasarkan perspektif konflik
nilai, terdapat perbedaan perspektif nilai antara pihak mahasiswa dan pihak
kampus mengenai kebijakan parkir yang diterapkan di kampus A UNJ. Pihak kampus
selaku pihak yang berwenang menentukan kebijakan di kampus, membuat sebuah
kebijakan yang dirasa berdasarkan perspektif ekonomi, yang dalam realisasi
kebijakannya lebih bertujuan mengasilkan profit atau keuntungan. Sedangkan pihak
warga kampus, khususnya mahasiswa, selaku subyek yang merasakan pemberlakuan
kebijakan tersebut menuntut hak mereka akan fasilitas parkir yang realisasinya dirasa
masih kurang bisa membuat nyaman para pengendara yang parkir di kampus A UNJ.
Hasil diskusi menyimpulkan adanya
sebuah dugaan akan adanya proses swastanisasi di kampus, sebagaimana banyak
diterapkan di kampus-kampus saat ini. Proses tersebut tergambarkan dari
beberapa fenomena yang terjadi, yang salah satunya adalah fenomena penetapan
kebijakan parkir yang diberlakukan, di mana pengelolaan lahan parkir diserahkan
pada pihak swasta. Dugaan tersebut didasarkan pada pengelolaan akan parkiran
kampus A UNJ yang kini sudah bukan urusan kampus dan diserahkan kepada pihak
koperasi. Selain itu, banyaknya space kosong yang kini tersedia di kampus
sehubungan dengan ditetapkannya kebijakan parkir baru ini justru banyak
dimanfaatkan untuk mendirikan stand-stand dagang dan bukan untuk
kegiatan-kegiatan mahasiswa.