Tuesday, November 13, 2012

Satu Bulan Kebijakan Lahan Parkir di Kampus UNJ


Di Universitas Negeri Jakarta, khususnya Kampus A, diterapkan sebuah kebijakan baru di mana terdapat penempatan lahan parkir baru bagi kendaraan roda dua atau sepeda motor. Kebijakan penempatan lahan parkir bagi sepeda motor yang baru ini menempatkan lahan parkir sepeda motor di gedung parkiran yang terdapat di depan kampus dan di sepanjang lahan parkir di belakang kampus A universitas ini. Penempatan ini lebih ditujukan untuk menata dan menertibkan parkiran sepeda motor di kampus ini, di mana dengan kebijakan lahan parkir yang sebelumnya membuat para sepeda motor menjadi kurang tertib dalam memarkir kendaraannya.

Sebelum diberlakukannya kebijakan parkir baru di kampus A UNJ, situasi parkir kendaraan roda dua atau sepeda motor sangat tidak tertib dan tidak teratur. Sehubungan dengan semakin melonjaknya mahasiswa yang menggunakan sepeda motor, ketidakteraturan parkir ini semakin membuat lahan yang seharusnya bukan lahan parkir menjadi bergeser fungsinya menjadi lahan parkir sepeda motor. Akibatnya, di mana-mana terdapat sepeda motor yang parkir yang membuat ruang publik menjadi semakin sempit dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi semua pihak di kampus karena banyak space atau ruang publik menjadi lahan parkir sepeda motor. Dampak lain dari ketidakteraturan tersebut adalah permasalahan dari aspek keamanan kendaraan. Banyak para pengguna sepeda motor yang kehilangan barang-barangnya yang ditinggal di kendaraannya, seperti helm, buku, sehingga harus diberikannya uang “terima kasih” apabila barang yang hilang tersebut ditemukan oleh petugas parkir. Namun masalah-masalah tersebut di atas akhirnya dinilai sebatas permasalahan personal mahasiswa yang lalai karena tidak banyak keluhan akan hal tersebut.

Selain masalah personal, terdapat masalah struktural yang bisa dikaji. Dari pihak Universitas sendiri, mahasiswa bisa melihat kepentingan ekonomi dalam pengambilan retibusi parkir dengan biaya Rp 1000,- untuk sepeda motor. Karena mayoritas mahasiswa membawa sepeda motor, mari kita perkirakan keuntungan retribusi parkir yang diperoleh pihak Universitas. Seandainya kita hitung jumlah sepeda motor di kampus A, mungkin lebih dari 1000 unit. Jika kita anggap jumlah sepeda motor ada 1000 unit, dalam satu hari pendapatan parkir bisa mencapai 1 juta rupiah dan perbulannya kita perkirakan 20 hari (tidak termasuk hari libur) adalah 20 juta rupiah (belum termasuk mobil). Namun terdapat kejanggalan prosedur, di mana terdapat kebijakan bahwa keamanan kendaraan tetap menjadi tanggung jawab personal dan bukan tanggung jawab pihak kampus. Sedangkan dari hasil perhitungan kasar di atas, pihak kampus memiliki pendapatan yang cukup besar dari pemberlakuan tarif parkir tersebut.

Permasalahan-permasalahan ini akhirnya berkembang menjadi isu publik ketika ketidaknyamanan lahan parkir di kampus A UNJ ini dikeluhkan oleh semua pihak yang terlibat dalam aktifitas dan kesibukan di sana. Terlebih bagi mahasiswa yang tidak membawa kendaraan ke kampus merasa bahwa jalanan kampus makin sempit akibat parkiran motor yang berdesakan yang dirasa mengganggu akses mobilitasnya di kampus.

Sebagai jalan keluar dari permasalahan tersebut, kampus A UNJ mengeluarkan sebuah kebijakan parkir yang baru. Kebijakan baru tersebut adalah dengan menempatkan lahan parkir sepeda motor di gedung parkiran yang terdapat di depan kampus dan di sepanjang lahan parkir di belakang kampus A universitas ini. Penempatan ini bertujuan untuk menata dan menertibkan parkiran sepeda motor. Namun dari segi pemungutan biaya tarif parkir tetap tidak ada perubahan kebijakan. Kebijakan baru ini cukup mampu mengatasi masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, walaupun pada awalnya banyak mahasiswa yang ‘komplain’ atas pemindahan secara tiba – tiba ini. Lahan parkiran di bagian depan (zona 1) terdiri atas lima lantai dan cukup luas untuk menampung sekitar 4000 unit sepeda motor. Untuk lahan parkir bagian belakang (zona 2) diperkirakan bisa menampung sekitar 2000 unit sepeda motor. Namun ternyata lahan parkiran bagian depan (zona 1) masih merupakan gedung yang belum layak pakai, di mana dindingnya masih belum dihaluskan dan dicat, dengan bentuk penataan gedung yang belum rapih. Ditinjau dari segi kebijakan pungutan tarif parkir, dapat kita hitung lagi jika parkiran penuh, dalam sehari pendapatan kampus dari lahan parkir motor adalah Rp 1000,- dikali 6000 unit sepeda motor, atau sekitar 6 juta rupiah setiap harinya, dan sebulan (kita perkirakan 20 hari) adalah 120 juta rupiah. Pertanyaan yang muncul adalah “apakah jumlah pendapatan kampus yang lumayan besar itu telah sesuai dengan pelayanan dan kenyamanan fasilitas yang dirasakan mahasiswa sebagai pengguna lahan parkir?”

Dilihat berdasarkan perspektif konflik nilai, terdapat perbedaan perspektif nilai antara pihak mahasiswa dan pihak kampus mengenai kebijakan parkir yang diterapkan di kampus A UNJ. Pihak kampus selaku pihak yang berwenang menentukan kebijakan di kampus, membuat sebuah kebijakan yang dirasa berdasarkan perspektif ekonomi, yang dalam realisasi kebijakannya lebih bertujuan mengasilkan profit atau keuntungan. Sedangkan pihak warga kampus, khususnya mahasiswa, selaku subyek yang merasakan pemberlakuan kebijakan tersebut menuntut hak mereka akan fasilitas parkir yang realisasinya dirasa masih kurang bisa membuat nyaman para pengendara yang parkir di kampus A UNJ.

Hasil diskusi menyimpulkan adanya sebuah dugaan akan adanya proses swastanisasi di kampus, sebagaimana banyak diterapkan di kampus-kampus saat ini. Proses tersebut tergambarkan dari beberapa fenomena yang terjadi, yang salah satunya adalah fenomena penetapan kebijakan parkir yang diberlakukan, di mana pengelolaan lahan parkir diserahkan pada pihak swasta. Dugaan tersebut didasarkan pada pengelolaan akan parkiran kampus A UNJ yang kini sudah bukan urusan kampus dan diserahkan kepada pihak koperasi. Selain itu, banyaknya space kosong yang kini tersedia di kampus sehubungan dengan ditetapkannya kebijakan parkir baru ini justru banyak dimanfaatkan untuk mendirikan stand-stand dagang dan bukan untuk kegiatan-kegiatan mahasiswa.

Jersey dan Maknanya Kini

Jersey, untuk penggemar sepakbola kata “jersey” mungkin sudah tak terasa asing di telinga, karena jersey merupakan suatu ciri dan kebangaan serta bukti bahwa penggila bola tersebut “memuja” dan mendukung klub kesayangannya. Tulisan ini sendiri terinspirasi dari penglihatan saya serta obrolan di antara kawan-kawan saya tentang “Wabah” jersey sebagai “mazhab” baru berpakaian (khususnya di kalangan kaum remaja). Ini terkait dengan bagaimana sepakbola di negeri kita seakan sudah menjadi olahraga ”primer” (walaupun timnas dan organisasi sepakbola kita masih stagnan), namun peran media dalam menyiarkan pertandingan dari liga kelas dunia menjadi “berkah” bagi fans sepakbola yang menyaksikan tayangan tersebut.
Seperti yang dijalskan sekilas pada paraghraph di atas jika “Jersey” biasa diartikan sebagai seragam/ kostum dari sebuah klub dan tim nasional sepakbola. Dalam sepakbola jersey merupakan salah satu syarat wajib dalam olahraga ini sebagai pertanda sebuah klub. Jersey sendiri biasanya dikaitkan dengan sejarah atau filosofi sebuah tim sepakbola, Kita ambil contoh jersey AC Milan yang mempunyai filosofi I Rossoneri (Merah-hitam) . Herbert Kilpin pernah berujar “ Warna Kami akan merah, seperti setan dan Hitam, yang menebar ketakutan pada lawan-lawan kami” secara ringkas bisa diartikan jika warna Merah-Hitam pada jersey AC Milan adalah “Setan yang menakutkan” tentu filosofi bukan berarti AC Milan sebuah klub pemuja “Satanic” (pemuja setan) namun lebih sebagai “identitas” untuk menjatuhkan mental lawan yang menghadapi mereka.Dari ringkasan diatas bisa kita lihat bahwa warna jersey sebenarnya amat terkait dengan kesan (image) yang ingin yang di tunjukkan oleh suatu tim sepakbola.
Jersey, Sponsor dan “Kemakmuran”
Jersey (khususnya pada major league) kini bukan lagi hanya sekedar seragam yang menutupi tubuh pemain, jersey juga bukan lagi hanya sekedar warna yang digunakan untuk membedakan satu klub sepakbola dengan klub yang lain. Di Era ini jersey sudah menjadi symbol kemakmuran sebuah klub/Timnas juga pemain yang di kontrak khusus oleh pemasok (Jersey) tersebut.Fenomena tersebut mulai terjadi semenjak decade 1960-an, dimana ekonomi politik sepakbola telah menjalankan modernisasi kilat dalam komodifikasi budaya popular yang lebih luas guna mendapat keuntungan yang lebih besar, yang kemudian melahirkan sebuah “simbiosis mutualisme”(Klub Mendongkrak Sponsor begitu juga sebaliknya) hal kemudian berkembang lagi sehingga sebuah klub dapat mendapat julukkan “Tim Unggulan” dan “Tim Medioker”.ini bisa dilihat salah satunya dari perusahaan apa yang menumpang pada jersey klub tersebut. Contoh rata-rata tim unggulan adalah klub yang mempunyai sponsor yang bersifat global (merk yang mendunia) dan tim medioker adalah klub yang mempunyai sponsor yang bersifat local (kedaerahan).
Paragraph diatas biasanya terjadi karena besarnya nilai kontrak yang diberikan sponsor yang menggunakan jersey, sekedar info pada tahun 1996 M.U. Melakukan kontrak 5 tahun dengan perusahaan UMBRO senilai 10 juta poundsterling, di tahun yang sama Real Madrid melakukan hal yang sama dengan ADIDAS, pada level Timnas, adalah Timnas Brazil yang melakukan perjanjian 10 tahun dengan NIKE dengan nilai 250 juta poundsterling[1], hal tadi adalah contoh dari Komodifikasi Global pada sepakbola yang secara langsung memberikan efek pada “kemajuan” dan keuntungan bagi klub/Timnas tersebut, karena menjadi terkenal dan dikonsumsi dengan basis universal.
Hal sebaliknya terjadi pada Klub yang bersifat “medioker” , merk dan kapasitas sponsor yang tak terlalu besar terkadang menghambat pada kemajuan hal tersebut untuk bisa memperkenalkan klubnya secara universal. Untuk kasus yang satu ini bahkan pernah melihat salah satu iklan klub sepakbola amatir yang bertanding tanpa jersey (alias bertelanjang dada), yang ternyata iklan tersebut di buat guna menarik simpati sponsor untuk membubuhkan merknya pada jersey klub amatir tersebut.
Makna Jersey Kini : Antara Identitas Fans Sepakbola dan Fashion
Sebelum membahas lebih jauh tentang sub judul diatas ada baiknya kita mengenal jenis-jenis jersey. Di Indonesia ada beberapa jenis jersey yang biasanya banyak di gunakan yaitu : Jersey Pabrikkan, KW Lokal, KW Hongkong, KW Thailand, Great Ori, Hingga Original. Definisi jersey tersebut biasanya memang hanya di peruntukkan bagi“major league” (liga utama dunia) seperti Liga Itali, Spanyol, Inggris, dan Jerman, alasannya sudah barang tentu liga-liga tersebut mempunyai banyak penggemar serta basis komunitas yang kuat. Hal inilah yang biasanya membuat tipe-tipe jersey tadi terus ada guna menampung “animo” fans (baik secara individu maupun komunitas) mengingat di dalam komunitas fans tersebut memang terdiri dari kelas social yang beragam.
Jersey sebagai identitas fans bisa dibilang menjadi identitas yang kuat bagi fans agar dikenali baik itu oleh komunitasnya sendiri maupun “komunitas lawan” . gejala semacam ini memang telah terjadi sejak lama. Beberapa Fenomena jelas mengambarkan jika jersey bisa jadi lambang kebangaan, kerusuhan,sentiment, hingga kematian. Kisah kota Glascow di skotlandia adalah salah satu fenomena paling sahih betapa sakralnya sebuah jersey buah dari perseteruan dua klub Glascow celtic dan Glascow Ranger.. bahkan saya juga pernah membaca kisah seorang fans yang di tilang hanya karena fans tersebut merupakan fans Milan yang notabene berlawanan dengan klub kebangaan polisi yang menilangnya (Inter Milan). dari kisah-kisah tersebut bisa dibilang betapa jersey menjadi sebuah barang yang “sakral” bagi seorang fans sepakbola.
Namun seiring kini fenomena jersey sebagai fashion juga ini juga bisa menjadi sebuah pertanda jika kini sepakbola sudah milik “semua kalangan” tanpa memandang kelas social, ras, bahkan gender, seragam/kostum sepakbola kini tak hanya sebagai identitas kalangan terbatas (red: pendukung suatu klub/Timnas tertentu) tetapi juga demi kepentingan “fashion” di kalangan masyarakat. Hal ini menurut saya ditandai dengan munculnya jersey “khusus” wanita, karena tak seperti awal munculnya olahraga sepakbola dan jersey itu sendiri, jersey feminin begitu kuat guna menasbihkan sepakbola sebagai “olahraga untuk semua” . mengapa contohnya perempuan karena bagi saya sendiri perempuan adalah “symbol” dari sebuah fashion walau tidak di pungkiri pada saat sekarang pria pun bisa menjadi “kiblat”, hal ini bisa dilihat dari banyaknya atlit sepakbola yang menjadi Model untuk jersey klubnya. Dengan lahirnya fenomena “Jersey sebagai Fashion” maka jangan heran pula jika kita menemui orang yang memakai jersey di tempat-tempat yang sebenarnya tidak terkait dengan sepakbola (stadion, base camp fans club) tetapi kini jersey juga dapat kita temui di kampus, jalan umum, mall, bahkan klub malam. Kita juga tak perlu heran jika yang pengguna jersey tak terlalu tahu tentang “makna” (filosofi klub, sejarah, bahkan pemain) dari jersey tersebut.
Sebagai contoh konkrit penulis akan menuliskan tweet seorang teman wanita penulis, tweet itu sendiri berbunyi “ga ngerti sepakbola..ga terlalu juga suka juga nonton bola..tp pengen punya jersey! Kira2 baju yang bagus club apa ya?” dari isi twit tersebut secara gamblang dapat dilihat jika teman wanita penulis tersebut, mempunyai posisi hanya sebagai “pembeli jersey” dengan design yang cocok untuk dirinya. ini berarti teman wanita penulis tersebut bukan membeli jersey guna memenuhi identitasnya sebagai fans satu klub sepakbola melainkan menyalurkan “hasrat fashion” nya tanpa memperdulikan aspek sejarah, dan prestasi. Hal terbalik terjadi ketika obrolan santai penulis dengan teman prianya yang berusaha mencari jersey khusus klub kesayangannya (inter Milan) yang dikeluarkan pada ultah inter yang ke-100 tahun.
Determinasi Kapitalisme dan Identitas Fans Sepakbola yang Bias
Dari rangkuman tulisan di atas terlihat fenomena jersey yang memakmurkan sepakbola tidak terlepas “tangan gaib” bernama kapitalisme, kita bagaimana sebuah klub sepakbola berusaha mematenkan nama klub nya menjadi sebuah brand universal, dengan “menjual identitas” yang klub itu punya yang salah satunya adalah Jersey. Jersey menjadi sebuah identitas yang amat laku di jual karena posisi jersey sendiri sangat cukup untuk membuktikkan ke khalayak umum jika kita adalah fans dari klub itu sendiri.
Paham kapitalisme yang dianut oleh klub sepakbola memang tidak mungkin bisa dilepaskan, karena seperti yang kita tahu jika di era sepakbola industry kini klub sepakbola memasuki sebuah era kepemilikkan “ Go Public” yang artinya fans bisa di bilang adalah lebih dari ½ nyawa yang di punyai suatu klub sepakbola, karena selain berfungsi sebagai pendukung, fans juga menjadi “controller” ( dalam hal ini adalah pemilik saham) yang artinya para fans ini tidak lagi hanya pendukung suatu klub sepakbola namun juga sebagai pengawas dari kebijakan dan aktifitas klub sepakbola. Seiring dengan fungsi yang “menyatu” dengan klub kesayangannya maka bisa di tebak jika “rasa memiliki” fans terhadap klub kesayangannya semakin bertambah. Dan tentu saja rasa kepemilikkkan yang besar dari para fans inilah yang di jadikan celah oleh klub untuk terus melebarkan basis pendukungnya ke tempat-tempat lain di belahan dunia.
Namun begitu hal ini juga menjadi sebuah di lema tersendiri hal ini karena tidak ada lagi batas identitas yang jelas antara fans sejati dengan pecinta “jersey fashion” , karena dengan desaign, harga dan mudahnya mendapatkan jersey klub idola . namun begitu bagi penulis sendiri kedua hal ini tak perlu di perdebatkan karena sejatinya penulis sendiri juga belum mendapatkan arti sesungguhnya dari identitas fans sejati , jadi jikapun ada fenomena “fashion jersey” penulis rasa semua itu tak masalah toh bagi penulis sendiri sepakbola memang olahraga yang penuh dengan “magic, dan sihir” , sehingga memang tidak perlu membuat sekat antara fans sejati dan “fashion jersey” sebagai pembeda, hal ini seperti  sepakbola yang telahir sebagai olahraga untuk semua sehingga tak perlu rasanya membuat sekat untuk sepakbola agar di cintai .
Tulisan Ini telah di diskusikan dalam forum DKS (Diskusi Kamis Sore) yang di adakan tiap kamis sore pukul 16:00 di Fakultas Ilmu Sosial -Universitas Negeri Jakarta
Love Football No Vandal

[1] Richard Giulianotti: Sepakbola dan Pesona Sihir Global hal: 109

Musik, lirik, dan kesadaran

Kajian mengenai lirik dalam lagu yang membangkitkan semangat kesadaran dan perlawanan telah banyak dibahas di berbagai literature. Kita mudah mencari bagaimana musik dan lirik memiliki keterlekatan untuk membangkitkan kesadaran dari individu akan realitas sosialnya.

Menurut Kamus Oxford Muka Learner, sastra merupakan bagian dari tulisan yang dihargai sebagai karya seni (Hornby, 2000: 783). Sebuah karya sastra merupakan karya imajinatif yang menggunakan bahasa sastra. Ini berarti bahwa bahasa yang digunakan harus berbeda dari bahasa sehari-hari atau bahasa ilmiah. Bahasa sastra yang ambigu dan memiliki sisi ekspresif yang justru dihindari oleh berbagai jenis bahasa ilmiah dan bahasa sehari-hari[1].

Karena ambiguitas dan penuh ekspresi, bahasa sastra cenderung untuk mempengaruhi, membujuk, dan akhirnya mengubah sikap pembaca. Atas dasar ini mengapa penulis di awal tulisan menyebutkan bahwa lirik dalam lagu membangkitkan semangat kesadaran dan perlawanan akan kondisi sosial si penikmat musik. Sedangkan musik itu sendiri memiliki pengertian, sebagai seni dan ilmu yang membuat kombinasi menyenangkan dari suara, dalam kombinasi ritmis dan harmonis (Purwanto, 1999:1). Berbicara tentang lagu, kita juga akan berbicara tentang lirik. Lyric adalah kata-kata dari sebuah lagu yang terdiri untuk bernyanyi (Hornby, 2000: 253).

Musik itu sendiri sangat universal. Ia dikonsumsi oleh banyak orang di seluruh dunia, baik putih atau hitam. Musik juga mencerminkan gambaran manusia dalam kehidupan sosial. Musik dapat menunjukkan politik, budaya, ekonomi, sosial, dan agama.

Masuk di era industri menjadi pisau mata dua, kita melihat bagaimana derasnya laju industri yang merambah ke musik. Menjadi tidak mengherankan jika saat ini kita nyaman dengan lantunan lirik yang mendayu-dayu, seputar percintaan yang berorientasi hubungan dua individu beda jenis kelamin, perselingkuhan yang memuakkan, hingga pesan-pesan abnormal. Kondisi yang berjauhan dengan fakta sosial yang kita lihat dan kita 'nikmati' bersama.

Dari banyak referensi musisi yang lahir di era industri saat ini dan masa lalu, kita bisa menyebut banyak dari mereka yang masih bertahan untuk membuat musik yang membangkitkan kesadaran dari penikmat musik akan kondisi sebenarnya dari lingkungan yang mereka tempati.

Penulis mencoba menyebut beberapa musisi yang memiliki keteguhan melakukan hal tersebut atau dalam bahasa latin disebut, justum act tenacem[2] . Dari luar negeri, tepatnya di Amerika Serikat saat masa diskriminasi kulit hitam, kita tentu mengenal sosok tuna netra bernama Stevland Hardaway Judkins atau lebih populer dikenal sebagai Stevie Wonder.

Jika Nelson Mandela berjuang menentang politik diskirimasi ras (Apartheid) melalui senjata dan diplomasi. Stevie Wonder melakukan itu dengan lirik lagu. Salah satu lagu Stevie Wonder berjudul Living For The City tahun 1987 memamaparkan bagaimana kehidupan masyarakat ras kulit hitam di USA yang mendapat perlakuan diskriminastif. Mereka tak diperkenankan untuk hidup di kota berbaur dengan ras kulit putih[3]. Stevie mencurahkan kegundahan hal tersebut lewat beberapa bait sastra dalam lagunya,
To keep him strong moving in the right direction
Living just enough, just enough for the city...ee ha! (Living For The City)

Kekinian, beberapa dari kita mengenal musisi eropa yang juga bernyanyi untuk menyuarakan sebuah kesadaran akan kondisi realitas sosial yang dihadapi masyarakat dunia. Musisi itu bernama Manu Chao.  Manu Chao adalah musisi asal Prancis keturunan Spanyol, ia terlahir bernama Jose-Manuel Thomas Arthur Chao. Ia pernah membentuk band dengan jenis musik punk yang mengeluarkan 5 album yang tersebar di Prancis, Spanyol, dan kawasan Amerika Latin. Titik balik kesadaran Manu menuliskan lirik dalam musiknya yang membangun kesadaran masyarakat terjadi ketika ia konser di Kolombia. Saat itu, ia bernyanyi di hadapan pendengar yang bersenjata. Mereka adalah individu-individu yang mengangkat senjata terhadap pemerintahan Kolombia yang tidak berpihak ke masyarakat miskin. Untuk skala Eropa dan Amerika Latin, Garth Cartwright, seorang penulis dan jurnalis lepas BBC, berani membandingkan popularitas Manu Chao dengan The Beatles. Lebih banyak lagi yang membandingkan Manu dengan sang legendaris, Bob Marley[4].

Negeri ini di kisaran medio 60-an pun memiliki beberapa musisi seperti itu. Bahkan ada lembaga  budaya yang memiliki tugas menjadikan musik sebagai 'alat' penyadaran dan perlawanan. Musik adalah senjata untuk meneriakan kata lawan terhadap penindasan. Itu yang dikatakan Nyoto, salah seorang pendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)[5]. Lekra sendiri adalah lembaga budaya yang amat berkualitas, namun sayang perhara politik 65 mengakibatkan organisasi budaya yang memiliki prinsip 1-5-1 dalam berkarya harus mati.

Sedikit bercerita mengenai Lekra dan perjuangannya memajukan seni budaya, prinsip 1-5-1 yang diemban oleh para seniman Lekra dalam berkarya amat jelas tergambar dalam setiap karya yang dihasilkan. Lekra begitu gencar menyerang aliran musik melankolis semu yang mereka sebut aliran musik ngak, ngik, ngok atau lagu-lagu kambing kebelet kawin. Atau istilah yang lebih popular saat ini lagu cinta melulu. Lagu-lagu ini memerosotkan moral dan bertentangan dengan ruh revolusi yang pada masa itu sedang dikobarkan oleh Soekarno.

Kini kita tentu merasakan 'kehilangan' akan organiasasi seperti Lekra. Organisasi seni yang menjaga dan merawat identitas budaya bangsa ini. Fakta tak bisa di tampik bahwa sekarang kitaa sedang mengalami krisis kebudayaan. Krisis kebudayaan yang dimaksud adalah hilangnya seluruh entitas kebudayaan nasional, solidaritas tradisional, dan segala bentuk nilai-nilai kolektif dan egalitarian. Krisis kebudayaan ini sering dipersamakan dengan imperialisme kebudayaan, sebuah proses penjajahan yang dilakukan kekuatan modal multinasional terhadap negeri-negeri dunia ketiga. Penjajahan tidak melulu hanya pada lapangan ekonomi dan politik, tetapi juga berlangsung dengan terbuka dalam lapangan kebudayaan.

Namun setidaknya kita masih tersegarkan dengan masih munculnya beberapa musisi 'tulen' yang menerapkan prinsip 1-5-1 dalam karya mereka, meski di sadari atau tidak disadari oleh para musisi itu sendiri. Sebut saja band punk, Marjinal dengan lirik yang amat keras menghantam tatanan social, politik, dan budaya konservatif saat ini. Atau band Efek Rumah Kaca (ERK) yang memiliki beberapa lagu yang menghentak telingan penguasa saat ini. Tengok saja beberapa lirik ERK. Sebuah ajakan juga dilontarkan agar masyarakat Indonesia bangkit mewujudkan mimpi-mimpi yang terpendam, memperbaiki citra negeri ini agar dikenal sebagai negara besar dimata dunia, tidak bergantung kepada negara lain dan menjadi Indonesia yang sesungguhnya kelak. lekas, bangun dari tidur berkepanjangan menyatakan mimpimu cuci muka biar terlihat segar merapihkan wajahmu masih ada cara menjadi besar memudakan tua mu menjelma dan menjadi Indonesia…’ (Menjadi Indonesia).

Aspek sosiologis yang tercermin dalam karya sastra adalah konsep stabilitas sosial, kelangsungan masyarakat yang berbeda, bagaimana makhluk individu dapat menerima individu lain berada di dalam kelompoknya, bagaimana proses perubahan masyarakat secara bertahap, dan bagaimana perubahan besar terjadi di masyarakat (Endraswara 2006:88). Goldmann menyatakan bahwa tujuan dari pendekatan sosiologis bukan untuk menilai apakah sebuah karya berhasil atau tidak dalam merefleksikan masyarakat, tapi bagaimana baik itu mencerminkan sumber aslinya (1997:145).

Saya bukan pemimpin atau penyambung lidah rakyat (voice of the voiceless).. Saya sadar memiliki tanggung jawab, yang mungkin dapat membantu orang lain ~Mano Chao~
~PSG~


[1]           (www.oyoth.multiply com/journal/item/2/Analisis_Puisi:. 2009)

[2]     Multatuli, Pengarang besar, Pembela rakyat kecil, Pencari keadilan dan kebenaran, Pustaka Jaya, 2005.

[3]    Skripsi Maggie Dwilistiani “THE INTERACTION BETWEEN BLACK AND WHITE AMERICAN
      AS SEEN IN STEVIE WONDER’S SONGS” Unsoed, 2011.

[4]     http://www.berdikarionline.com/suluh/20120211/manu-chao-semangat-kolektif-menghadapi-globalisasi.html

[5]    Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965