Monday, May 4, 2009

PERINGATAN MAY DAY : ANTARA PERJUANGAN KELAS DAN DOKTRINASI IDEOLOGI

"Mereka dirampas haknya

tergusur dan lapar

Bunda, relakan darah juang kami

tuk membebaskan rakyat"

Berberapa petikan syair dari lagu Darah Juang tersebut selalu terdengar pada peringatan Mayday di Indonesia. Sebuah lagu yang mengungkapkan penderitaan dari para buruh bukan hanya di indonesia tapi seluruh dunia pada umumnya.Sebuah kondisi dimana buruh tersebut dalam keadaan yang sulit, terjepit, dan mengalami ketidakadilan. Bentuk ketidakadilan yang dialami mengakibatkan kehidupan buruh yang semakin tertindas yang mengarah kepada suatu kondisi kemiskinan dan Penderitaan.

May Day mejadi sebuah simbol perjuangan kelas, adalah bukti kesadaran kelas pekerja yang hadir sejak diawalinya industrialisasi di dalam masyarakat. Masyarakat terubah menjadi pabrik dengan mesin-mesin bising beserta divisi-divisi kerja, yang memisah-misahkan aktifitas dan kesadaran mereka sebagai kelas yang tersubordinat. Transformasi ini mendefinisika bentuk dari kesadaran kelas yang terjadi pada waktu itu. Apabila May Day lahir dari radikalisasi kesadaran kelas pekerja di era industri, bagaimana menempatkannya dengan kesadaran kelas di era pascaindustri, di mana kelas itu sendiri telah semakin kabur?

Setelah Perang Dunia II, banyak pemikir Marxis, terutama kalangan Mazhab Frankfurt, tidak lagi melihat romantisisme perjuangan kelas era industri sebagai sesuatu yang relevan bagi sistem yang mereka namai sebagai 'kapitalisme lanjut'. Mereka melihat perkembangan kapitalisme industrial menuju pascaindustrial melahirkan bentuk-bentuk lebih maju, kompleks, yang dapat mengintegrasikan setiap level aktifitas sosio-kultural masyarakat.Perkembangan ini bisa dilihat dari tumbuh pesatnya pabrik-pabrik pendidikan dan budaya teknokratik serta munculnya ideologi kekuasaan baru: kapitalisme birokratik. Kapitalisme lanjut, menurut mereka, telah berhasil merasionalisasi keterasingan masyarakat menjadi sesuatu yang normal.

Peran-peran ini terutama dilakukan oleh kemajuan teknologi dan industr pendidikan—yang mencapai kulminasinya setelah Perang Dunia II—dengan menyuntikkan ideologi borjuis kepada pelajar, yang nantinya menjadi produk-produk intelektual kompeten bagi kepentingan kapitalisme. Proletariat pascaindustri tidak lagi terwujud sebagai kelas-kelas, dalam pengertian konsepsi Marxis mengenai konflik yang tak terdamaikan di antara kelas pekerja dan kelas pemodal. Kontradiksi kelas semacam ini, bagaimanapun, telah menguap. Di negara-negara komunis kelas pekerja menjadi bagian birokrasi negara dan menjadi hamba bagi ideologi kekuasaan tersebut. Sementara kelas pekerja di negara-negara kapitalisme Barat terintegrasilebih jauh ke dalam budaya konsumtif. Kelas-kelas di dalam masyarakat sekarang, tidak lagi seperti kelas dalam bayangan Marx. Akan tetapi, sudah semakin terintegrasi dan melebur menjadi bagian inheren sistem kapitalistik.

Meskipun begitu, para filsuf ini sama sekali tidak menawarkan sebuah praktik konkrit untuk menyikapi sistem kapitalistik yang sudah sedemikian menyeluruh. Pada sisi lain, Mazhab Frankfurt, tetap memberi kontribusi penting fondasi teori-praksis ilmiah bagi gerakan-gerakan yang lahir dari setiap keretakkan kapitalisme lanjut. Gerakan-gerakan yang lahir dari Mazhab Frankfurt sangat dikarakteristisasikan dengan wacana emansipatoris,partisipatif, dan nonhierarkis yang juga menjadi narasi utama Teori Kritis aliran Frankfurt. Mazhab Frankfurt sengaja bergelut di wilayah sosiologi,psikologi, teknologi, dan budaya untuk menyingkap setiap kepentingan yang melatarbelakangi kesadaran 'palsu' individual dan perannya di dalam masyarakat.

Setelah tahun 60an—di mana terjadi berbagai perjuangan dari berbagai ranah kultural, rasial, gender, seksual serta tumbuh pesatnya gerakan pelajar—hingga pada perlawanan kontemporer terhadap neoliberalisme yang terjadi di seluruh dunia, May Day bukan lagi menjadi momen perayaan aktifitas serikat pekerja dan partai Kiri. Akan tetapi momentum tersebut, telah direnggut menjadi momentum kesadaran kelas baru yang tidak lagi berasosiasi dengan praksis-praksis usang marxisme-leninisme. Dan yang lebih mencorakkan gerakan proletariat modern terhadap penolakan politik kepartaian dan penghambaan ideologi. Pemikir-pemikir Marxis 'antiotoritarian'[iv] seperti: Antonio Negri, John Holloway, Harry Cleaver, membuka ruang bagi definisi baru perjuangan kelas, menjadi inspirator bagi gerakan emansipasitoris proletariat modern. Bahkan para pemikir ini, seringkali mengabaikan konsepsi kesadaran kelas Marxis tradisional, yang dianggap terlalu ekonomik-politis deterministik, sehingga tidak dapat merefleksikan kebutuhan emansipasistik proletariat di era pascaindustri.

Munculnya berbagai macam gerakan antiotoritarian yang bergelut di berbagai isu lingkungan, pelajar, homoseksual, indigenous, hak-hak perempuan dan imigran, pengangguran, pekerja tidak tetap, dan banyak lagi varian gerakan sosial, yang wacananya sentralnya adalah sebuah perlawanan menyeluruh terhadap kapitalisme neoliberal beserta aparatus negara.

Reclaim The Streets (RTS), yang berakar di Inggris, adalah gerakan lingkungan radikal yang mengambilalih jalan-jalan tersibuk pusat perkotaan—di dalam rentang waktu temporer--untuk mengangkat isu-isu penghapusan budaya kendaraan bermotor sambil berjoget ria dengan musik rave. Tidak jarang RTS melakukan kolaborasi bersama aksi pemogokan kelas pekerja Tute Bianche, gerakan otonomis Italia, menduduki beberapa gedung kosong untuk dijadikan tempat koordinasi gerakan radikal antineoliberal sekaligus menjadikannya sarana ruang publik. Gerakan-gerakan pekerja seperti Wildcat Jerman, Federasi ClassWar, People's Global Action, praktisi culture jammers[v] melawan budaya konsumtif, No Border Network, Zapatista, petani tanpa tanah di Brazil, Piqueterros Argentina, dan Mapuche di Chilli. Di Asia terdapat gerakan serikat pekerja radikal, Earth First di Davao, eks-pekerja PT DI dan Serikat Becak Jakarta di Indonesia, Intifada, Anarchist Against the Walls, dan gerakan homoseksual di Timur Tengah, adalah sekian dari beragamnya kesadaran kelas baru yang muncul di era pascaindustri. Sebuah kesadaran kelas tidak lagi digolongkan oleh definisi kelas-kelas sempit Kesadaran kelas pascaindustri melihat diri sebagai subyek yang tersubordinasikan ke dalam sistem kapitalisme yang mengarah kepada kesadaran emansipatif demi mengambil alih kendali atas kehidupannya, di dalam relungaktifitas keseharian.

Inti perjuangan kelas May Day juga berasal dari bentuk kesadaran kelas serupa. Perjuangan kelas Haymarket dipengaruhi oleh semangat antiotoritarian radikal yang tidak menghamba pada kepentingan ideologi kekuasan tertentu. Relevansi May Day hari ini adalah untuk mengembalikan inti kesadaran kelas yang sejati, yang selama ini telah dininabobokkan oleh kepentingan ideologi Kiri dan hasratnya untuk menyubordinasi, meniadakan otonomi. Untuk membawa kesadaran kelas kepada setiap level masyarakat yang termiskinkan tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara pemenuhan kualitas hidup.

- Untuk Kaum Buruh yang sejahtera

- Untuk Pembangunan Perekonomian Indonesia yang lebih baik

Salam Pembangunan