Jersey, untuk penggemar
sepakbola kata “jersey” mungkin sudah tak terasa asing di telinga, karena
jersey merupakan suatu ciri dan kebangaan serta bukti bahwa penggila bola
tersebut “memuja” dan mendukung klub kesayangannya. Tulisan ini sendiri
terinspirasi dari penglihatan saya serta obrolan di antara kawan-kawan saya
tentang “Wabah” jersey sebagai “mazhab” baru berpakaian (khususnya di kalangan
kaum remaja). Ini terkait dengan bagaimana sepakbola di negeri kita seakan sudah
menjadi olahraga ”primer” (walaupun timnas dan organisasi sepakbola kita masih
stagnan), namun peran media dalam menyiarkan pertandingan dari liga kelas dunia
menjadi “berkah” bagi fans sepakbola yang menyaksikan tayangan tersebut.
Seperti yang dijalskan sekilas
pada paraghraph di atas jika “Jersey” biasa diartikan sebagai seragam/ kostum
dari sebuah klub dan tim nasional sepakbola. Dalam sepakbola jersey merupakan
salah satu syarat wajib dalam olahraga ini sebagai pertanda sebuah klub. Jersey
sendiri biasanya dikaitkan dengan sejarah atau filosofi sebuah tim sepakbola,
Kita ambil contoh jersey AC Milan yang mempunyai filosofi I Rossoneri
(Merah-hitam) . Herbert Kilpin pernah berujar “ Warna Kami akan merah, seperti
setan dan Hitam, yang menebar ketakutan pada lawan-lawan kami” secara ringkas
bisa diartikan jika warna Merah-Hitam pada jersey AC Milan adalah “Setan yang
menakutkan” tentu filosofi bukan berarti AC Milan sebuah klub pemuja “Satanic”
(pemuja setan) namun lebih sebagai “identitas” untuk menjatuhkan mental
lawan yang menghadapi mereka.Dari ringkasan diatas bisa kita lihat bahwa warna
jersey sebenarnya amat terkait dengan kesan (image) yang ingin yang di
tunjukkan oleh suatu tim sepakbola.
Jersey, Sponsor dan
“Kemakmuran”
Jersey (khususnya pada
major league) kini bukan lagi hanya sekedar seragam yang menutupi tubuh pemain,
jersey juga bukan lagi hanya sekedar warna yang digunakan untuk membedakan satu
klub sepakbola dengan klub yang lain. Di Era ini jersey sudah menjadi symbol
kemakmuran sebuah klub/Timnas juga pemain yang di kontrak khusus oleh pemasok
(Jersey) tersebut.Fenomena tersebut mulai terjadi semenjak decade 1960-an,
dimana ekonomi politik sepakbola telah menjalankan modernisasi kilat dalam
komodifikasi budaya popular yang lebih luas guna mendapat keuntungan yang lebih
besar, yang kemudian melahirkan sebuah “simbiosis mutualisme”(Klub Mendongkrak
Sponsor begitu juga sebaliknya) hal kemudian berkembang lagi sehingga sebuah
klub dapat mendapat julukkan “Tim Unggulan” dan “Tim Medioker”.ini bisa dilihat
salah satunya dari perusahaan apa yang menumpang pada jersey klub tersebut.
Contoh rata-rata tim unggulan adalah klub yang mempunyai sponsor yang bersifat
global (merk yang mendunia) dan tim medioker adalah klub yang mempunyai sponsor
yang bersifat local (kedaerahan).
Paragraph diatas
biasanya terjadi karena besarnya nilai kontrak yang diberikan sponsor yang
menggunakan jersey, sekedar info pada tahun 1996 M.U. Melakukan kontrak 5 tahun
dengan perusahaan UMBRO senilai 10 juta poundsterling, di tahun yang sama Real
Madrid melakukan hal yang sama dengan ADIDAS, pada level Timnas, adalah Timnas
Brazil yang melakukan perjanjian 10 tahun dengan NIKE dengan nilai 250 juta
poundsterling[1],
hal tadi adalah contoh dari Komodifikasi Global pada sepakbola yang secara
langsung memberikan efek pada “kemajuan” dan keuntungan
bagi klub/Timnas tersebut, karena menjadi terkenal dan dikonsumsi
dengan basis universal.
Hal sebaliknya terjadi
pada Klub yang bersifat “medioker” , merk dan kapasitas sponsor yang tak
terlalu besar terkadang menghambat pada kemajuan hal tersebut untuk bisa
memperkenalkan klubnya secara universal. Untuk kasus yang satu ini bahkan
pernah melihat salah satu iklan klub sepakbola amatir yang bertanding tanpa
jersey (alias bertelanjang dada), yang ternyata iklan tersebut di buat guna
menarik simpati sponsor untuk membubuhkan merknya pada jersey klub amatir
tersebut.
Makna Jersey Kini :
Antara Identitas Fans Sepakbola dan Fashion
Sebelum membahas lebih
jauh tentang sub judul diatas ada baiknya kita mengenal jenis-jenis jersey. Di
Indonesia ada beberapa jenis jersey yang biasanya banyak di gunakan yaitu :
Jersey Pabrikkan, KW Lokal, KW Hongkong, KW Thailand, Great Ori, Hingga
Original. Definisi jersey tersebut biasanya memang hanya di peruntukkan bagi“major
league” (liga utama dunia) seperti Liga Itali, Spanyol, Inggris, dan
Jerman, alasannya sudah barang tentu liga-liga tersebut mempunyai banyak
penggemar serta basis komunitas yang kuat. Hal inilah yang biasanya membuat
tipe-tipe jersey tadi terus ada guna menampung “animo” fans (baik secara
individu maupun komunitas) mengingat di dalam komunitas fans tersebut memang
terdiri dari kelas social yang beragam.
Jersey
sebagai identitas fans bisa dibilang menjadi identitas yang kuat bagi fans
agar dikenali baik itu oleh komunitasnya sendiri maupun “komunitas lawan” .
gejala semacam ini memang telah terjadi sejak lama. Beberapa Fenomena jelas
mengambarkan jika jersey bisa jadi lambang kebangaan, kerusuhan,sentiment,
hingga kematian. Kisah kota Glascow di skotlandia adalah salah satu fenomena
paling sahih betapa sakralnya sebuah jersey buah dari perseteruan dua klub
Glascow celtic dan Glascow Ranger.. bahkan saya juga pernah membaca kisah
seorang fans yang di tilang hanya karena fans tersebut merupakan fans Milan
yang notabene berlawanan dengan klub kebangaan polisi yang menilangnya (Inter
Milan). dari kisah-kisah tersebut bisa dibilang betapa jersey menjadi
sebuah barang yang “sakral” bagi seorang fans sepakbola.
Namun seiring kini
fenomena jersey sebagai fashion juga ini juga bisa menjadi sebuah pertanda jika
kini sepakbola sudah milik “semua kalangan” tanpa memandang kelas social, ras,
bahkan gender, seragam/kostum sepakbola kini tak hanya sebagai identitas
kalangan terbatas (red: pendukung suatu klub/Timnas tertentu) tetapi juga demi
kepentingan “fashion” di kalangan masyarakat. Hal ini menurut saya ditandai
dengan munculnya jersey “khusus” wanita, karena tak seperti awal munculnya
olahraga sepakbola dan jersey itu sendiri, jersey feminin begitu kuat guna
menasbihkan sepakbola sebagai “olahraga untuk semua” . mengapa contohnya
perempuan karena bagi saya sendiri perempuan adalah “symbol” dari sebuah
fashion walau tidak di pungkiri pada saat sekarang pria pun bisa menjadi
“kiblat”, hal ini bisa dilihat dari banyaknya atlit sepakbola yang menjadi
Model untuk jersey klubnya. Dengan lahirnya fenomena “Jersey sebagai
Fashion” maka jangan heran pula jika kita menemui orang yang memakai
jersey di tempat-tempat yang sebenarnya tidak terkait dengan sepakbola
(stadion, base camp fans club) tetapi kini jersey juga dapat kita temui di
kampus, jalan umum, mall, bahkan klub malam. Kita juga tak perlu heran jika
yang pengguna jersey tak terlalu tahu tentang “makna” (filosofi klub, sejarah,
bahkan pemain) dari jersey tersebut.
Sebagai contoh konkrit
penulis akan menuliskan tweet seorang teman wanita penulis, tweet itu sendiri
berbunyi “ga ngerti sepakbola..ga terlalu juga suka juga nonton
bola..tp pengen punya jersey! Kira2 baju yang bagus club apa ya?” dari isi
twit tersebut secara gamblang dapat dilihat jika teman wanita penulis tersebut,
mempunyai posisi hanya sebagai “pembeli jersey” dengan design yang cocok
untuk dirinya. ini berarti teman wanita penulis tersebut bukan membeli jersey
guna memenuhi identitasnya sebagai fans satu klub sepakbola melainkan
menyalurkan “hasrat fashion” nya tanpa memperdulikan aspek sejarah, dan
prestasi. Hal terbalik terjadi ketika obrolan santai penulis dengan teman
prianya yang berusaha mencari jersey khusus klub kesayangannya (inter Milan)
yang dikeluarkan pada ultah inter yang ke-100 tahun.
Determinasi Kapitalisme
dan Identitas Fans Sepakbola yang Bias
Dari rangkuman tulisan di
atas terlihat fenomena jersey yang memakmurkan sepakbola tidak terlepas
“tangan gaib” bernama kapitalisme, kita bagaimana sebuah klub sepakbola
berusaha mematenkan nama klub nya menjadi sebuah brand universal, dengan
“menjual identitas” yang klub itu punya yang salah satunya adalah Jersey.
Jersey menjadi sebuah identitas yang amat laku di jual karena posisi jersey
sendiri sangat cukup untuk membuktikkan ke khalayak umum jika kita adalah fans
dari klub itu sendiri.
Paham kapitalisme yang
dianut oleh klub sepakbola memang tidak mungkin bisa dilepaskan, karena seperti
yang kita tahu jika di era sepakbola industry kini klub sepakbola memasuki
sebuah era kepemilikkan “ Go Public” yang artinya fans bisa di bilang adalah
lebih dari ½ nyawa yang di punyai suatu klub sepakbola, karena selain berfungsi
sebagai pendukung, fans juga menjadi “controller” ( dalam hal ini adalah
pemilik saham) yang artinya para fans ini tidak lagi hanya pendukung suatu klub
sepakbola namun juga sebagai pengawas dari kebijakan dan aktifitas klub
sepakbola. Seiring dengan fungsi yang “menyatu” dengan klub kesayangannya maka
bisa di tebak jika “rasa memiliki” fans terhadap klub kesayangannya semakin
bertambah. Dan tentu saja rasa kepemilikkkan yang besar dari para fans inilah
yang di jadikan celah oleh klub untuk terus melebarkan basis pendukungnya ke
tempat-tempat lain di belahan dunia.
Namun begitu hal ini
juga menjadi sebuah di lema tersendiri hal ini karena tidak ada lagi batas
identitas yang jelas antara fans sejati dengan pecinta “jersey fashion” ,
karena dengan desaign, harga dan mudahnya mendapatkan jersey klub idola .
namun begitu bagi penulis sendiri kedua hal ini tak perlu di perdebatkan karena
sejatinya penulis sendiri juga belum mendapatkan arti sesungguhnya dari
identitas fans sejati , jadi jikapun ada fenomena “fashion jersey” penulis rasa
semua itu tak masalah toh bagi penulis sendiri sepakbola memang olahraga yang
penuh dengan “magic, dan sihir” , sehingga memang tidak perlu membuat sekat
antara fans sejati dan “fashion jersey” sebagai pembeda, hal ini seperti
sepakbola yang telahir sebagai olahraga untuk semua sehingga tak perlu
rasanya membuat sekat untuk sepakbola agar di cintai .
Tulisan Ini telah di diskusikan dalam
forum DKS (Diskusi Kamis Sore) yang di adakan tiap kamis sore pukul 16:00 di
Fakultas Ilmu Sosial -Universitas Negeri Jakarta
Love Football No Vandal
No comments:
Post a Comment