Tuesday, November 13, 2012

Musik, lirik, dan kesadaran

Kajian mengenai lirik dalam lagu yang membangkitkan semangat kesadaran dan perlawanan telah banyak dibahas di berbagai literature. Kita mudah mencari bagaimana musik dan lirik memiliki keterlekatan untuk membangkitkan kesadaran dari individu akan realitas sosialnya.

Menurut Kamus Oxford Muka Learner, sastra merupakan bagian dari tulisan yang dihargai sebagai karya seni (Hornby, 2000: 783). Sebuah karya sastra merupakan karya imajinatif yang menggunakan bahasa sastra. Ini berarti bahwa bahasa yang digunakan harus berbeda dari bahasa sehari-hari atau bahasa ilmiah. Bahasa sastra yang ambigu dan memiliki sisi ekspresif yang justru dihindari oleh berbagai jenis bahasa ilmiah dan bahasa sehari-hari[1].

Karena ambiguitas dan penuh ekspresi, bahasa sastra cenderung untuk mempengaruhi, membujuk, dan akhirnya mengubah sikap pembaca. Atas dasar ini mengapa penulis di awal tulisan menyebutkan bahwa lirik dalam lagu membangkitkan semangat kesadaran dan perlawanan akan kondisi sosial si penikmat musik. Sedangkan musik itu sendiri memiliki pengertian, sebagai seni dan ilmu yang membuat kombinasi menyenangkan dari suara, dalam kombinasi ritmis dan harmonis (Purwanto, 1999:1). Berbicara tentang lagu, kita juga akan berbicara tentang lirik. Lyric adalah kata-kata dari sebuah lagu yang terdiri untuk bernyanyi (Hornby, 2000: 253).

Musik itu sendiri sangat universal. Ia dikonsumsi oleh banyak orang di seluruh dunia, baik putih atau hitam. Musik juga mencerminkan gambaran manusia dalam kehidupan sosial. Musik dapat menunjukkan politik, budaya, ekonomi, sosial, dan agama.

Masuk di era industri menjadi pisau mata dua, kita melihat bagaimana derasnya laju industri yang merambah ke musik. Menjadi tidak mengherankan jika saat ini kita nyaman dengan lantunan lirik yang mendayu-dayu, seputar percintaan yang berorientasi hubungan dua individu beda jenis kelamin, perselingkuhan yang memuakkan, hingga pesan-pesan abnormal. Kondisi yang berjauhan dengan fakta sosial yang kita lihat dan kita 'nikmati' bersama.

Dari banyak referensi musisi yang lahir di era industri saat ini dan masa lalu, kita bisa menyebut banyak dari mereka yang masih bertahan untuk membuat musik yang membangkitkan kesadaran dari penikmat musik akan kondisi sebenarnya dari lingkungan yang mereka tempati.

Penulis mencoba menyebut beberapa musisi yang memiliki keteguhan melakukan hal tersebut atau dalam bahasa latin disebut, justum act tenacem[2] . Dari luar negeri, tepatnya di Amerika Serikat saat masa diskriminasi kulit hitam, kita tentu mengenal sosok tuna netra bernama Stevland Hardaway Judkins atau lebih populer dikenal sebagai Stevie Wonder.

Jika Nelson Mandela berjuang menentang politik diskirimasi ras (Apartheid) melalui senjata dan diplomasi. Stevie Wonder melakukan itu dengan lirik lagu. Salah satu lagu Stevie Wonder berjudul Living For The City tahun 1987 memamaparkan bagaimana kehidupan masyarakat ras kulit hitam di USA yang mendapat perlakuan diskriminastif. Mereka tak diperkenankan untuk hidup di kota berbaur dengan ras kulit putih[3]. Stevie mencurahkan kegundahan hal tersebut lewat beberapa bait sastra dalam lagunya,
To keep him strong moving in the right direction
Living just enough, just enough for the city...ee ha! (Living For The City)

Kekinian, beberapa dari kita mengenal musisi eropa yang juga bernyanyi untuk menyuarakan sebuah kesadaran akan kondisi realitas sosial yang dihadapi masyarakat dunia. Musisi itu bernama Manu Chao.  Manu Chao adalah musisi asal Prancis keturunan Spanyol, ia terlahir bernama Jose-Manuel Thomas Arthur Chao. Ia pernah membentuk band dengan jenis musik punk yang mengeluarkan 5 album yang tersebar di Prancis, Spanyol, dan kawasan Amerika Latin. Titik balik kesadaran Manu menuliskan lirik dalam musiknya yang membangun kesadaran masyarakat terjadi ketika ia konser di Kolombia. Saat itu, ia bernyanyi di hadapan pendengar yang bersenjata. Mereka adalah individu-individu yang mengangkat senjata terhadap pemerintahan Kolombia yang tidak berpihak ke masyarakat miskin. Untuk skala Eropa dan Amerika Latin, Garth Cartwright, seorang penulis dan jurnalis lepas BBC, berani membandingkan popularitas Manu Chao dengan The Beatles. Lebih banyak lagi yang membandingkan Manu dengan sang legendaris, Bob Marley[4].

Negeri ini di kisaran medio 60-an pun memiliki beberapa musisi seperti itu. Bahkan ada lembaga  budaya yang memiliki tugas menjadikan musik sebagai 'alat' penyadaran dan perlawanan. Musik adalah senjata untuk meneriakan kata lawan terhadap penindasan. Itu yang dikatakan Nyoto, salah seorang pendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)[5]. Lekra sendiri adalah lembaga budaya yang amat berkualitas, namun sayang perhara politik 65 mengakibatkan organisasi budaya yang memiliki prinsip 1-5-1 dalam berkarya harus mati.

Sedikit bercerita mengenai Lekra dan perjuangannya memajukan seni budaya, prinsip 1-5-1 yang diemban oleh para seniman Lekra dalam berkarya amat jelas tergambar dalam setiap karya yang dihasilkan. Lekra begitu gencar menyerang aliran musik melankolis semu yang mereka sebut aliran musik ngak, ngik, ngok atau lagu-lagu kambing kebelet kawin. Atau istilah yang lebih popular saat ini lagu cinta melulu. Lagu-lagu ini memerosotkan moral dan bertentangan dengan ruh revolusi yang pada masa itu sedang dikobarkan oleh Soekarno.

Kini kita tentu merasakan 'kehilangan' akan organiasasi seperti Lekra. Organisasi seni yang menjaga dan merawat identitas budaya bangsa ini. Fakta tak bisa di tampik bahwa sekarang kitaa sedang mengalami krisis kebudayaan. Krisis kebudayaan yang dimaksud adalah hilangnya seluruh entitas kebudayaan nasional, solidaritas tradisional, dan segala bentuk nilai-nilai kolektif dan egalitarian. Krisis kebudayaan ini sering dipersamakan dengan imperialisme kebudayaan, sebuah proses penjajahan yang dilakukan kekuatan modal multinasional terhadap negeri-negeri dunia ketiga. Penjajahan tidak melulu hanya pada lapangan ekonomi dan politik, tetapi juga berlangsung dengan terbuka dalam lapangan kebudayaan.

Namun setidaknya kita masih tersegarkan dengan masih munculnya beberapa musisi 'tulen' yang menerapkan prinsip 1-5-1 dalam karya mereka, meski di sadari atau tidak disadari oleh para musisi itu sendiri. Sebut saja band punk, Marjinal dengan lirik yang amat keras menghantam tatanan social, politik, dan budaya konservatif saat ini. Atau band Efek Rumah Kaca (ERK) yang memiliki beberapa lagu yang menghentak telingan penguasa saat ini. Tengok saja beberapa lirik ERK. Sebuah ajakan juga dilontarkan agar masyarakat Indonesia bangkit mewujudkan mimpi-mimpi yang terpendam, memperbaiki citra negeri ini agar dikenal sebagai negara besar dimata dunia, tidak bergantung kepada negara lain dan menjadi Indonesia yang sesungguhnya kelak. lekas, bangun dari tidur berkepanjangan menyatakan mimpimu cuci muka biar terlihat segar merapihkan wajahmu masih ada cara menjadi besar memudakan tua mu menjelma dan menjadi Indonesia…’ (Menjadi Indonesia).

Aspek sosiologis yang tercermin dalam karya sastra adalah konsep stabilitas sosial, kelangsungan masyarakat yang berbeda, bagaimana makhluk individu dapat menerima individu lain berada di dalam kelompoknya, bagaimana proses perubahan masyarakat secara bertahap, dan bagaimana perubahan besar terjadi di masyarakat (Endraswara 2006:88). Goldmann menyatakan bahwa tujuan dari pendekatan sosiologis bukan untuk menilai apakah sebuah karya berhasil atau tidak dalam merefleksikan masyarakat, tapi bagaimana baik itu mencerminkan sumber aslinya (1997:145).

Saya bukan pemimpin atau penyambung lidah rakyat (voice of the voiceless).. Saya sadar memiliki tanggung jawab, yang mungkin dapat membantu orang lain ~Mano Chao~
~PSG~


[1]           (www.oyoth.multiply com/journal/item/2/Analisis_Puisi:. 2009)

[2]     Multatuli, Pengarang besar, Pembela rakyat kecil, Pencari keadilan dan kebenaran, Pustaka Jaya, 2005.

[3]    Skripsi Maggie Dwilistiani “THE INTERACTION BETWEEN BLACK AND WHITE AMERICAN
      AS SEEN IN STEVIE WONDER’S SONGS” Unsoed, 2011.

[4]     http://www.berdikarionline.com/suluh/20120211/manu-chao-semangat-kolektif-menghadapi-globalisasi.html

[5]    Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965

No comments: