Kajian
mengenai lirik dalam lagu yang membangkitkan semangat kesadaran dan perlawanan
telah banyak dibahas di berbagai literature. Kita mudah mencari bagaimana musik
dan lirik memiliki keterlekatan untuk membangkitkan kesadaran dari individu
akan realitas sosialnya.
Menurut Kamus Oxford Muka Learner, sastra
merupakan bagian dari tulisan yang dihargai sebagai karya seni (Hornby, 2000:
783). Sebuah karya sastra merupakan karya imajinatif yang menggunakan bahasa
sastra. Ini berarti bahwa bahasa yang digunakan harus berbeda dari bahasa
sehari-hari atau bahasa ilmiah. Bahasa sastra yang ambigu dan memiliki sisi
ekspresif yang justru dihindari oleh berbagai jenis bahasa ilmiah dan bahasa
sehari-hari[1].
Karena ambiguitas dan penuh ekspresi,
bahasa sastra cenderung untuk mempengaruhi, membujuk, dan akhirnya mengubah
sikap pembaca. Atas dasar ini mengapa penulis di awal tulisan menyebutkan bahwa
lirik dalam lagu membangkitkan semangat kesadaran dan perlawanan akan kondisi
sosial si penikmat musik. Sedangkan musik itu sendiri memiliki pengertian,
sebagai seni dan ilmu yang membuat kombinasi menyenangkan dari suara, dalam
kombinasi ritmis dan harmonis (Purwanto, 1999:1). Berbicara tentang lagu, kita
juga akan berbicara tentang lirik. Lyric adalah kata-kata dari sebuah lagu yang
terdiri untuk bernyanyi (Hornby, 2000: 253).
Musik itu sendiri sangat universal. Ia
dikonsumsi oleh banyak orang di seluruh dunia, baik putih atau hitam. Musik
juga mencerminkan gambaran manusia dalam kehidupan sosial. Musik dapat
menunjukkan politik, budaya, ekonomi, sosial, dan agama.
Masuk di era industri menjadi pisau mata
dua, kita melihat bagaimana derasnya laju industri yang merambah ke musik.
Menjadi tidak mengherankan jika saat ini kita ‘nyaman’ dengan lantunan lirik yang mendayu-dayu,
seputar percintaan yang berorientasi hubungan dua individu beda jenis kelamin,
perselingkuhan yang memuakkan, hingga pesan-pesan abnormal. Kondisi yang
berjauhan dengan fakta sosial yang kita lihat dan kita 'nikmati' bersama.
Dari banyak referensi musisi yang lahir di
era industri saat ini dan masa lalu, kita bisa menyebut banyak dari mereka yang
masih bertahan untuk membuat musik yang membangkitkan kesadaran dari penikmat
musik akan kondisi sebenarnya dari lingkungan yang mereka tempati.
Penulis mencoba menyebut beberapa musisi
yang memiliki keteguhan melakukan hal tersebut atau dalam bahasa latin disebut,
justum act tenacem[2] . Dari luar negeri, tepatnya di Amerika
Serikat saat masa diskriminasi kulit hitam, kita tentu mengenal sosok tuna
netra bernama Stevland Hardaway Judkins atau lebih populer dikenal sebagai
Stevie Wonder.
Jika Nelson Mandela berjuang menentang
politik diskirimasi ras (Apartheid)
melalui senjata dan diplomasi. Stevie Wonder melakukan itu dengan lirik lagu.
Salah satu lagu Stevie Wonder berjudul “Living For The City” tahun 1987 memamaparkan bagaimana
kehidupan masyarakat ras kulit hitam di USA yang mendapat perlakuan
diskriminastif. Mereka tak diperkenankan untuk hidup di kota berbaur dengan ras
kulit putih[3].
Stevie mencurahkan kegundahan hal tersebut lewat beberapa bait sastra dalam
lagunya,
To
keep him strong moving in the right direction
Living
just enough, just enough for the city...ee ha! (Living For The City)
Kekinian, beberapa dari kita mengenal
musisi eropa yang juga bernyanyi untuk menyuarakan sebuah kesadaran akan
kondisi realitas sosial yang dihadapi masyarakat dunia. Musisi itu bernama Manu
Chao. Manu Chao adalah musisi asal
Prancis keturunan Spanyol, ia terlahir bernama Jose-Manuel Thomas Arthur Chao.
Ia pernah membentuk band dengan jenis musik punk yang mengeluarkan 5 album yang
tersebar di Prancis, Spanyol, dan kawasan Amerika Latin. Titik balik kesadaran
Manu menuliskan lirik dalam musiknya yang membangun kesadaran masyarakat
terjadi ketika ia konser di Kolombia. Saat itu, ia bernyanyi di hadapan
pendengar yang bersenjata. Mereka adalah individu-individu yang mengangkat
senjata terhadap pemerintahan Kolombia yang tidak berpihak ke masyarakat
miskin. Untuk skala Eropa dan Amerika Latin, Garth Cartwright, seorang penulis
dan jurnalis lepas BBC, berani membandingkan popularitas Manu Chao dengan The
Beatles. Lebih banyak lagi yang membandingkan Manu dengan sang legendaris, Bob
Marley[4].
Negeri ini
di kisaran medio 60-an pun memiliki beberapa musisi seperti itu. Bahkan ada
lembaga budaya yang memiliki tugas
menjadikan musik sebagai 'alat' penyadaran dan perlawanan. Musik adalah senjata
untuk meneriakan kata lawan terhadap penindasan. Itu yang dikatakan Nyoto,
salah seorang pendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)[5].
Lekra sendiri adalah lembaga budaya yang amat berkualitas, namun sayang perhara
politik 65 mengakibatkan organisasi budaya yang memiliki prinsip 1-5-1 dalam
berkarya harus mati.
Sedikit
bercerita mengenai Lekra dan perjuangannya memajukan seni budaya, prinsip 1-5-1
yang diemban oleh para seniman Lekra dalam berkarya amat jelas tergambar dalam
setiap karya yang dihasilkan. Lekra begitu gencar menyerang aliran musik
melankolis semu yang mereka sebut aliran musik “ngak,
ngik, ngok” atau lagu-lagu “kambing
kebelet kawin”. Atau istilah yang lebih popular saat ini “lagu cinta melulu”. Lagu-lagu ini memerosotkan moral dan bertentangan
dengan ruh revolusi yang pada masa itu sedang dikobarkan oleh Soekarno.
Kini kita
tentu merasakan 'kehilangan' akan organiasasi seperti Lekra. Organisasi seni
yang menjaga dan merawat identitas budaya bangsa ini. Fakta tak bisa di tampik
bahwa sekarang kitaa sedang mengalami krisis kebudayaan. Krisis kebudayaan yang
dimaksud adalah hilangnya seluruh entitas kebudayaan nasional, solidaritas
tradisional, dan segala bentuk nilai-nilai kolektif dan egalitarian. Krisis
kebudayaan ini sering dipersamakan dengan imperialisme kebudayaan, sebuah
proses penjajahan yang dilakukan kekuatan modal multinasional terhadap
negeri-negeri dunia ketiga. Penjajahan tidak melulu hanya pada lapangan ekonomi
dan politik, tetapi juga berlangsung dengan terbuka dalam lapangan kebudayaan.
Namun
setidaknya kita masih tersegarkan dengan masih munculnya beberapa musisi
'tulen' yang menerapkan prinsip 1-5-1 dalam karya mereka, meski di sadari atau
tidak disadari oleh para musisi itu sendiri. Sebut saja band punk, Marjinal
dengan lirik yang amat keras menghantam tatanan social, politik, dan budaya
konservatif saat ini. Atau band Efek Rumah Kaca (ERK) yang memiliki beberapa
lagu yang menghentak telingan penguasa saat ini. Tengok saja beberapa lirik
ERK. Sebuah ajakan juga dilontarkan agar masyarakat Indonesia bangkit
mewujudkan mimpi-mimpi yang terpendam, memperbaiki citra negeri ini agar
dikenal sebagai negara besar dimata dunia, tidak bergantung kepada negara lain
dan menjadi Indonesia yang sesungguhnya kelak. ‘lekas,
bangun dari tidur berkepanjangan…
menyatakan mimpimu…
cuci muka biar terlihat segar…
merapihkan wajahmu…
masih ada cara menjadi besar…
memudakan tua mu…
menjelma dan menjadi Indonesia…’
(Menjadi Indonesia).
Aspek sosiologis yang tercermin dalam karya
sastra adalah konsep stabilitas sosial, kelangsungan masyarakat yang berbeda,
bagaimana makhluk individu dapat menerima individu lain berada di dalam
kelompoknya, bagaimana proses perubahan masyarakat secara bertahap, dan
bagaimana perubahan besar terjadi di masyarakat (Endraswara 2006:88). Goldmann
menyatakan bahwa tujuan dari pendekatan sosiologis bukan untuk menilai apakah
sebuah karya berhasil atau tidak dalam merefleksikan masyarakat, tapi bagaimana
baik itu mencerminkan sumber aslinya (1997:145).
“Saya bukan pemimpin atau “penyambung lidah rakyat” (voice of the voiceless)..
Saya sadar memiliki tanggung jawab, yang mungkin dapat membantu orang lain” ~Mano Chao~
~PSG~
[1]
(www.oyoth.multiply com/journal/item/2/Analisis_Puisi:. 2009)
[2] Multatuli, Pengarang besar,
Pembela rakyat kecil, Pencari keadilan dan kebenaran, Pustaka Jaya, 2005.
AS SEEN IN STEVIE
WONDER’S SONGS” Unsoed, 2011.
[4] http://www.berdikarionline.com/suluh/20120211/manu-chao-semangat-kolektif-menghadapi-globalisasi.html
[5] Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar
Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965
No comments:
Post a Comment