Monday, January 24, 2011

Kritik terhadap Modernitas

Kritik terhadap Modernitas[1]

“Lihat dirimu sendiri.

Berdiri di kursimu dan bercerminlah.

Apa yang kau lihat adalah ciptaan Tuhan.

Kita tidak ditakdirkan menjalani kehidupan melalui mesin.”

(cuplikan kalimat pembuka dari film “Surrogate”)

Modernitas atau modernisasi, sebenarnya ingin menciptakan kesinambungan dalam konteks pembangunan dan kesejehateraan. Proses untuk mencapai tujuan itu memang tidak semudah yang dibayangkan, karena masih banyak ditemukan ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh negara maju terhadap negara berkembang. Apalagi ditambah dengan berkembangnya era kesadaran teknologi yang justru di lakoni oleh negara industri maju, sebagai pihak yang ingin memulai perubahan zaman ditandai pengambilalihan fungsi manusia oleh teknologi. Dalam film Surrogate, kita dapat melihat bahwa manusia sudah tidak percaya akan keberadaanya sebagai subyek, karena kediriannya sudah dimatikan oleh teknologi. Manusia mengalami gejala disfungsi sosial akibat berlarutnya masalah sosial yang dihadapi, dan menjadi frustrasi sosial. Tekanan hidup yang dihadapi tidak bisa diatasi sendiri oleh manusia subyek, karena pada dasarnya manusia sangat bergantung pada alat-alat produksi. Namun sayangnya kemampuan manusia dalam melihat itu semua di kedirikan oleh nafsu hedonis, yang justru menyebabkan manusia jadi hilang akal sehatnya dan terkungkung oleh ketidaksadaran diri.

Kebergantungan manusia terhadap modernitas, mencapai puncaknya ketika teknologi menjadi subyek, dan manusia menjadi objek. Di film tersebut, dijelaskan bahwa semua manusia di perut bumi, mengkloning dirinya dengan alat “Surrogate” dengan tujuan manusia terbebas dari tekanan hidup yang tidak menyisakan ruang untuknya menunjukkan kapasitasnya. Manusia tidak terbebas ketika teknologi memerankan ketidaknormalan itu, karena manusia diciptakan Tuhan dalam kondisi ketidakpastian yang terus berlangsung hingga sekarang. Kehadiran teknologi dalam hidup manusia cenderung memutuskan solidaritas sosial yang semestinya menjadi tradisi di era kapitalisme ini, manusia menjadi nirmakna ketika mereka menganggap kehidupan sudah ada yang mengatur, dan manusia menyerahkannya tanpa alasan rasionalitas yang dapat diterima.

Manusia kehilangan independensinya dalam membuat keputusan terkait peranannya dalam kehidupan sosial, dalam menciptakan kesadaran untuk bangkit dari ketidaksadarannya. Manusia menjadi ambigu ketika mereka tidak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan hidupnya, disorientasi tampak sekali ketika manusia tidak bisa membedakan mana hal yang subjek, dan mana yang objek. Artinya manusia tidak ingin mati, mereka ingin terus eksis tanpa tahu harus bagaimana mewujudkan itu semua. Semua manusia ingin bebas dari tekanan, mengendalikan keinginanya tanpa batasan aturan yang membelenggu dirinya, manusia ingin terlihat sempurna dalam bingkai dunia konsumsi. Keharusan untuk tampil sempurna menjadikan manusia tanpa substansi, tidak berdaya ketika mesin-mesin menawarkan sejuta keinginan kepada manusia untuk mempercantik tubuhnya.

Dan pada saat itu pula, industri bermain secara cerdas menghegemoni manusia untuk menjadi konsumennya tanpa perlu embel-embel sosial yang melekat pada aspek manusia secara keseluruhan. Dalam film tersebut, sangat jelas dimana manusia berlomba-lomba menghamba pada mesin-mesin produksi, untuk tampil beda dan mengkutuk kepribadiannya sendiri, serta menyerahkan kebebasannya pada mesin-mesin produksi. Jadi manusia tidak berproses sama sekali, dia mengalami benturan secara psikis menyangkut eksistensi dalam masyarakat. Manusia tidak percaya diri, walaupun manusia secara hierarki mengendalikan teknologi pada dasarnya itu hanya untuk menunjukkan bahwa manusia sudah kehilangan entitasnya.

Dualitas Manusia.

Pertentangan antara manusia memang pada dasarnya merembet kepada hal-hal yang subjektif, pertentangan itu dimulai ketika manusia tidak lagi menjadi hasrat(liyan) bagi dirinya dan orang lain. Hasrat untuk menjadikan dirinya subyek bagi orang lain, tetapi memilih jalan lain, yaitu menyerahkan hasratnya pada mesin-mesin produksi. Itu yang dipilih oleh sebagian manusia ketika dirinya dihadapkan pada situasi dilematis, tidak ada jalan keluar akibat keharusan ingin mencitrakan dirinya sebagai yang sempurna. Bahwa manusia dikonstruksikan oleh Tuhan tidaklah sesempurna, berarti telah terjadi kontradiksi antara manusia dan dirinya. Ataukah yang sempurna hanya milik Tuhan semata, dan manusia tidak berhak untuk mengklaim ingin dilahirkan secara sempurna? Hasrat untuk terlihat seksi, cantik, lebih mendominasi dialektika manusia saat ini, terlebih ketika dunia konsumsi menjadi budaya baru yang sulit dicegah dampak sosialnya. Lalu apa yang akan terjadi ketika manusia di perankan oleh seonggok robot-robot, tetapi pada saat yang sama manusia mampu mengendalikannya tanpa ada yang bisa menghentikannya? Manusia memperebutkan hasratnya hanya untuk eksistensi, tetapi di satu sisi manusia tidak berdaya bahwa hasrat sebenarnya tidak membutuhkan mesin-mesin produksi untuk menampilkan citranya dihadapan orang lain.

Kegilaan ini tampak semakin vulgar ketika industri kecantikan memberikan pilihan-pilihan kepada konsumennya untuk terlihat ideal dalam perspektif pasar, dan manusia sekali lagi merelakan dirinya menjadi objek dualitas yang manusia ciptakan sendiri. Dikotomi antara dualitas subjek dan objek tampak sekali mengiringi perjalanan film Surrogate, ketika Agen Geer -akhirnya memilih menjadi manusia- tidak bisa melihat secara nyata keadaan istrinya, karena istrinya menjadi robot. Bahwa ternyata pilihan untuk menjadi robot tidaklah sesuai dengan keinginan subjektifnya, walaupun manusia yang mengendalikan tetapi itu tidak membantu, artinya mesin-mesin produksi hanyalah sebuah alat yang tidak memiliki dimensi logika yang sewajarnya dimiliki manusia rasional. Eksistensi manusia tidak bisa diukur dan menyerahkannya begitu saja urusan itu pada mesin-mesin produksi, dan manusia menjadi orang lain( The Other). Bangunan struktur manusia akan runtuh jika manusia tidak lagi mengakui bahwa dirinya sudah menjadi the other, dan pada akhirnya bangunan struktur itu akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial, dimana manusia tidak lagi menggunakan hasrat, logika, dan rasa kemanusiaanya untuk merubah ketimpangan dunia yang dimana penindasan, ketidakadilan, korupsi,kemiskinan, tidak lagi dianggap sebagai masalah sosial, tetapi sudah bergeser menjadi sesuatu yang usang, karena yang dipikirkan manusia hanyalah eksistensi diri dalam dunia konsumsi menuju era modernitas kosmopolitan dan di hegemonikan oleh negara-negara industri.


[1]Tulisan ini untuk bahan Diskusi Kamis Sore, Kamis-25 November-2010

No comments: