Friday, May 23, 2008

Sinopsis Novel “Laskar Pelangi”

Andrea Hirata dengan novelnya menawarkan sebuah cerita yang mengagumkan dan menyentuh hati setiap pembacanya. 10 anggota Laskar Pelangi beserta Bu Mus dan Pak Harfian telah mengajak pembaca untuk memahami karakter masing-masing, dengan bentukan tokoh-tokoh manusia sederhana, jujur, sabar, tawakal, gigih, religius dan semangat yang tak urung hilang. Penulis menggambarkan kemiskinan dari pelbagai hal, salah satu yang menjadi sorotan saya adalah seorang tokoh yang bernama Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus. Beliau adalah seorang pengajar di Sekolah Dasar Muhammadiyah di Belitong. Saat SD Muhammadiyah terancam ditutup dan Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel memperingatkan bahwa SD Muhammadiyah harus mempunyai murid 10 orang atau lebih. Bu Mus, Pak Harfian selaku Kepala Sekolah dan murid-murid lain cemas menunggu satu murid yang tak kunjung datang hingga batas waktu yang telah ditentukan. Akhirnya seorang anak yang bernama Harun yang didampingi ibunya datang menyelamatkan kehancuran SD Muhammadiyah.

SD Muhammadiyah adalah salah satu sekolah miskin dan satu-satunya sekolah di Belitong yang mengutamakan ilmu keagamaan. Mempunyai enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD dan sore untuk SMP Muhammadiyah. Keterbatasan kepemilikan seragam, ruang kelas yang luas, bangku tersusun rapi beserta mejanya dan papan whiteboard nampaknya tak menyurutkan niat sepuluh murid ini untuk mengenyam pendidikan. SD Muhammadiyah hanya mempunyai sebatang tiang bendera dari bambu kuning dan sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring di dekat lonceng yang terbuat dari besi bulat berlubang-lubang bekas tungku dan yang paling mengagumkan adalah keberadaan sebuah poster yang berada persis dibelakang meja Bu Mus, Poster ini memperlihatkan seorang pria berjenggot lebar, memakai jubah, dan ia memegang sebuah gitar penuh gaya. Pria tersebut terlihat melongok kelangit dan banyak sekali uang-uang kertas dan logam yang jatuh menimpa wajahnya. Tak lain tak bukan, itu adalah poster Rhoma Irama dengan tulisan dibawah poster “Rhoma Irama, Hujan Duit”.

Keadaan ini jauh dari kata mewah, bangunan dengan arsitektur megah, dan fasilitas yang lengkap seperti yang terdapat pada sekolah-sekolah PN Timah. Jangankan bangunan bergaya Victoria, sekolah ini bahkan sudah hampir rubuh jika hujan lebat beserta angina kencang. Sekolah ini tidak membebankan orang tua dalam hal pembayaran, maka dari itu perihal fasilitas yang seadanya, baju seadanya tanpa seragam dan dengan beralas sandal bukan sesuatu yang dipermasalahkan lagi bagi Bu Mus, Pak Harfiah maupun orang tua murid.

N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid atau lebih dikenal dengan Bu Mus, hanya mempunyai ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri), ia terus memajukan pendidikan Islam sesuai dengan cita-cita Ayahandanya, K.A. Abdul Hamid sebagai pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong. Apa yang dialami Bu Mus membuatnya dekat dengan dunia kemiskinan. Bagaimana tidak, beliau hanya dibayar beras 15 kilo setiap bulannya. Segala bentuk ajaran yang diberikan Bu Mus berupa pelajaran wajib dan Islam beliau ajarkan sendiri. Sudah tentu bayaran beras 15 kilo perbulan tidak mampu memenuhi biaya hidupnya. Maka dari itu beliau menerima jahitan hingga larut malam untuk mencari nafkah tambahan, menopang hidup dirinya dan adik-adiknya.

Terlepas dari kemiskinan yang melekat didirinya, Bu Mus adalah seorang guru yang pandai, karismatik dan memiliki pandangan jauh kedepan. Bu Mus selalu mengajarkan pandangan-pandangan moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi. Beliau selalu mengajarkan bagaimana menjalani hidup sesuai dengan ajaran-ajaran dan pedoman islam. Tak sering beliau mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Quran dengan indah dan bermakna.

Di SD Muhammadiyah ini, Bu Mus mendapatkan orang-orang yang luar biasa hebat, mereka adalah Lintang, Mahar dan Flo. Saat pertama kali beliau menemukan kejeniusan dan intelegensi tingkat tinggi didalam diri Lintang, tak henti-hentinya beliau mengucapkan Asma Allah, “Subhanallah... Subhanallah” sebagai kekagumannya pada sesosok anak lelaki yang dilahirkan oleh keluarga nelayan dan tinggal di pesisir pantai, jauh berpuluh-puluh kilometer menuju sekolah. Lintang selalu bisa memecahkan pelbagai pertanyaan dan soal-soal yang diberikan Bu Mus. Nilainya selalu sembilan, hanya pelajaran keseniannya saja yang mendapat nilai delapan di rapornya. Hingga pada suatu perlombaan cerdas cermat yang diadakan oleh PN, sekolah Muhammadiyah berpangku tangan pada kejeniusan otaknya. Benar sekali, dalam perlombaan tersebut Lintang membabat habis semua pertanyaan yang dilontarkan pembawa acara. Dan sejak saat itulah Sekolah Muhammadiyah tidak pernah dianggap sebelah mata lagi. Lain halnya dengan Mahar, anak yang satu ini sangat piawai dibidang kesenian. Reputasinya dalam kesenian sangat banyak memajukan Sekolah Muhammadiyah dikalangan masyarakat Belitong. Bakat seni fenomenalnya terdapat saat Bu Mus mempercayakannya mengikuti karnaval 17 agustusan. Dimana Mahar mengkoordinisir teman-temannya untuk memainkan tokoh-tokoh yang diperankan dalam pementasan tersebut. Dunia seni memang ditujukan untuk seorang anak yang selalu membuat Bu Mus kagum dan menggelengkan kepalanya setiap ada hal aneh yang dilakukannya, inilah Mahar. Sedangkan Flo, ia adalah anak salah satu orang penting di Perusahaan Timah PN. Namun ada keanehan dan ketidakbiasaan dari anak orang kaya lainnya, Flo tidak mau sekolah di Sekolah PN. Ia lebih memilih sekolah di Muhammadiyah yang 180 derajat berbeda dari sekolahnya dulu.

Sekolah Muhammadiyah memang sangat bermakna bagi siapa saja yang berada disana. Inilah yang membuat Bu Mus tidak pernah mengeluh mengajar murid-muridnya, dan pastinya saat perpisahan di kelas 3 SMP membuat beliau rindu mengajar murid-murid yang mengagumkan yang beliau sebut sebagai laskar pelangi.

Kemiskinan bagi N.A. Muslimah Hafsari Hamid bukanlah sesuatu yang memberatkannya, karena beliau selalu diajarkan hidup dalam kesederhanaan. Dan didalam keserhanaan itu, beliau terus belajar dan berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anak didiknya. Hanya satu yang beliau jadikan patokan hidupnya yaitu, amar makruf nahi mungkar. Beliau adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya, dimana beliau bisa dijadikan sosok seorang ibu, pengajar, dan juga seorang sahabat.

Tahun 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup, walaupun demikian sekolah ini tetap meninggalkan sejarah luar biasa. Nasib pun memberikan jalan pada Bu Mus, beliau mendapat kesempatan dari Depdikbud untuk mengikuti Kursus Pendidikan Guru (KPG) lalu diangkat menjadi PNS. Saat ini Bu Mus diangkat mengajar Matematika di SD Negeri 6 Belitong Timur. Selama perjalanannya menjadi seorang guru hingga 34 tahun, beliau tidak pernah lagi menemukan murid-murid sefenomenal Linyang, Mahar, Flo dan tentunya sehebat anggota Laskar Pelangi.

Dalam novel yang berjudul Laskar Pelangi ini, ada konstruksi sosial kemiskinan yang terlihat, misalnya pada cerita yang menggambarkan keadaan Sekolah Muhammadiyah di Belitong. Keadaan yang minim dan terkesan sekolah miskin ini ternyata telah melahirkan orang-orang yang luar biasa cerdas. Keterbatasan fasilitas dan ruang di Sekolah Muhammadiyah membuat murid-murid semakin kreatif dalam mencapai pendidikan. Karena untuk mendapatkan pendidikan tidak perlu kaya dan sekolah di sekolah ternama, namun dengan bersekolah di sekolah miskin pun, bisa mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik. Dengan kata lain kemiskinan bukanlah alasan untuk menggapai pendidikan yang lebih baik.

Penulis menggunakan kiasan / analogi yang sangat apik diiringi dengan penggunaan majas metafora yaitu suatu benda mati seolah-olah menjadi hidup. Selain itu penulis terlihat sangat terampil memadupadankannya kedalam sebuah cerita. Penulis bukan hanya memberikan kata kiasan pada sebuah kalimat agar menjadi apik, namun penulis juga tanpa disengaja telah menyisipkan beberapa pengetahuan untuk para pembacanya.

Bukan hanya kiasan yang menawan, gaya deskripsi yang penulis gunakan juga sangat detail. Misalnya dalam pendeskripsian Sekolah Muhammadiyah dan Sekolah PN, penulis menggambarkannya secara terperinci sehingga pembaca seolah mengalaminya langsung dan berada di lokasi tersebut. Empati pembaca inilah yang memperjelas adanya ketimpangan antara Sekolah Muhammadiyah dan Sekolah PN.

Dalam novel ini, ada struktur sosial yang terdapat di Belitong. Ada kelas atas, menengah dan bawah yaitu Orang-orang yang mempunyai peran penting di PN baik pengusaha maupun manajer PN itu sendiri yang menempati kelas atas, lalu di kelas menengah ada pegawai dan staf PN, di kelas bawah ditempati oleh masyarakat Belitong yang berada diseberang tembok tinggi, pembatas PN dengan masyarakat Belitong. Maka dari itu terdapat fungsi perbandingan didalamnya. Ada ketimpangan antara masyarakat Gedong di PN dengan masyarakat Belitong yang bersahaja walaupun terkesan sangat miskin.

Wita Andriyani Mahasiswa Sosiologi Pembangunan UNJ 05

1 comment: