Friday, May 23, 2008

UN SOSIOLOGI BENARKAH SUDAH SOSIOLOGIS

Oleh; Wahyu (Wajenk)

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNJ 05

UN alias ujian nasional yup, momok bagi para pelajar ini tak terasa sudah 5 tahun berjalan, walaupun sudah banyak kritik yang dengungkan dari berbagai pihak agar pemerintah menghentikan/ paling tidak merubah system ini toh pemerintah tak bergeming dengan alasan “mengejar” kulitas pendidikan Negara lain, pemerintah terus menjalankan system UN ini, padahal kenyataannya hampir semua infrastruktur di lapangan belum mendukung dunia pendidikan Indonesia untuk melakukan system penilaian berupa UN ini.

Tahun ini kembali sekolah-sekolah di Indonesia di sibukkan dengan persiapan UN , yah semua sekolah semua standart (internasional,nasional maupun sekolah “perjuangan”), dengan nilai standart yang kembali di naikkan menjadi 5,25,dan mata pelajaran yang di tambah ,sekolah harus mencari cara agar semua siswanya bisa lulus,karna secara tidak langsung banyak tidaknya siswa yang lulus sangat mempengaruhi “Akreditas/ status sekolah” , makanya jangan heran jika sehabis pelaksanaan UN ,bermunculan “isu” tentang “kecurangan yang di lakukan sekolah secara “berjamaah” demi mencapai target kelulusan.

Khusus untuk program IPS, Sosiologi menjadi salah satu mata pelajaran yang di masukkan ke dalam UN, di satu sisi saya yakin seluruh masyarakat sosiologi sangat bangga, karna dengan di masukkannya sosiologi ke dalam UN, tentu ada “prestice” sendiri dalam benak masyarakat sosiologi , karna otomatis Sosiologi tak lagi hanya di anggap” pelajaran yang pengisi waktu luang” , tetapi saya juga yakin ada “penolakan” dalam hati masyarakat soiologi bila melihat kisi-kisi soal Sosiologi di UN, yup..,soal sosiologi berbentuk PG alias pilihan ganda sungguh membuat miris karena sebagai cabang ilmu social, nilai dasar sosiologi ialah membuat orang yang mempelajarinya dapat berpikir imajiner dan kritis dalam memberikan pendapat, nah kalau bentuk soalnya PG, kami (masyarakat sosiologi) beranggapan bahwa sosiologi bisa kehilangan “identitas” , karna apabila sosiologi di terjemahkan ke dalam soal yang berbentuk PG, kami khawatir para siswa nanti tidak terbiasa menganalisis sesuatu secara “sosiologis”, serta kurang bisa membuat perencanaan strategis alias terbiasa dengan model perencanaan yang praktis.

Menurut Friere tugas dari ilmu / teori social ialah melakukan apa yang di sebutnya sebagai Conscienstizacao atau proses penyadaran terhadap system dan struktur yang menindas, yakni suatu system dan struktur “dehumanisasi” yang membunuh kemanusiaan, dan Friere juga membahas bagaimana pendidikan yang menjadi bagian masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut ,serta pendidikan bukan lagi area netral tentang estetika belaka , melainkan sudah berada di dalam suatu system dan struktur yang bersifat hegemonic, hal ini menurutnya sudah sangat jauh dari landasan pendidikan yang menurutnya adalah “proses memanusiakan manusia kembali” .[1]

Dengan menggunakan analisa di atas kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya pemberian soal Sosiologi dalam UN sama sekali tidak bersandar pada apa yang sudah menjadi “Pakem “ teori ilmu social dan paradigma Sosiologi yang sudah menjadi suatu kiblat bagi kami ( masyarakat sosiologi) dalam mempelajari disiplin ilmu kami ( Sosiologi ).

Tampaknya yang dosen saya bilang,“ bahwa di sekolah-sekolah Indonesia sangat kurang SDM dari sosiologi benar adanya, karena dari beberapa kali obsevasi saya ke sekolah-sekolah ( berkenaan dengan tugas ), sangat terlihat betapa mereka tak mengerti bahkan terkesan “meremehkan” terhadap mata pelajaran yang bersifat social ( kecuali ekonomi) , yah wajar aja karna selain gurunya bukan orang sosiologi , reorientasi sosiologi di sekolah-sekolah ini sangat rendah, bahkan ada satu sekolah yang “kehilangan”guru sosiologinya menjelang UN berlangsung ( miriskan ).

Kalau boleh memberikan pendapat mungkin hal yang terjadi pada ilmu sosiologi di Indonesia akibat mungkin dari rendahnya reorientasi sosiologi di Indonesia , wajar aja sudah bertahun-tahun bangsa ini menetapkan reorientasi Ekonomi di atas segalanya, padahal di abad modern ini peperangan yang terpenting adalah berperang secara “Ideologi” (Gramsci ) , dan untuk itulah saya anggap sangat perlu reorientasi secara sosologis , untuk dapat menjabarkan segala abstraksi masyarakat yang terus mengalami dinamika (perubahan social ), dan percayalah bahwa bukan ekonomi lagi yang akan menjadi “The Queen of The Social Sciences”, tetapi sosiologilah yang mengulur tangannya kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu.

Nah semakin jelas sudah kenapa kekhawatiran ini muncul, layaknya anak berumur lima tahun yang sudah bisa mengenali suatu objek, maka hendaknya pula perlu adanya evaluasi dari semua pihak yang terkait dengan UN khususnya (Mendiknas),untuk lebih bisa melihat realita pendidikan kita, seperti lomba lari para peserta takkan mau di kejar oleh peserta lain,pun begitu juga pendidikan, ketika tujuan kita hanya mengejar kualitas pendidikan negara lain, mereka (Negara lain) akan berlari lebih kencang, dan kalaupun kita dapat mengejar, mereka sudah tersenyum dengan memegang piala kemenangan mereka.


[1] Mansour Fakih , Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi

No comments: