Monday, April 14, 2008

Perdamaian Masyarakat yang Konsumtif

oleh William Daud Giovanni P Mahasiswa Sosiologi Pembangunan 2004

..di semua negeri modern itu kapitalisme subur dan meradjalela! Disemua negeri modern itu kaum proletar ditindas hidupnya. Disemua negeri modern itu kini hidup miljunan kaum penganggur, upah dan nasib kaum buruh adalah upah dan nasib kokoro, -disemua negeri modern itu rakjat tidak selamat, bahkan sengsara-sengsaranya.”

Ir. Soekarno, “Di bawah Bendera Revolusi” (1965), halaman 172

Salam redaksi..hidup mahasiswa!!

Nukilan pidato Bung Karno diatas saya kutip untuk senantiasa mengingatkan kepada kita betapa bahayanya kapitalisme. Kapitalisme dengan segala daya dan upaya akan terus menindas kaum lemah, baik dengan cara yang lembut, misalnya mengirim bantuan, atau dengan langsung memerangi pihak yang berani melawan. Dan bahkan memakai cara yang lebih efektif lagi yaitu dengan menanamkan sifat kosumtif kepada masyarakat sehingga sifat ini mendarah-daging dan sepertinya sulit untuk dilepaskan.

Sejak bangun pagi, sadar atau tidak kita dihadapkan dengan kehidupan yang serba kapital. Orang-orang yang kita hadapi, mulai dari orangtua di rumah, kemudian lanjut kepada teman-teman dan orang lain. Semua seperti sudah terstruktur dan rapi layaknya negara yang berhirarki kuat serta tidak bisa diubah atau dilawan. Apa yang kita makan, minum, rasakan, dan yang kita pikirkan saat ini adalah produk-produk modernisasi, industrialisasi, dan kapitalisme. Tiga hal yang berperan penting dalam suksesnya modernisasi. Oleh sebab itu DKS News kali ini mengangkat masalah sosial yang pasti sudah kita ketahui sebagai akibat dari kapitalis, yaitu masyarakat yang konsumtif. Untuk itu saya mengangkat tema Perdamaian Masyarakat Yang Konsumtif, yakni untuk mengingatkan kembali kepada kita sebagai mahasiswa, bahwa kita adalah agen perubahan, dan bukan hanya mahasiswa sosiologi saja, bahwa kita adalah bangsa dunia ketiga yang sarat dengan konsumerisme. Mengapa saya sebut konsumtif? Ya, karena gaya hidup masyarakat yang konsumtif, hedon dan lupa bahwa kita manusia adalah makhluk sosial yang seharusnya lebih mengutamakan kepentingan bersama diatas segalanya. Dengan bergaya hidup konsumtif, kita cenderung memikirkan diri sendiri dan lupa dengan logika kehidupan manusia yaitu logika sosial. Akibatnya muncul konflik yang berkepanjangan dan merembet ke aspek yang lain dan keseluruhan hidup manusia tidak lepas dari konflik.

Akar dari permasalahan ini adalah berasal dari faktor eksternal. Kita kembali kepada teori sistem dunia, yakni negara core, semi peryphery dan peryphery. Dan seperti yang sudah kita ketahui bahwa negara kita, Indonesia adalah salah satu negara peryphery atau pinggiran. Diatasnya terdapat negara semi periphery dan core. Yang mau saya jelaskan adalah bahwa kita menjadi bangsa yang konsumtif, yang dalam bahasa sehari-harinya boros dan selalu menghabiskan kapital yang kita miliki karena korban dari kekejaman kapitalis. Hal ini merupakan akibat dari proses imperialisme dan developmentalistik yang berasal dari negara maju/core. Negara maju berusaha membuat agar negara berkembang tidak bisa menyaingi dan menjaga jarak dengannya, salah satu caranya dengan peminjaman modal, peredaman perlawanan yang sempat terjadi di awal abad-20, pengakuan kedaulatan negara-negara yang baru merdeka dengan tujuan sebenarnya untuk meredam reaksi dari negara yang baru merdeka, dan pemberian bantuan secara berkala. Semua ini berdampak pada sifat dependen negara berkembang dan negara berkembang tidak akan bisa lepas dari ketergantungannya.

Partisipasi yang konsumtif

Dengan demikian warga negara telah termakan ajakan/rayuan negara maju yang disebut dengan developmentalisme, karena akan banyak orang yang akan menghabiskan uangnya untuk mengkonsumsi barang-barang yang tidak berguna. Atau bisa juga dikatakan dengan sebutan pembangunanisme yaitu strategi untuk menanamkan paham kapitalis ke negara lain dengan membangun koloni-koloni yang nantinya diharapkan menjadi partisipan dalam kapitalis. Semua orang akan turut berpatisipasi menjadi individu yang konsumtif. Orang-orang akan sangat mengagumkan semangat imperialisme baru dengan menjungkirbalikkan logika-logika sosial menjadi logika individualis dan seluruh sistem referensi kita tentang keutamaan kehidupan sosial. Artinya semua orang akan berusaha menjadi emperor atas keluarganya, teman-temannya, terutama terhadap bangsa dan negaranya. Kondisi seperti ini yang menyebabkan semua orang berlomba-lomba untuk memperkaya diri sendiri dengan menanam modal usaha untuk memperoleh untung sebesar-besarnya. Inilah indikasi dari kapitalis. Hal ini juga yang menjadi penyebab orang melakukan korupsi dan tega memakan sesamanya. Semuanya berakar dari sini.

3

Oleh sebab itulah apa yang dulu disebut memberi, yakni hidup sebagai produsen dengan keterlibatan politis sebagai kerja produktif, telah diubah menjadi hidup sebagai konsumen dengan praksis/praktek konsumsi sebagai bentuk partisipasi tertinggi. Dari memberi dan mencipta, manjadi mengambil dan membeli.

Dan akhirnya hasil dari proses ini bisa ditebak yaitu sifat manusia yang tadinya adalah produktif menjadi konsumtif dan rakus sehingga timbullah istilah homo homini lupus (manusia memangsa sesamanya). Disana-sini terdapat eksploitasi manusia dan sumber daya alam yang bersifat kontinu, dan tidak terjadi eksplorasi. Padahal yang saat ini diperlukan adalah eksplorasi yaitu menggali segala potensi yang ada baik dari manusia, alam, maupun dari warisan budaya dan antropologis bangsa.

Kritik Sosial: Perdamaian

Lalu bagaimanakah solusi dari masalah ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah perdamaian. Dan seperti yang sudah kita ketahui bahwa tingkat konsumerisme dalam diri bangsa Indonesia sudah sampai pada titik jenuh dan sepertinya tidak akan ada cara untuk membebaskannya. Disinilah semua orang pastinya akan rindu akan kebebasan seperti sedia kala, kebebasan dari segala hawa nafsu untuk mengksploitasi segalanya. Dalam hal ini kita harus kembali mengoreksi logika sosial yang selama ini sudah kita balik-balikkan. Bahwa kita hidup di dunia ini merupakan hidup bersama, segala yang kita nikmati adalah untuk kepentingan bersama dan diatas kepentingan pribadi/golongan (Pasal 33 UUD ’45).

Kita yang sebelumnya hidup dengan logika yang konsumtif dan individualis haruslah kembali hidup dengan logika relasional dan penuh dengan perdamaian. Kita harus membangun relasi yang baik dengan orang lain karena relasi merupakan modal dalam bersosial dan kita manusia dari awalnya memang tercipta sebagai makhluk sosial. Buktinya setelah Adam tercipta lalu Tuhan menciptakan Hawa sebagai pendamping, karena Tuhan memang menganjurkan manusia untuk hidup bersosial bukan individualis. Dengan demikian kita akan bisa saling berbagi, bukan saling berebut. Bahwa segala sumber daya alam yang semakin terbatas ini adalah milik bersama untuk dieksplorasi dan bukan untuk dieksploitasi. Segala kelimpahan yang tersedia adalah untuk mendamaikan bukan untuk menimbulkan konflik. Ok!

No comments: