Tuesday, April 1, 2008

Bank Kaum Miskin (Grameen Bank)

Bank Kaum Miskin (Grameen Bank)[1]

Oleh Rizki Setiawan[2]

Komite Nobel Norwegia pada tahun 2006 lalu memutuskan Profesor Muhammad Yunus dan Grameen Bank mendapat Nobel perdamaian. Maka Grameen Bank sebagai gerakan pemberantasan kemiskinan sangat relevan untuk digunakan sebagai landasan teori dalam skripsi ini. Grameen Bank merupakan salah satu contoh real peran aktor dalam pembangunan, namun begitu di sini lebih ditekankan pada bagaimana struktur kemiskinan dalam masyarakat dapat dibongkar.

Muhammad Yunus adalah dekan Fakultas Ekonomi Chittagog University di Bangladesh yang resah akan ketidakmampuan ilmu ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan. Dengan itu dia memilih “pandangan mata cacing” guna mempelajari kemiskinan dari jarak dekat. Kemudian dia melepaskan jubah akademisnya dan lalu bergaul dengan bergaul dengan orang miskin dan realitas kemiskinan desa Jobra yang bertetangga dengan universitas tempat Ia mengajar. Kaum miskin telah mengajari ilmu ekonomi yang benar-benar baru, dia mempelajari masalah-masalah yang dihadapi orang miskin dengan perspektif mereka sendiri. Pergulatan panjang Yunus dengan masyarakat desa menelurkan sebuah konsep yang disebutnya sebagai “kewirausahaan sosial”, yang berhasil merubah berbagai dimensi pada masyarakat, khususnya perempuan. Dia kemudian mendirikan Grameen Bank guna peemenuhan kredit mikro yang dibutuhkan masyarakat.

Grameen Bank mulai beroperasi sejak tahun 1977, yang kemudian baru menjadi Bank resmi pada akhir september 1982. Prinsip yang digunakan Grameen Bank jauh berbeda dengan bank konvensional yang ada selama ini, dan prinsip itulah yang kemudian dapat mengeluarkan kaum miskin dari kemiskinan struktural yang dideranya. Pertama, Grameen memberikan pinjaman dalam skala mikro, sehingga masyarakat yang paling miskin dapat menjangkau kredit ini. Kemudian yang kedua, prinsip utama yang dianut Grameen Bank adalah “kepercayaan”. Grameen menganggap setiap peminjamnya bisa dipercaya, karena itu Grameen tidak memerlukan instrumen hukum antara debitur dengan kreditur.[3] Dengan kepercayaan tersebut Grameen juga tidak memberlakukan agunan bagi debiturnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Yunus;

“mereka (masyarakat yang menjadi debitur) sangat punya alasan untuk mengembalikan pinjamannya, yakni untuk mendapatkan pinjaman lagi dan bisa melanjutkan hidup esok harinya! Itu jaminan terbaik yang bisa didapatkan: nyawa mereka. [4]

Dalam perjalanannya Grameen menemui banyak hambatan, yang berasal dari struktur sosial masyarakat, agama dan kebudayaan, pemerintah dan birokrasinya, dan bahkan dari dunia internasional. Meskipun demikian, Yunus mendasari keyakinannya bahwa perubahan sosial itu harus didukung oleh semua pihak (multi stakeholders). Yang membuat Yunus terus berjuang meyakinkan semua pihak. Dengan berbagai upayanya, Yunus beserta Grameen berhasil mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Dan dengan itu pula Yunus membuktikan bahwa civil society merupakan kekuatan yang dapat melaksanakan program besar yang tidak dapat dilakukan pemerintah. [5]

Peminjam Grameen terdiri atas kelompok yang terdiri dari lima orang, dan kelompok-kelompok tersebut tergabung dalam sentra.[6] Setiap pemohon bergabung dalam sebuah kelompok yang memiliki pemikiran yang sama dan hidup dalam kondisi sosial-ekonomi yang serupa. Kelompok dibentuk oleh para peminjam sendiri, dan Grameen mendorongnya dengan menyediakan insentif agar mereka saling membantu demi keberhasilan usaha masing-masing. Setiap pinjaman dari anggora juga harus disetujui kelompok, karena itu kelompok memikul tanggungjawab moral atas setiap pinjaman. Seorang calon peminjam pertama-tama harus berinisiatif mencari orang kedua dan menjelaskan prosedur bank pada orang kedua., kemudian yang kedua akan mencari anggota ketiga, keempat, dan yang kelima. Untuk itu, anggota yang pertama harus dapat menyakinkan anggota kedua agar bersedia bergabung. Namun seringkali ketika kelompok tersebut hampir terbentuk, salah satu anggota, atau bahkan empat anggota yang lain mengurungkan diri sehingga yang seorang itu harus memulai dari awal lagi. Setelah kelompok terbentuk kelima anggota tersebut datang kelima-limanya ke bank untuk mendapatkan pelatihan tentang kebijakan bank setidaknya selama tujuh hari. Setelah itu mereka pun harus mengikuti ujian lisan secara individu guna mengetahui pemahamannya. Jika seorang anggota tidak lulus, maka yang lain harus menunggunya sampai lulus. Setelah semuanya lulus ujian maka dua orang pertama akan mendapatkan pinjamannya. Jika dalam enam minggu dua orang tersebut taat membayar cicilannya, maka dua orang lainnya akan mendapat pinjaman. Ketua kelompok biasanya menjadi peminjam terakhir dalam kelompoknya. [7]

Mekanisme praktik Grameen terus berubah mengikuti kondisi yang ada, saat ini mekanisme pembayaran Grameen sebagai berikut: (i) masa pinjaman satu tahun. (ii) cicilan dibayar tiap minggu. (iii) pembayaran cicilan dimulai satu minggu setelah pinjaman dikucurkan. (iv) tingkat suku bunga 20%. (v) besarnya cicilan sebanyak 2 % dari total pinjaman perminggu selama 50 minggu. (vi) pembayaran bunga sebesar 2 taka per minggu untuk setiap pinjaman sebesar 1.000 taka. [8]

Kemudian Yunus juga membongkar logika kapitalisme yang mengakar dalam praktik perbankan. Logika kapitalisme tersebut tersebut dengan jelas melahirkan diskriminasi perbankan terhadap orang miskin. Silogisme kapitalisme perbankan mempunyai premis-premis yang sangat ketat: (i) Bank harus mendapakan untung tanpa membedakan apakah nasabahnya adalah orang kaya atau orang miskin. (ii) maka kredit yang diberikan adalah kredit dalam jumlah besar, yang tentunya tak tarjangkau kaum miskin. (iii) Oleh karena itu tidak rasional dan tidak logis jika bank memberikan kredit mikro. Kesimpulannya, karena alasan rasional dan ekonomis, bank tidak akan memihak pada kaum miskin. Meskipun demikian, logika ini paradoksal dengan praktik perbankan yang ada. Debitur besar pada umumnya tidak membayar kembali pinjamannya, agunan yang diberikan pun bersifat fiktif, yang memudahkan mereka untuk kabur bersama pinjamannya ke luar negeri. Dengan itu Yunus pun berhasil membuktikan bahwa tingkat pengembalian orang miskin kepada Grameen paling rendah 98%.[9]

Yunus kemudian juga menemukan bahwa perbankan saat ini telah bias jender, perempuan selama ini jarang yang diperbolehkan untuk menjadi debitur. Padahal, perempuanlah yang lebih rentan mengalami kemiskinan dan kelaparan. Hukum tak tertulis mengatakan bahwa ibulah yang akan pertama kali mengalaminya. Sementara itu, Yunus menemukan kekuatan yang besar di dalam diri perempuan. Perempuan miskin memandang jauh ke depan dan bekerja keras untuk membawa diri dan keluarganya keluar dari kemiskinan. Ketika perempuan miskin mulai mendapatkan penghasilan, impian keberhasilannya selalu terpusat di sekitar anak-anaknya. Prioritas kedua seorang perempuan adaah rumah tangganya. Dia membeli perkakas rumah tangga, ataupun memperbaiki rumahnya. Sedangkan laki-laki memiliki prioritas yang jauh berbeda. Ketika laki-laki miskin mempunyai pendapatan lebih, dia lebih memusatkan pada dirinya sendiri. Karenanya, uang yang msuk ke rumah tangga melalui perempuan lebih bermanfaat bagi keluarga secara keseluruhan.[10]

Konsep pembangunan menurut Yunus juga mesti didefinisikan kembali. Konsep pembangunan yang dianut Grameen adalah suatu proses perubahan politik-sosial-ekonomi yang kompleks, dimana unsur yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sejak awal berdirinya metode Grameen memang berlawanan dengan metode pengentasan kemiskinan lainnya, yaitu dengan memberikan uang tanpa satu pun upaya memberi keterampilan terlebih dahulu. Ini didasarkan pada keyakinan Yunus bahwa semua manusia memiliki keterampilan bawaaan lahir, yang disebutnya sebagai keterampilan beratahan hidup. Ini dibuktikan dengan kemampuan orang miskin untuk mempertahankan hidupnya. Untuk itu, Grameen lebih memilih untuk memaksimalkan semua potensi yang dimiliki anggotanya dibandingkan dengan menambah keterampilan baru.

Asumsi yang menyatakan bahwa orang menjadi miskin dikarenakan tidak mempunyai keterampilan disanggah oleh Yunus. Program-program pelatihan besar yang diwajibkan dalam program pengentasan kemiskinan oleh pemerintah, ornop-ornop maupun lembaga donor asing diduganya hanya untuk mengekalkan kepentingannya sendiri: menciptakan makin banyak lapangan kerja untuk diri mereka sendiri tanpa perlu bertanggungjawab menghasilkan sesuatu yang konkret (mengentaskan kemiskinan). Kemudian dengan aliran dana bantuan dan kesejahteraan, terciptalah industri besar baru yang berkembang dengan tujuan tunggal menyediakan pelatihan. Sementara itu, Grameen berbeda pandangan dengan ahli pengentasan kemiskinan tersebut: orang menjadi miskin bukan karena tidak terampil, melainkan karena tertutupnya kontrol atas modal. Ketidakberdayaan kaum miskin menyebabkan mereka bekerja demi keuntungan orang yang memiliki kontrol atas modal.[11] Selain itu, Yunus juga mengungkapkan bahwa kemiskinan tidak diciptakan oleh kaum miskin. Kemiskinan diiptakan oleh struktur masyarakat dan kebijakan-kebijakan yang dijalankan masyarakat. [12]

Pelatihan yang dilakukan dalam program pengentasan kemiskinan banyak yang kontrapoduktif, pelatihan menakutkan bagi orang miskin dan hanya membuang uang dan tenaga saja. Pelatihan bahkan dapat menurunkan tingkat percaya diri peminjam: mereka merasa kecil, bodoh, dan tak berguna. Ini bukan berarti pelatihan itu buruk, namun pelatihan tidak boleh dipaksakan melainkan harus muncul dari kebutuhan dalam proses pengentasan kemiskinan.. Pelatihan baca tulis bagi anggota yang buta huruf relatif dibutuhkan agar mereka dapat menuliskan namanya, jumlah uang yang dipinjam, cicilan yang harus dibayar, maupun membaca angka-angka dalam buku kredit mereka. Atau mereka mungkin mau belajar keterampilan yang baru seperti teknik berternak sapi, berternak unggas, maupun teknik-teknik terbaru di bidang pertanian. Namun pelatihan tersebut seharusnya ditawarkan ketika peminjam secara aktif mencarinya dan mau membayar dalam bentuk uang maupun natura untuk memperolehnya[13].

Terakhir, dapat ditarik beberapa prinsip yang dianut Grameen Bank. (i) Grameen Bank dimiliki oleh anggotanya (92% adalah saham anggota, dan sisanya milik pemerintah). (ii) Sasaran Grameen Bank adalah lapisan masyarakat yang paling miskin. (iii) Perempuan lebih diutamakan oleh Grameen. (iv) Grameen tidak memberlakukan agunan. (v) Jenis usaha yang dibiayai ditentukan oleh anggotanya sendiri. (vi) Grameen membantu informasi dan sarana agar usaha anggotanya berhasil. (vii) Debitur membayar tingkat bunga sesuai keperluan untuk menjaga agar Grameen tetap mandiri (tidak tergantung hibah atau donasi).


[1] Ini merupakan bagian dari kerangka Teori dari Skripsi Penulis

[2] Mahasiswa Sosiologi Pembangunan 2003 UNJ

[3] Muhammad Yunus (2007), diterjemahkan Irfan Nasution, Bank Kaum Miskin, Jakarta; Marjin Kiri, halaman 72

[4] Muhammad Yunus, ibid, halaman 55.

[5] Ibid.

[6] Sentra adalah federasi tingkat desa yang terdiri dari paling banyak 8 kelompok.

[7] Ibid.Halaman 63-65.

[8] Ibid.Halaman 70.

[9] Ibid.Halaman xii.

[10] Ibid.Halaman 73-74.

[11] Ibid.Halaman 141-142.

[12] Ibid.Halaman 204.

[13] Ibid.Halaman 142-143.

3 comments:

Anonymous said...

bisa minta no hp rizki ga? aku juga lagi penelitian tentang grameen bank muhammad yunus nih. thanks.
Rofi'
clevergirl_6@yahoo.com

indah said...

Rizki, bs minta alamat email & no. hp km? in skrg sedang skripsi judul grameen di lihat dlm perbankan syariah..
thx y

D K S said...

kirim lewat email aja ke dks_news@yahoo.com