Saturday, April 12, 2008

Sarjana Pinggiran, Salah Siapa ?

Ahmad Sofatul Anam, SosPem 03 Kini pengangguran bukan hanya berasal dari kalangan pendidikan rendah, ekonomi lemah, kemiskinan absolut, dan mereka yang tidak mempunyai skill memadai, tetapi juga berasal dari mereka yang sudah menyandang gelar “sarjana strata satu“(Pengangguran Intelektual, Kompas, 11 Februari 2008). Latar belakang pendidikan yang selama ini dijadikan sebagai tolak ukur status sosial dalam stratifikasi masyarakat kini tak lagi relevan. Pendidikan yang semestinya mampu mempersiapkan calon–calon tenaga kerja mumpuni, tetapi saat ini outputnya berkualitas rendah sehingga tidak terpakai oleh pasar. Fakta sosial ini cukup memprihatikan kita sebagai bangsa Indonesia, dan mungkin akan sulit sekali menerima kegagalan lembaga pendidikan kita. Terlebih keadaan ini timbul saat perhatian publik pada dunia pendidikan meningkat. Saat program pemerintah untuk menyukseskan sektor pendidikan sebagai sarana menekan angka pengangguraan semakin marak. Fakta ini semakin sulit terbantahkan, mungkin berkaitan dengan perencanaan dari pemerintah sendiri yang tidak sejalan dengan tidak tersedianya jumlah lapangan kerja yang dibutuhkan. Atau juga kebijakan pemerintah dalam mengurangi angka pengangguran kurang sejalan dengan preferensi kerja. Setiap tahun lebih dari 300.000. lulusan perguruan tinggi dari jenjang diploma hingga sarjana strata satu siap memasuki dunia kerja (Kompas.com). Pada tahun ajaran 2005/2006, Departemen Pendidikan Nasional mencatat jumlah lulusan perguruan tinggi negeri dan swasta sebanyak 323.902 orang. Namun tidak semua lulusan ini terserap oleh pasar. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2007 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, angka pengangguraan terbuka berkurang menjadi 9,75 persen dibandingkan dengan periode Agustus 2006 yang besarnya 10, 28 persen. Meskipun menurun, jumlah penganggur dari kalangan perguruan tinggi justru meningkat. Jika pada Agustus 2006 penganggur dari kalangan terdidik ini sebanyak 673.628 orang atau 6,16 persen, setengah tahun kemudian jumlah ini naik menjadi 740.206 atau 7, 02 persen. Tren kenaikan ini sudah terlihat sejak tahun 2003. padahal, penganggur terdidik sempat berkurang setelah pada 1999 mencapai angka tertinggi, yaitu 9,2 persen. Dengan kenaikan 1 persen pertumbuhan ekonomi yang hanya mampu menciptakan 265.000 lapangan kerja baru, praktis lulusan tersebut bersaing dengan sesama mereka. Juga, bersaing dengan pencari kerja lainnya yang telah berpengalaman dan tengah mencari peluang kerja baru. Lulusan yang kalah bersaing ini jelas akan menambah angka pengangguran. Selain dari indikator pengangguran terbuka, nasib lulusan perguruan tinggi yang kurang beruntung juga bisa dilihat dari kategori setengah penganggur. Termasuk dalam kategori ini adalah lulusan perguruan tinggi yang bekerja di bawah jam kerja normal, yaltu kurang dari 35 jam per minggu, baik karena terpaksa ataupun sukarela. Pengertian setengah penganggur terpaksa di sini adalah mereka yang masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan lain. Sedangkan setengah penganggur sukarela adalah mereka yang tidak lagi mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain. Pekerja paruh waktu termasuk dalam kelompok setengah penganggur sukarela. Melihat peliknya situasi yang dirasakan oleh mereka–mereka yang berniat untuk melanjutkan cita–citanya, perlu langkah nyata dan terintegral agar permasalahan ini tidak mengarah pada krisis kepercayaan diri yang dapat menyebabkan keruntuhan integritas dan mentalitas bangsa ini dari bangsa lain. Karena ini berkaitan erat dengan kemampuan kita didalam menyiapkan generasi intelektual tapi miskin jiwa pembaharu. Kita semestinya mampu dan berbuat semaksimal mungkin supaya ilmu yang mereka dapatkan di bangku kuliah di aplikasikan untuk membantu problematika yang tak kunjung habis–habisnya mendera bangsa ini, minimal membangun mentalitas bangsa ini yang sudah terpuruk semakin dalam, ingat bangsa ini sudah dalam kondisi tak tertangani dengan baik, karena setiap amanah yang diberikan kepada pemimpin negeri ini malah di jadikan pembenaran untuk kepentingan sendiri. Cukup menggelikan jika kita mengingat kembali seruan para aktor–aktor pembaharu yang memproklamirkan “saatnya yang muda memimpin“. Saya tidak tahu kriteria muda yang pantas memimpin negeri ini, apakah yang punya basis massa kuat, keturunan Ulama Besar atau mantan Presiden, punya ideologi kuat dan IQ tinggi tapi tidak diakui pasar, mengenaskan. Apakah bangsa ini sedang mengalami krisis sumber daya manusia (SDM)? atau malah kehilangan karakter untuk terus memperbaiki diri, mulai dari budaya, mentalitas manusia modern yang anti terbelakang dan tertinggal, serta merubah kebiasaan budaya instan dan berpangku tangan kepada nasib (Takdir Tuhan), kuasa Tuhan dijadikan pengharapan. Lihat bangsa Jepang, atau India, dan Singapura. Mereka tidak segan–segan belajar dari bangsa lain supaya diakui kemampuannya untuk mendidik masyarakatnya dengan benar, tanpa merasa malu, gengsi, dan rendah diri. Apa yang sudah di perbuat bangsa ini untuk menyenangi rakyatnya? bisanya cuma meniru–niru sistem ekonomi (kapitalis), politik (Demokrasi bar–bar), budaya (westernisasi), pendidikan, KUHP saja masih pake zaman kolonial Belanda. Mari kita buat perbandingan ada berapa sarjana kita yang “terhormat“ yang melamar kerja dengan usaha sendiri dengan sarjana yang melamar kerja tapi atas nama relasi, memang aspek jaringan (link) di wajarkan untuk menekan angka pengangguraan dalam terminologi modal sosial, tetapi kita jadi kehilangan budaya berkompetisi, fair, menghargai usaha orang lain, saya di sini bukan untuk menjudge bahwa yang melamar pekerjaan dengan memanfaatkan uluran tangan relasi tidak mendidik, justru untuk menyadarkan kita bahwa roda kehidupan harus terus berputar. Dimana ada kompetisi, perjuangan, kerja keras, dan nasib baik. Atau perlukah kita merevitalisasi sistem dan budaya pendidikan kita agar input dan output sarjana yang di hasilkan tidak habis tertelan bumi ? ada satu fakta yang cukup menggelikan tentang sarjana S1 dan Diploma, yang enggan turun langsung bergotong royong dengan masyarakat guna menekan dan melanjutkan program pemerintah yang di peruntukkan lulusan perguruan tinggi yang tidak laku di pasar, program yang di maksud adalah padat karya. Yang di harapkan dari program ini adalah para sarjana berkiprah di dalam program pembangunan yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat, namun preferensi kerja mereka lebih mendambakan pekerjaan kantoran. Alasannya didasarkan biaya yang sudah di keluarkan selama menempuh pendidikan dan mengharapkan tingkat pengembalian (rate of return) yang sebanding. Selain itu bidang yang tidak memerlukan teknologi tinggi lebih diminati, alasannya menghindari tingkat kesulitan pekerjaan yang relatif rendah karena tidak memerlukan teknologi tinggi. Jelas berarti ada problem yang harus segera diatasi oleh pemerintah, yaitu (i) merevitalisasi dan mereformasi sistem pendidikan kita. (ii) Menciptakan dan membuka lapangan kerja seluas–luasnya. (iii) Merekonstruksi mentalitas generasi muda Indonesia. Harus ada political will, dan sense of crisis dari segenap komponen bangsa supaya kita tidak menjadi bangsa yang miskin dan bodoh selamanya. Wallahu alam.

No comments: