- Baudrillard, Jean.2004. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta:Kreasi Wacana
- Ibrahim, Idi Subandy. 1997. Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Bandung: Mizan
- Sumandono, Priyo. 1999. Wacana Gender dan Layar Televisi (studi perempuan dan pemberitaan televisi swasta), Yogyakarta:LP3EYdan Ford Foundation
Tuesday, August 19, 2008
Industri Demokrasi dalam Media
Thursday, July 24, 2008
Friday, June 20, 2008
Review Lea Jellinek : Seperti Roda Berputar.
Oleh Ahmad.S.Anam
Sosiologi pembangunan 03.
Kebun kacang, sebuah potret kehidupan di belahan Jakarta tempo dulu. Disini kita akan menyelami lebih jauh mengenai sebuah kampung di tengah – tengah hiruk pikuk kehidupan kota. Sebutan Kebun Kacang oleh penduduk sekitar, karena kesuburan tanahnya yang banyak dengan hasil bumi. Sebuah kampung di pinggiran kota yang penuh misteri, cerita memilukan, denyut nadi masyarakat miskin kota dan tempat lahirnya masyarakat komunal yang heterogen. plural, dan marginal. Semua berawal pada sekitar tahun 1930an, ketika Kebun Kacang digambarkan sebagai wilayah yang berdiri di pinggiran kota modern Jakarata. Wilayah yang subur dengan tumbuhan sayur berubah menjadi kota gubug, karena tidak bisa menahan derasnya arus urbanisasi akibat pembangunan yang tidak merata di desa.
Penduduk yang mendiami Kebun Kacang adalah pendatang yang memerlukan lebih banyak pekerjaan daripada yang mereka dapatkan di desa, selain warga asli. Mereka juga mengklaim menguasai wilayah ini karena sudah menempatinya berpuluh – puluh tahun. Alasanya banyak, penduduk seperti Ibu Chia yang merasa rumah yang dihuninya berdiri atas hak tanah yang mereka miliki, bahkan sejak tahun 1930. Jadi tidak ada pembenaran bagi siapa pun melakukan pemaksaan untuk mengusir mereka dari kampungnya sendiri. Mereka juga mengaku selalu membayar pajak retribusi kepada pejabat pusat agar tanahnya tidak disita oleh negara. Padahal, sebagian dari mereka menempati tanah negara.
Motivasi para pendatang merantau ke Jakarta adalah untuk mencari taraf kehidupan lebih baik, kebanyakan mereka berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, penjaga parkir, tukang cuci, tukang becak, penjual warung, dan petani. Tetapi ada juga yang menjadi majikan seperti yang di lakoni oleh Haji Yusuf, yang mempunyai buruh lepas. Kerjanya mengurusi sebidang tanah yang sudah ditanami hasil pertanian, dan menjualnya ke pasar ataupun tetangga yang memerlukan dagangannya untuk kebutuhan hidup sehari – hari. Pegawai Haji Yusuf sendiri adalah sanak familinya yang memerlukan pekerjaan lebih baik, yang tidak mereka dapatkan di desa, dan juga tergiur dengan upah yang tinggi jika mereka bekerja di Jakarta. Walaupun Haji Yusuf pada awalnya memberi hak buruh dengan membagi – bagikan hasil pertaniannya, karena tekanan koloni Belanda yang pada waktu itu menguasai Kebun Kacang.
Awal kehidupan di Kebun Kacang bisa dibilang cukup menyenangkan, walaupun tidak sepenuhnya benar – benar nyaman. Maklum, Kebun Kacang pada tahun 1930 adalah daerah bekas jajahan Belanda, dan setelah itu beralih ke tangan Jepang yang gantian menguasai Kebun Kacang. Banyak warga asli atau - yang sudah lama menempati Kebun Kacang – berperang dengan tentara Belanda guna mempertahankan wilayahnya dari invasi Belanda dan Jepang. Permukiman yang dibangun di Kebun Kacang kebanyakan seperti bangunan gubug, atau mereka menyebutnya sebagai kampung kumuh. Karena berukuran 3x1 meter, dan kelihatan seperti kandang kambing, dan terbuat dari kayu reot, dan bambu sisa peperangan.
Perubahan sosial yang berlangsung di Kebun Kacang memunculkan berbagai pilihan bagi penduduk, diantaranya pekerjaan di sektor informal dan formal. Dan ada juga penduduk yang menjadi pegawai pemerintah dan swasta. Efek ekonomi dan sosial dari menjamurnya pekerjaan, penduduk, pembangunan, di Kebun Kacang adalah menurunnya angka pengangguraan, anak – anak dapat sekolah, penduduk banyak merenovasi rumahnya, dan apa yang disebut dengan multi player effect. Seperti, warung, restoran kecil,dan jenis usaha kecil lain. Namun, tidak semua penduduk miskin. Ada Ibu Cia, yang mempunyai rumah dengan ukuran lebih baik dan di dukung dengan pekarangan luas, berikut tanaman sayur yang berada di belakang rumah. Mungkin yang paling besar dibanding tempat tinggal penduduk yang lainnya. Hubungan sosial antara penduduk asli dengan pendatang sangat kekeluargaan, masing – masing menunjukkan sikap penuh persaudaraan.Walaupun secara tingkat status sosial berbeda, tidak ada yang merasa dirinya lebih makmur di banding yang lain. Sistem kekerabatan begitu mengental karena pengaruh budaya yang dibawa oleh masing – masing keluarga. Jadi tidak ada permusuhan, yang satu merasa lebih tinggi, secara ekonomi dengan yang lain. Masing – masing keluarga dengan kelebihan secara materi membantu kesulitan atau kesusahan yang dialami oleh tetangganya.
Namun, seiring berjalannya waktu apalagi dibarengi oleh beban hidup dan tekanan penguasa. Telah terjadi dekadensi hubungan sosial masyarakat, yang tadinya penuh dengan sistem kekerabatan, solidaritas sosial yang tinggi, dan perasaan senasib, telah merubah pola interaksi sosial, dan juga ruang – ruang sosial semakin tertutup oleh keegoisan masyarakat kelas menengah ( kota ). Mereka menutup diri dengan cara membangun rumah lebih luas dan tinggi, agar menghindar keluhan warga kampung yang sering meminta – minta bantuan materi untuk bertahan hidup. Mulai saat itu masing – masing dari mereka mulai menanggalkan kerjasama yang selama ini menyatukan mereka, yang ada sekarang adalah bagaimana mencari dan memanfaatkan peluang guna melangsungkan hidup yang semakin berat saja.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti makan, memperbaiki rumah, dan menyekolahkan anak, mereka memanfaatkan kelonggaraan yang diberikan oleh pemerintah kota untuk mendapatkan pekerjaan mereka. Bahkan Ibu Innah mengajak saudaranya yang ada di desa untuk datang ke Jakarta dan mulai mencari makan dan pekerjaan yang sama sekali tidak tersedia di desa, dan mereka tinggal di sebuah gubug tua di seberang sawah Kebun Kacang, dengan tujuh penghuni dan saling berdesak – desakkan hanya untuk melepas lelah. Mereka bekerja sebagai tukang ledeng, tukang sayur, penjual es krim, dan banyak lagi. Keterikatan sosial antara keluarga yang ada di kota dengan yang ada di desa sangatlah berarti, karena biasanya kedua – duanya saling membutuhkan.
Jadi yang terlihat di Kebun Kacang adalah fenomena migrasi besar – besaran, dan pengelompokkan sosial. Maksudnya adalah yang menjadi kelas pekerja adalah keluarga yang berasal dari keluarga yang sama. Tetapi, ada juga keluarga menengah yang mempekerjakan warga sekitar untuk menjadi pembantu rumah tangga, supir, tukang pencambut rumput, dan yang menjual hasil tanaman. Namun, itu tidak berlangsung lama sebab, banyak warga kampung yang mencuri barang milik majikannya. Sehingga mereka tidak dipekerjakan lagi dan kembali menjadi penganggur serta menambah beban hidup keluarganya, yang tidak mampu lagi memberi mereka makanan dan uang. Akibatnya muncul perselisihan antar keluarga.
Dari perselisihan keluarga, berkembang menjadi konflik keluarga yang tak pernah terselesaikan karena masing – masing pihak merasa berhak memiliki warisan keluarga. Pada akhir tahun 1950an, banyak lowongan kerja tersedia. Dan banyak pendatang memperlihatkan inisiatif dan usaha yang jauh lebih besar daripada para penduduk yang sudah menetap lama. Para pendatang baru belum siap untuk menerima pekerjaan tetap. Seperti yang dialami oleh Sumira yang mencoba melamar pekerjaan di instalasi rumah sakit, walaupun pada akhirnya suaminya, Junto, mengalihkan pekerjaan sebelumnya dan mencoba jenis pekerjaan lain untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik tentunya. Pada tahun itu juga, banyak warga kampung yang menjadi pedagang kaki lima ( PKL ), mereka berupaya untuk memperbaiki nasib mereka, dan mendapatkan pekerjaan yang mereka sukai. Transformasi sosial berperan sangat penting didalam merubah pola hidup dan cara berpikir warga kampung, penduduk kampung mengamati, bahwa meledaknya pembangunan pada masa Soekarno telah menggerakkan pusat kota secara cepat ke arah selatan, menuju Kebun Kacang.
Namun, dibalik pesatnya pembangunan yang terjadi di sekitar Kebun Kacang, masih ada problematika yang sepertinya sudah menjadi akar persoalan budaya di negeri ini. Bahwasanya perempuan dibatasi ruang geraknya oleh status sosial mereka sebagai istri, penjaga rumah. Kenyataan di sebagian penduduk Kebun Kacang masih banyak perempuan yang dibatasi perannya, dan hanya bekerja di wilayah domestik. Dan ketika suami mereka tidak mendapatkan sesuatu yang lebih baik, mereka pun puasa makan. Apalagi di tengah derasnya pembangunan menuntut siapa saja untuk memanfaatkan ketersediaan lapangan kerja demi kehidupan lebih baik. Diskriminasi sosial sangat terasa di Kebun Kacang ini, tingkat perceraian sangat tinggi, dan hubungan sosial makin renggang.
Penyebab dari diskriminasi sosial adalah hanya kaum menengah yang mendapat jatah hasil pembangunan, serta program penggusuran yang menjadi agenda rutin dari setiap kebijakan sosial penguasa, menghapus kesempatan penduduk Kebun Kacang untuk dapat menikmati hasil usahanya. Sehingga usaha kecil menengah yang sudah menjadi harapan banyak penduduk Kebun Kacang terpaksa mulai di lupakan, dan mereka kembali beralih ke pekerjaan semula sebagai tukang ojek, tukang becak, pembantu rumah tangga, penjual hasil tanaman, dan buruh bangunan. Ada sebuah keganjilan ketika para pendatang tidak bisa langsung mendapatkan pekerjaan, dikarenakan mereka tidak mampu bersaing dengan warga asli yang sudah lebih mapan dalam hal pengalaman, dan jaringan sosial.
Karena suami sudah tidak mampu menafkahi keluarga, terjadi perceraian dengan tingkat sangat tinggi. Atau juga karena suami mempunyai istri lebih dari satu, dan ada juga yang selingkuh lebih dari satu kali. Ada keunikan yang terjadi di penduduk Kebun Kacang, untuk mempertahankan kekerabatan, dan jaringan sosial,.mereka diperkenankan untuk saling menikahi antar satu saudara. Dan tidak melanggar norma sosial karena sesuai kesepakatan bersama. Namun, rentan perceraian karena sulitnya menjaga keharmonisan keluarga. Dari diskriminasi sosial dan perceraian di penduduk Kebun Kacang, ikut mempengaruhi hubungan sosial antara penduduk kampung dengan masyarakat menengah yang mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Dulu pola hubungan sosial yang berlangsung di penduduk Kebun Kacang adalah saling membutuhkan antara warga asli dengan pendatang. Mereka hidup rukun dan saling kerjasama untuk meringankan kesusahan dan beban hidup yang semakin berat, jika hanya ditanggung sendirian. Dan juga pola hidup sederhana, artinya susah – senang ditanggung bersama.
Dan mereka saling menguatkan dengan ikatan tetangga, bukan ikatan kerabat. Maksudnya dengan ikatan tetangga, mereka bisa diandalkan karena sebagian penduduk Kebun Kacang mempunyai taraf kehidupan lebih baik. Beda dengan ikatan kerabat yang dari sisi ekonomi sama – sama susah. Pada tahun 1970an, perekonomian nasional membaik. itu dapat dilihat dari munculnya bangunan bertingkat, pertambahan penduduk yang dibarengi permintaan konsumsi yang tinggi, dan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional bertambah. Tidak seperti tahun 1950 yang masih didominasi oleh kelas feodal, kali ini penduduk Kebun Kacang dapat sepenuhnya berpartisipasi lewat kebijakan pemerataaan pembangunan dari sektor pertanian, dan formal.
Namun, kenapa pesatnya pembangunan tidak dibarengi dengan pemerataan hasil pembangunan. Terjadi kesenjangan sosial dan ekonomi, itu dapat dilihat dari keadaan penduduk Kebun Kacang yang mengalami sendiri sebelum dan sesudah pembangunan berlangsung. Pada tahun tersebut, penduduk Kebun Kacang menyebutnya sebagai zaman kurang ajar, dikarenakan frustrasinya penduduk Kebun Kacang, disebabkan ketidakmampuan mereka untuk memenuhi keinginan mereka yang semakin meningkat, tidak adanya perhatian antarsesama pada umumnya serta bertambahnya ketidaksamaan. Kesadaran untuk saling memperhatikan serta bermasyarakat, yang menjadi ciri lingkungan Kebun Kacang telah merosot.
Kekayaan menimbulkan rassa iri, dan juga menimbulkan keretakan hubungan di antara penduduk Kebun Kacang. Sangat miris ketika semua elemen penduduk Kebun Kacang dapat merasakan pola hidup sederhana, dimana tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin, dan sikap tidak perduli. Tetapi, antara tahun 1968 – 1975 dapat dikatakan sebagai masa kemakmuran ekonomi penduduk Kebun Kacang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Indikatornya banyak usaha kecil yabg dimulai pada zaman Soekarno berjalan dengan baik, dan pada tahun 1973, banyak penduduk Kebun Kacang merenovasi rumahnya, terutama pendatang. Akibat kecemberuan sosial ini, kaum pendatang memiliki taraf kehidupan lebih baik dibanding dengan warga asli. Pada akhir 1970 terjadi pasang surut ekonomi, banyak warga mengurung diri, lebih banyak diam dan menerima semua kemauan penguasa. Dan puncaknya pada awal 1980an, mereka penduduk Kebun Kacang yang rumahnya digusur atas nama pembangunan dianggap sebagai penghalang pembangunan. Akibat dari penggusuran itu banyak warga asli Kebun Kacang pindah ke pinggiran Jakarta.
Keadaan fisik Kebun Kacang setelah zaman pembangunan banyak mengalami perubahan, ada rumah yang bertingkat, tapi masih ada juga yang terbuat dari gubug. Ada yang sudah memiliki mobil, tetapi ada juga yang masih pakai becak untuk beraktivitas. Dan kalau dilihat dari kehidupan penduduknya, semakin lebar jurang kesenjangan sosial, atau kemiskinan yang dipelihara oleh negara. Apalagi ditambah dengan kebijakan untuk memindahkan penduduk dari tempat tinggalnya ke pinggiran kota atau disebut dengan kebijakan penggusuran. Itu dimulai pada awal tahun 1981, sebagai bentuk penindasan oleh penguasa kepada rakayatnya. Sebagaian penduduk Kebun Kacang tidak memiliki harapan positif terhadap pemerintah, pengalaman pahit sudah mengajarkannya untuk tidak lagi percaya lagi terhadap program pemerintah.
Sebagaian besar penduduk tidak tahu tentang adanya program – program kesejahteraan pemerintah dan bagaimana memahami mereka dapat memanfaatkannya. Salah satu program pendukung dari pemerintah untuk meningkatkan standar kehidupan adalah dengan program perbaikan kampung, untuk mengatasi permasalahan sosial di kampung itu. Salah satunya dengan perbaikan infrastruktur untuk menperbaiki sarana dan prasarana yang rusak akibat kurangnya sumber daya manusia, dukungan pemerintah, dan lahan yang sudah banyak ditempati untuk digunakan sebagai tempat tinggal. Dan juga untuk mencegah bahaya banjir. Program ini juga sebagai upaya mendukung pereknomian penduduk kampung yang banyak mengandalkan tersediannya sarana dan prasarana memadai.
Selain program kesejahteraan masyarakat, program lainnya yang langsung menyentuh kebutuhan hidup penduduk kampung adalah dengan pendidikan dan kesehatan. Untuk pendidikan, pemerintah kota memprioritaskan pendidikan yang tinggi kepada masyarakat, soalnya pendidikan adalah barang mahal karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, ada kendala dalam tingkat pelaksanaan. Banyak penduduk lebih memilih menyekolahkan anaknya ke pesantren daripada ke pendidikan formal. Pertimbangannya karena pendidikan di pesanteran lebih baik dan lebih murah daripada di sekolah umum. Kesulitan lain yang harus diterima adalah masalah pendaftaran, yang prosedurnya terlalu rumit bagi penduduk tidak demikian di sekolah pesantren, mereka secara aktif mendatangi warga dan menampung anak – anak kampung dan tidak ada biaya pendaftaran
Untuk kebutuhan poko lainnya seperti kesehatan, pemerintah kota juga memberikan perhatian yang serius. Bentuk perhatiannya adalah dengan mendirikan pusat pelayanan kesehatan, klinik – klinik kesehatan, dan pemberian obat – obatan secara gratis. Namun, karena kurangnya sosialisasi dan penduduk kampung sudah terbiasa dengan obtan tradisional. Warga jadi enggan dan beralih ke cara penyenbuhan secara tradisional, karena lebih mudah di akses. Segala kebijakan sosial ataupun program yang diperuntukkan penduduk kampung jadi terasa hambar, karena penduduk kampung melihat tidak ada perubahan berarti. Saking bosannya dengan janji – janji pemerintah, di setiap pergelaran pemilihan umum hampir sedikt sekali yang berpartisipasi. Hampir dikatakan mereka sudah muak dengan pemerintah, sampai – sampai mereka tampaknya menutupi diri dari orang pemerintah.
Memang ada beberapa manfaat dari program pemerintah seperti, perbaikan kampung, kesehatan, dan pendidikan, tetapi tetap saja itu hanya berlangsung dalam sekejap, tidak berkelanjutan. Sebenarnya penduduk kampung mencoba memberikan masukan terhadap setiap kebijakan pemerintah, supaya efektif, dan hasilnya memang bisa bertahan lama. Salah satunya dengan kepemimpinan lokal, maksudnya yang menjadi penghubung antara pemerintah dan penduduk kampung adalah warga kampung sendiri yang lebih perduli dan merasakan penderitaan yang sama. Namun, saran dari penduduk kampung tidak di dengar oleh pemerintah, dan yang di tunjuk adalah warga kelas menengah yang tidak tahu persoalan di kampung kumh Kebun Kacang.
Para pemimpin informal, seperti ketua kampung, tidak digubris oleh pemerintah. Hasilnya penduduk kampung sudah tidak percaya lagi dengan pemimpin, dan pemerintah kota. Mereka secara tegas menolak setiap kebijakan yang menyangkut penduduk Kebun Kacang. Mereka berpandangan pemimpin pada masa itu lebih mengejar kepentingan sendiri, dan menjauhkan penduduk kampung dari kemajuan. Program penggusuran sebagai salah satu cara yang digunakan oleh pemerintah kota untuk mengatasi perkampungan kumuh dan memindahkan penduduk kampung ke flat – flat adalah bentuk imperialisme terhadap masyarakat marginal. Mereka digusur secara paksa dan tidak diberi ganti rugi. Cara – cara yang digunakan tidak memberi solusi konkret, memang pada awalnya pemerintah menawarkan flat sebagai tempat tinggal baru, tetapi lucunya penduduk kampung harus membayar tagihan dan sewa flat tersebut. Karena terdesak oleh kebutuhan, Ibu Sumira menjual perabotan rumahnya yang baru saja di beli dari hasil penjualan rumahnya, namun, karena sudah tidak mampu lagi membayar tagihan flat dan juga kebanyakan yang tinggal di flat adalah warga kelas menengah, dia merasa malu dan tertekan, akhirnya dia pun meninggal dunia. Mengenaskan!
Ada sebuah pertanyaan menggantung, bahwasanya kemiskinan struktural pada dasarnya diawali oleh ketidakberpihakkan terhadap rakyat kecil, dan di pelihara atau diciptakan oleh negara, dengan asumsi ketidakmampuan negara dalam mencegah dan mengatasi permasalahan sosial yang dialami sendiri oleh penduduk kampung Kebun Kacang. Bahwasanya penduduk Kebun Kacang kembali miskin adalah derita berkelanjutan yang sepertinya ada pembiaran secara organisasi dan sistem. Posisi tawar rakyat miskin tidak akan pernah kuat, jika pemimpinnya menomorduakan rakyat kecilnya dari keadilan sosial.
Wednesday, June 18, 2008
CITY of GOD
CIDADE DE DEUS (KOTA TUHAN)
Cidade de deus adalah sebuah kota yang terletak di Rio de Jenero, Brazil. Cidade de deus,- yang disebut juga kota tuhan (dimana Tuhan telah melupakan penghuni kota tersebut),- adalah proyek perumahan pemerintah untuk tempat penampungan warga miskin dan warga yang terkena musibah (tepatnya adalah warga tunawisma). Di Cidade de deus dapat kita jumpai sekolah, namun tidak terdapat kesadaran masyarakat akan pendidikan. Selain itu dapat kita jumpai juga aparat keamanan (Polisi), namun mereka pun tidak berfungsi sebagaimana fungsinya (menjaga keamanan). Hal ini menyebabkan kota Cidade de deus menjadi kota yang penuh dengan tindak kriminal, baik perampokan, pembunuhan, Narkoba, maupun pemerkosaan, serta kejahatan lainnya. Selain itu kota tuhan juga juga bebas dari hukum negara, karena hukum yang berlaku di kota tuhan adalah hukum yang dibuat oleh pemimpin geng yang menguasai kota tersebut.
PANDANGAN NEGARA KESEJAHTERAAN TERHADAP KOTA TUHAN
Di kota tuhan terdapat jaminan kesejahteraan untuk warganya (seperti tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, maupun keamanan). Maka dapat dikatakan Brazil menggunakan konsep negara kesejahteraan. Namun usaha pemerintah untuk menjamin kesejahteraan penduduknya hanya berjalan setengah-setengah. Hal ini dapat dilihat dari usaha pemerintah untuk membangun pemukiman namun tanpa listrik, sekolah tanpa penyadaran akan pentingnya pendidikan, aparat keamanan yang tidak menjaga keamanan, dan hal-hal lainnya. Yang kemudian pada akhirnya menimbulkan kekacauan.
PROBLEMA YANG TERJADI PADA KOTA TUHAN
Masalah utama yang terjadi di kota tuhan adalah kesulitan yang di alami masyarakatnya untuk melakukan mobilisasi vertikal kelas ketingkat yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari sulitnya mencari pekerjaan (meskipun ada lapangan pekerjaan, namun menurut warga kota tuhan pekerjaan yang mereka dapatkan tidak akan membuatnya sukses), serta pemberian stereotipe oleh masyarakat dari daerah lain kepada masyarakat kota tuhan (stereotipe masyarakat kota tuhan adalah masyarakat miskin, tidak berpendidikan, kriminil, serta stereotipe lainnya).
Hal tersebut diperparah dengan hilangnya kepercayaan masyarakat kota tuhan terhadap Tuhan. Hal ini mungkin disebabkan oleh keadaan mereka yang tak kunjung berubah, sehingga mereka menganggap Tuhan telah melupakan mereka. Dengan tidak adanya kepercayaan terhadap Tuhan itu mereka semakin tidak terkendali,menghisap ganja dan menghirup kokain. Mereka kemudian terbuai oleh Narkoba, yang membuat mereka melakukan segala cara untuk mendapatkan Narkoba, serta melakukan semua hal dibawah alam sadar karena Narkoba.
Selain itu, kondisi ekonomi masyarakat kota tuhan dengan masyarakat dari kota lainnya juga sangat berbeda. Kesenjangan ekonomi tersebut membuat masyarakat kota tuhan cenderung untuk melakukan tindak kriminal, dan bahkan anak kecil pun sudah melakukan tindak kriminal. Hal ini juga diperparah dengan aparat keamanan (Polisi) yang tidak menegakkan hukum (Polisi dapat dikendalikan dengan uang), yang membuat hukum negara tak lagi berlaku (yang berlaku adalah hukum yang di buat oleh pemimpin geng yang terkuat).
Friday, May 23, 2008
Sinopsis Novel “Laskar Pelangi”

SD Muhammadiyah adalah salah satu sekolah miskin dan satu-satunya sekolah di Belitong yang mengutamakan ilmu keagamaan. Mempunyai enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD dan sore untuk SMP Muhammadiyah. Keterbatasan kepemilikan seragam, ruang kelas yang luas, bangku tersusun rapi beserta mejanya dan papan whiteboard nampaknya tak menyurutkan niat sepuluh murid ini untuk mengenyam pendidikan. SD Muhammadiyah hanya mempunyai sebatang tiang bendera dari bambu kuning dan sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring di dekat lonceng yang terbuat dari besi bulat berlubang-lubang bekas tungku dan yang paling mengagumkan adalah keberadaan sebuah poster yang berada persis dibelakang meja Bu Mus, Poster ini memperlihatkan seorang pria berjenggot lebar, memakai jubah, dan ia memegang sebuah gitar penuh gaya. Pria tersebut terlihat melongok kelangit dan banyak sekali uang-uang kertas dan logam yang jatuh menimpa wajahnya. Tak lain tak bukan, itu adalah poster Rhoma Irama dengan tulisan dibawah poster “Rhoma Irama, Hujan Duit”.
Keadaan ini jauh dari kata mewah, bangunan dengan arsitektur megah, dan fasilitas yang lengkap seperti yang terdapat pada sekolah-sekolah PN Timah. Jangankan bangunan bergaya Victoria, sekolah ini bahkan sudah hampir rubuh jika hujan lebat beserta angina kencang. Sekolah ini tidak membebankan orang tua dalam hal pembayaran, maka dari itu perihal fasilitas yang seadanya, baju seadanya tanpa seragam dan dengan beralas sandal bukan sesuatu yang dipermasalahkan lagi bagi Bu Mus, Pak Harfiah maupun orang tua murid.
N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid atau lebih dikenal dengan Bu Mus, hanya mempunyai ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri), ia terus memajukan pendidikan Islam sesuai dengan cita-cita Ayahandanya, K.A. Abdul Hamid sebagai pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong. Apa yang dialami Bu Mus membuatnya dekat dengan dunia kemiskinan. Bagaimana tidak, beliau hanya dibayar beras 15 kilo setiap bulannya. Segala bentuk ajaran yang diberikan Bu Mus berupa pelajaran wajib dan Islam beliau ajarkan sendiri. Sudah tentu bayaran beras 15 kilo perbulan tidak mampu memenuhi biaya hidupnya. Maka dari itu beliau menerima jahitan hingga larut malam untuk mencari nafkah tambahan, menopang hidup dirinya dan adik-adiknya.
Terlepas dari kemiskinan yang melekat didirinya, Bu Mus adalah seorang guru yang pandai, karismatik dan memiliki pandangan jauh kedepan. Bu Mus selalu mengajarkan pandangan-pandangan moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi. Beliau selalu mengajarkan bagaimana menjalani hidup sesuai dengan ajaran-ajaran dan pedoman islam. Tak sering beliau mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Quran dengan indah dan bermakna.
Di SD Muhammadiyah ini, Bu Mus mendapatkan orang-orang yang luar biasa hebat, mereka adalah Lintang, Mahar dan Flo. Saat pertama kali beliau menemukan kejeniusan dan intelegensi tingkat tinggi didalam diri Lintang, tak henti-hentinya beliau mengucapkan Asma Allah, “Subhanallah... Subhanallah” sebagai kekagumannya pada sesosok anak lelaki yang dilahirkan oleh keluarga nelayan dan tinggal di pesisir pantai, jauh berpuluh-puluh kilometer menuju sekolah. Lintang selalu bisa memecahkan pelbagai pertanyaan dan soal-soal yang diberikan Bu Mus. Nilainya selalu sembilan, hanya pelajaran keseniannya saja yang mendapat nilai delapan di rapornya. Hingga pada suatu perlombaan cerdas cermat yang diadakan oleh PN, sekolah Muhammadiyah berpangku tangan pada kejeniusan otaknya. Benar sekali, dalam perlombaan tersebut Lintang membabat habis semua pertanyaan yang dilontarkan pembawa acara. Dan sejak saat itulah Sekolah Muhammadiyah tidak pernah dianggap sebelah mata lagi. Lain halnya dengan Mahar, anak yang satu ini sangat piawai dibidang kesenian. Reputasinya dalam kesenian sangat banyak memajukan Sekolah Muhammadiyah dikalangan masyarakat Belitong. Bakat seni fenomenalnya terdapat saat Bu Mus mempercayakannya mengikuti karnaval 17 agustusan. Dimana Mahar mengkoordinisir teman-temannya untuk memainkan tokoh-tokoh yang diperankan dalam pementasan tersebut. Dunia seni memang ditujukan untuk seorang anak yang selalu membuat Bu Mus kagum dan menggelengkan kepalanya setiap ada hal aneh yang dilakukannya, inilah Mahar. Sedangkan Flo, ia adalah anak salah satu orang penting di Perusahaan Timah PN. Namun ada keanehan dan ketidakbiasaan dari anak orang kaya lainnya, Flo tidak mau sekolah di Sekolah PN. Ia lebih memilih sekolah di Muhammadiyah yang 180 derajat berbeda dari sekolahnya dulu.
Sekolah Muhammadiyah memang sangat bermakna bagi siapa saja yang berada disana. Inilah yang membuat Bu Mus tidak pernah mengeluh mengajar murid-muridnya, dan pastinya saat perpisahan di kelas 3 SMP membuat beliau rindu mengajar murid-murid yang mengagumkan yang beliau sebut sebagai laskar pelangi.
Kemiskinan bagi N.A. Muslimah Hafsari Hamid bukanlah sesuatu yang memberatkannya, karena beliau selalu diajarkan hidup dalam kesederhanaan. Dan didalam keserhanaan itu, beliau terus belajar dan berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anak didiknya. Hanya satu yang beliau jadikan patokan hidupnya yaitu, amar makruf nahi mungkar. Beliau adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya, dimana beliau bisa dijadikan sosok seorang ibu, pengajar, dan juga seorang sahabat.
Tahun 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup, walaupun demikian sekolah ini tetap meninggalkan sejarah luar biasa. Nasib pun memberikan jalan pada Bu Mus, beliau mendapat kesempatan dari Depdikbud untuk mengikuti Kursus Pendidikan Guru (KPG) lalu diangkat menjadi PNS. Saat ini Bu Mus diangkat mengajar Matematika di SD Negeri 6 Belitong Timur. Selama perjalanannya menjadi seorang guru hingga 34 tahun, beliau tidak pernah lagi menemukan murid-murid sefenomenal Linyang, Mahar, Flo dan tentunya sehebat anggota Laskar Pelangi.
Dalam novel yang berjudul Laskar Pelangi ini, ada konstruksi sosial kemiskinan yang terlihat, misalnya pada cerita yang menggambarkan keadaan Sekolah Muhammadiyah di Belitong. Keadaan yang minim dan terkesan sekolah miskin ini ternyata telah melahirkan orang-orang yang luar biasa cerdas. Keterbatasan fasilitas dan ruang di Sekolah Muhammadiyah membuat murid-murid semakin kreatif dalam mencapai pendidikan. Karena untuk mendapatkan pendidikan tidak perlu kaya dan sekolah di sekolah ternama, namun dengan bersekolah di sekolah miskin pun, bisa mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik. Dengan kata lain kemiskinan bukanlah alasan untuk menggapai pendidikan yang lebih baik.
Penulis menggunakan kiasan / analogi yang sangat apik diiringi dengan penggunaan majas metafora yaitu suatu benda mati seolah-olah menjadi hidup. Selain itu penulis terlihat sangat terampil memadupadankannya kedalam sebuah cerita. Penulis bukan hanya memberikan kata kiasan pada sebuah kalimat agar menjadi apik, namun penulis juga tanpa disengaja telah menyisipkan beberapa pengetahuan untuk para pembacanya.
Bukan hanya kiasan yang menawan, gaya deskripsi yang penulis gunakan juga sangat detail. Misalnya dalam pendeskripsian Sekolah Muhammadiyah dan Sekolah PN, penulis menggambarkannya secara terperinci sehingga pembaca seolah mengalaminya langsung dan berada di lokasi tersebut. Empati pembaca inilah yang memperjelas adanya ketimpangan antara Sekolah Muhammadiyah dan Sekolah PN.
Dalam novel ini, ada struktur sosial yang terdapat di Belitong. Ada kelas atas, menengah dan bawah yaitu Orang-orang yang mempunyai peran penting di PN baik pengusaha maupun manajer PN itu sendiri yang menempati kelas atas, lalu di kelas menengah ada pegawai dan staf PN, di kelas bawah ditempati oleh masyarakat Belitong yang berada diseberang tembok tinggi, pembatas PN dengan masyarakat Belitong. Maka dari itu terdapat fungsi perbandingan didalamnya. Ada ketimpangan antara masyarakat Gedong di PN dengan masyarakat Belitong yang bersahaja walaupun terkesan sangat miskin.