Tuesday, November 13, 2012

Musik, lirik, dan kesadaran

Kajian mengenai lirik dalam lagu yang membangkitkan semangat kesadaran dan perlawanan telah banyak dibahas di berbagai literature. Kita mudah mencari bagaimana musik dan lirik memiliki keterlekatan untuk membangkitkan kesadaran dari individu akan realitas sosialnya.

Menurut Kamus Oxford Muka Learner, sastra merupakan bagian dari tulisan yang dihargai sebagai karya seni (Hornby, 2000: 783). Sebuah karya sastra merupakan karya imajinatif yang menggunakan bahasa sastra. Ini berarti bahwa bahasa yang digunakan harus berbeda dari bahasa sehari-hari atau bahasa ilmiah. Bahasa sastra yang ambigu dan memiliki sisi ekspresif yang justru dihindari oleh berbagai jenis bahasa ilmiah dan bahasa sehari-hari[1].

Karena ambiguitas dan penuh ekspresi, bahasa sastra cenderung untuk mempengaruhi, membujuk, dan akhirnya mengubah sikap pembaca. Atas dasar ini mengapa penulis di awal tulisan menyebutkan bahwa lirik dalam lagu membangkitkan semangat kesadaran dan perlawanan akan kondisi sosial si penikmat musik. Sedangkan musik itu sendiri memiliki pengertian, sebagai seni dan ilmu yang membuat kombinasi menyenangkan dari suara, dalam kombinasi ritmis dan harmonis (Purwanto, 1999:1). Berbicara tentang lagu, kita juga akan berbicara tentang lirik. Lyric adalah kata-kata dari sebuah lagu yang terdiri untuk bernyanyi (Hornby, 2000: 253).

Musik itu sendiri sangat universal. Ia dikonsumsi oleh banyak orang di seluruh dunia, baik putih atau hitam. Musik juga mencerminkan gambaran manusia dalam kehidupan sosial. Musik dapat menunjukkan politik, budaya, ekonomi, sosial, dan agama.

Masuk di era industri menjadi pisau mata dua, kita melihat bagaimana derasnya laju industri yang merambah ke musik. Menjadi tidak mengherankan jika saat ini kita nyaman dengan lantunan lirik yang mendayu-dayu, seputar percintaan yang berorientasi hubungan dua individu beda jenis kelamin, perselingkuhan yang memuakkan, hingga pesan-pesan abnormal. Kondisi yang berjauhan dengan fakta sosial yang kita lihat dan kita 'nikmati' bersama.

Dari banyak referensi musisi yang lahir di era industri saat ini dan masa lalu, kita bisa menyebut banyak dari mereka yang masih bertahan untuk membuat musik yang membangkitkan kesadaran dari penikmat musik akan kondisi sebenarnya dari lingkungan yang mereka tempati.

Penulis mencoba menyebut beberapa musisi yang memiliki keteguhan melakukan hal tersebut atau dalam bahasa latin disebut, justum act tenacem[2] . Dari luar negeri, tepatnya di Amerika Serikat saat masa diskriminasi kulit hitam, kita tentu mengenal sosok tuna netra bernama Stevland Hardaway Judkins atau lebih populer dikenal sebagai Stevie Wonder.

Jika Nelson Mandela berjuang menentang politik diskirimasi ras (Apartheid) melalui senjata dan diplomasi. Stevie Wonder melakukan itu dengan lirik lagu. Salah satu lagu Stevie Wonder berjudul Living For The City tahun 1987 memamaparkan bagaimana kehidupan masyarakat ras kulit hitam di USA yang mendapat perlakuan diskriminastif. Mereka tak diperkenankan untuk hidup di kota berbaur dengan ras kulit putih[3]. Stevie mencurahkan kegundahan hal tersebut lewat beberapa bait sastra dalam lagunya,
To keep him strong moving in the right direction
Living just enough, just enough for the city...ee ha! (Living For The City)

Kekinian, beberapa dari kita mengenal musisi eropa yang juga bernyanyi untuk menyuarakan sebuah kesadaran akan kondisi realitas sosial yang dihadapi masyarakat dunia. Musisi itu bernama Manu Chao.  Manu Chao adalah musisi asal Prancis keturunan Spanyol, ia terlahir bernama Jose-Manuel Thomas Arthur Chao. Ia pernah membentuk band dengan jenis musik punk yang mengeluarkan 5 album yang tersebar di Prancis, Spanyol, dan kawasan Amerika Latin. Titik balik kesadaran Manu menuliskan lirik dalam musiknya yang membangun kesadaran masyarakat terjadi ketika ia konser di Kolombia. Saat itu, ia bernyanyi di hadapan pendengar yang bersenjata. Mereka adalah individu-individu yang mengangkat senjata terhadap pemerintahan Kolombia yang tidak berpihak ke masyarakat miskin. Untuk skala Eropa dan Amerika Latin, Garth Cartwright, seorang penulis dan jurnalis lepas BBC, berani membandingkan popularitas Manu Chao dengan The Beatles. Lebih banyak lagi yang membandingkan Manu dengan sang legendaris, Bob Marley[4].

Negeri ini di kisaran medio 60-an pun memiliki beberapa musisi seperti itu. Bahkan ada lembaga  budaya yang memiliki tugas menjadikan musik sebagai 'alat' penyadaran dan perlawanan. Musik adalah senjata untuk meneriakan kata lawan terhadap penindasan. Itu yang dikatakan Nyoto, salah seorang pendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)[5]. Lekra sendiri adalah lembaga budaya yang amat berkualitas, namun sayang perhara politik 65 mengakibatkan organisasi budaya yang memiliki prinsip 1-5-1 dalam berkarya harus mati.

Sedikit bercerita mengenai Lekra dan perjuangannya memajukan seni budaya, prinsip 1-5-1 yang diemban oleh para seniman Lekra dalam berkarya amat jelas tergambar dalam setiap karya yang dihasilkan. Lekra begitu gencar menyerang aliran musik melankolis semu yang mereka sebut aliran musik ngak, ngik, ngok atau lagu-lagu kambing kebelet kawin. Atau istilah yang lebih popular saat ini lagu cinta melulu. Lagu-lagu ini memerosotkan moral dan bertentangan dengan ruh revolusi yang pada masa itu sedang dikobarkan oleh Soekarno.

Kini kita tentu merasakan 'kehilangan' akan organiasasi seperti Lekra. Organisasi seni yang menjaga dan merawat identitas budaya bangsa ini. Fakta tak bisa di tampik bahwa sekarang kitaa sedang mengalami krisis kebudayaan. Krisis kebudayaan yang dimaksud adalah hilangnya seluruh entitas kebudayaan nasional, solidaritas tradisional, dan segala bentuk nilai-nilai kolektif dan egalitarian. Krisis kebudayaan ini sering dipersamakan dengan imperialisme kebudayaan, sebuah proses penjajahan yang dilakukan kekuatan modal multinasional terhadap negeri-negeri dunia ketiga. Penjajahan tidak melulu hanya pada lapangan ekonomi dan politik, tetapi juga berlangsung dengan terbuka dalam lapangan kebudayaan.

Namun setidaknya kita masih tersegarkan dengan masih munculnya beberapa musisi 'tulen' yang menerapkan prinsip 1-5-1 dalam karya mereka, meski di sadari atau tidak disadari oleh para musisi itu sendiri. Sebut saja band punk, Marjinal dengan lirik yang amat keras menghantam tatanan social, politik, dan budaya konservatif saat ini. Atau band Efek Rumah Kaca (ERK) yang memiliki beberapa lagu yang menghentak telingan penguasa saat ini. Tengok saja beberapa lirik ERK. Sebuah ajakan juga dilontarkan agar masyarakat Indonesia bangkit mewujudkan mimpi-mimpi yang terpendam, memperbaiki citra negeri ini agar dikenal sebagai negara besar dimata dunia, tidak bergantung kepada negara lain dan menjadi Indonesia yang sesungguhnya kelak. lekas, bangun dari tidur berkepanjangan menyatakan mimpimu cuci muka biar terlihat segar merapihkan wajahmu masih ada cara menjadi besar memudakan tua mu menjelma dan menjadi Indonesia…’ (Menjadi Indonesia).

Aspek sosiologis yang tercermin dalam karya sastra adalah konsep stabilitas sosial, kelangsungan masyarakat yang berbeda, bagaimana makhluk individu dapat menerima individu lain berada di dalam kelompoknya, bagaimana proses perubahan masyarakat secara bertahap, dan bagaimana perubahan besar terjadi di masyarakat (Endraswara 2006:88). Goldmann menyatakan bahwa tujuan dari pendekatan sosiologis bukan untuk menilai apakah sebuah karya berhasil atau tidak dalam merefleksikan masyarakat, tapi bagaimana baik itu mencerminkan sumber aslinya (1997:145).

Saya bukan pemimpin atau penyambung lidah rakyat (voice of the voiceless).. Saya sadar memiliki tanggung jawab, yang mungkin dapat membantu orang lain ~Mano Chao~
~PSG~


[1]           (www.oyoth.multiply com/journal/item/2/Analisis_Puisi:. 2009)

[2]     Multatuli, Pengarang besar, Pembela rakyat kecil, Pencari keadilan dan kebenaran, Pustaka Jaya, 2005.

[3]    Skripsi Maggie Dwilistiani “THE INTERACTION BETWEEN BLACK AND WHITE AMERICAN
      AS SEEN IN STEVIE WONDER’S SONGS” Unsoed, 2011.

[4]     http://www.berdikarionline.com/suluh/20120211/manu-chao-semangat-kolektif-menghadapi-globalisasi.html

[5]    Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965

Budaya Nongkrong Di Kampus

Sebagian orang mungkin menganggap budaya ‘nongkrong’ itu cuma buang-buang waktu.  Tapi kita semua gak usah naïf, kalo ditongkrongan juga kita kadang dapet ilmu yang gak pernah kita dapet dari pendidikan formal.
Kalo lo masih beranggapan  kegiatan nongkrong itu negatif, coba deh lo pikir lagi atau lo bisa nyoba untuk sesekali gabung supaya lo sendiri punya bukti pengalaman apa dan bagaimana budaya nongkrong itu sebenernya. Dan misalkan lo emang ngerasa nongkrong itu ‘wasting time’, seengganya itu dari pengalaman empirik lo, bukan dari perspektif orang lain.
Disini gue cuma mau blakblakan, kenapa? Karena gue (mungkin lo juga) ngerasa ‘gerah’ dengan image negatif segelintir (atau mungkin mainstream) orang tentang tongkrongan. Dan anehnya beberapa orang (oknum mahasiswa atau dosen) *keceplosan* yang mencap itu belom pernah terlibat langsung ditongkrongan.
Tongkrongan bukan sekedar buat have fun, kalo lo gak percaya tongkrongan juga punya sisi positif, ada kok. Misalnya, dari obrolan-obrolan kecil atau bahkan curhat beberapa temen lo ditongkrongan, lo bisa dapet nilai kehidupan dari pengalaman mereka yang mungkin aja berguna buat lo nanti. Selain itu, ditongkrongan juga secara gak langsung lo lagi belajar ilmu sosiologi. Yep, karena disetiap tongkrongan lo pasti nemuin yang namanya interaksi, interelasi, solidaritas dan soliditas disana, dan itu semua termasuk proses sosialisasi.
Tapi lo juga harus aware milih tongkrongan, jangan sampe lo malah terjerumus di ‘zona’ yang salah dan akhirnya lo keasyikan nongkrong terus nyepelein kuliah lo. Yaa lo udah dewasa kan? So, you can carry on yourself lah.
Nah ! gimana sob? Masih betah sama ‘pandangan miring’ lo itu? Atau mungkin lo mau langsung gabung ke tongkrongan? Jangan deh ! mikir dulu lah :D

Dramaturgi

Mahasiswa yang mengambil jurusan pendidikan baik dari jurusan mana pun pasti akan merasakan namanya PPL atau praktek pembelajaran Lapangan, yang biasanya di laksanakan di tiap sekolah-sekolah  sekitar, mulai dari Play group sampai Tingkat SMA. Mahasiswa terjun langsung di sekolah guna mempraktekan ilmu pendidikan yang didapatkannya di bangku sekolah dan memperoleh pelatihan yang dilakukan oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan atau disebut guru pamong.
Mahasiswa yang terjun langsung ke lapangan diharapkan mendapatkan pembelajaran sekaligus pelatihan guna menjadi guru yang professional. Dalam pembelajaran untuk menjadi guru professional mahasiswa di haruskan mengikuti kode etik guru.
Permasalahan timbul bagi mahasiswa yang memiliki sikap yang berbanding terbalik dengan kode etik guru tersebut dan kesulitan untuk beradaptasi.  Banyak kasus yang menemukan bahwa sebagian mahasiswa harus berpura-pura menjadi guru dan dengan sekuat tenaga menekan atau tidak memperlihatkan sikap yang ditunjukan dalam pergaulan sehari-hari di sekolah.
menganalisa kasus di atas meminjam istilah dari Erving Goffman yakni dramaturgi, sebuah teori yang menggambbarkan mengenai rentetan kehidupan sosial seperti pertunjukan drama dalam pentas. Dimana individu mencoba memainkan peran yang lain yang disediakan oleh dunia sosial. Dan dramaturgi ini biasanya terjadi dalam institusi total seperti pendidikan, militer. Yang membutuhkan penghambaan tinggi terhadap institusi.
Mahasiswa yang berpura-pura untuk menjadi seorang guru tidak lebih merupakan sebuah dramaturgi dimana sekolah di jadikan sebagai panggungnya atau setting tempat untuk dijadikan tempat pementasan. Perlu di ingat dalam konsep dramaturgi terdapat dua konsep yakni front stage dan back stage. Front Stage merupakan latar depan panggung dimana actor mempresentasikan berbagai peran yang dilakukannya.  Dalam front stage terdapat setting dan front personal. Setting lebih mengarah kepada kondisi-kondisi serta pemandangan fisik yang harus ada atau telah disiapkan untuk dimainkan oleh actor tersebut. Sebagaimana yang disebutkan bahwa sekolah menjadi bagian dari front stage sebuah dramaturgi yang di lakukan oleh mahasiswa yang sedang PPL. Mahasiswa berpakaian rapi mengenakan kemeja, celana bahan dan menggunakan sepatu pantofel. Layaknya seorang guru yang berpakaian rapih dan siap mengajar di kelas. Tetapi itu hanya peran belaka bagi mahasiswa yang sedang PPL demi nilai semata. Dan mulai membiasakan diri untuk di cium tangannya dan menjaga sikap di depan para anak didik ketika di sekolah.
Lain di sekolah lain pula di luar, mahasiswa ini mulai menanggalkan atributnya dan kembali yang menjadi dirinya, yang biasanya merokok maka ia merokok, yang biasanya ga betah bajunya di masukan kedalam celana maka bajunya pun dikeluarkan dari celana dan mengganti celana bahan dengan celana jeans atau lainnya. Dalam hal ini konsep back stage bermain yakni kembalinya individu terhadap peran awalnya. Dalam back stage seseorang bebas mengekspersikan dirinya kembali tanpa khawatir atau pun ragu-ragu mengenai orang yang melihatnya. Karena dalam backstage tidak aka nada penonton yang akan melihat actor sedang melakukan apa. Penoton hanya melihat actor ketika didepan panggung tidak ada yang tahu ketika di belakang panggung actor seperti apa. Karena tidak adanya penonton ini lah yang menyebabkan back stage merupakan bagian yang aman untuk mengeksperikan kembali setelah melakukan peran yang berbeda di depan panggung. Sama seperti mahasiswa ini ketika di sekolah ia bersikap dan berperilaku selayaknya seorang guru tetapi ketika di luar ia akan menjadi dirinya kembali.
Dramaturgi meskipun kita melihatnya sebagai bagian dari sebuah kepicikan karena berpura-pura menjadi orang lain tetepi dramaturgi ini merupakan bagian dari sebuah komunikasi. Dramaturgi merupakan alat komunikasi yang berbeda dengan alat komunikasi konvensional. Dalam konvensional pemaksimalan penggunaan indera verbal dan non verbal untuk menggapai hasil akhir dari tujuan komunikasi yang dilakukannya. Sedangkan dramaturgi meliputi keseluruhan dari komunikasi dan memaksimalkannya agar memperoleh feedback dari para penonton. Lalu apa feed back dari seorang mahasiswa yang sedan melakukan dramaturgi disekolah? Feedbacknya yakni dia akan dianggap sebagai seorang guru meskipun hanya berstatus PPL,  Guru yang dihormati oleh anak didik. Yah komunikasi yang dilakukan dengan sebuah pencitraan seorang mahasiswa yang bermetamorfosa menjadi seorang guru meskipun dalam masa pelatihan untuk menjadi guru yang professional, ditambah dengan bahasa verbal dan non verbal yang dilakukannya seperti gerak- geriknya layaknya seorang guru maka tidak heran kalau feedback yang diberikan oleh penonton yang tidak lain anak didik akan menganggapnya seorang guru

Monday, January 24, 2011

PEREMPUAN DALAM JEJAK-JEJAK EKSISTENSIALISME

“One is not born, but rather becomes a woman” (Simone de Beauvoir)

1. SIAPAKAH PEREMPUAN?

Dalam banyak kajian tentang Feminisme—baik itu Feminisme Liberal, Sosialis, dan Radikal. Pembahasan mengenai kaum perempuan telah menghasilkan sejumlah tafsiran. Feminisme Liberal menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia—demikian menurut mereka—punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.

Sedangkan untuk Feminisme Sosialis, lebih menekankan atas perjuangan penghapusan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender. Seperti dicontohkan oleh seorang tokoh teori kritis, Nancy Fraser. Di Amerika Serikat, keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat masalah-masalah kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

Pada apa yang disebut dalam Feminisme Radikal. Negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda serta berasal dari teori pluralisme (keberagaman) negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksi menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentingan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memang memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cenderung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara.

Dari ketiga pandangan Feminisme diatas, secara langsung memang tidak menekankan pada pertanyaan “siapakah perempuan?” Melainkan bagian dari upaya untuk menerjemahkan perempuan dalam lingkup relasinya (keterhubungan) dengan lingkungan disekitar mereka (Negara, kebijakan-kebijakan, sistem politik-sosial-budaya-ekonomi, dan lain lain). Jarang ditemukan pengkajian ilmiah yang secara tegas berusaha untuk menjelaskan perempuan dalam konteks subjek eksistensi hidupnya. Mungkin, pendekatan melalui aliran Feminisme Eksistensialisme adalah yang cukup tepat.

2. FEMINISME EKSISTENSIALIS

Dalam tradisi feminisme, setidaknya untuk di Indonesia, eksistensialisme lebih berarti sebagai suatu kajian filosofis. Ia belum banyak dikenal sebagai gerakan baru dari feminisme. Dengan demikian, perlu kiranya kita memahami serta mengenali feminisme eksistensialis dalam kerangka kajian feminisme itu sendiri, dan ditambah dengan refleksi filosofis mengenai eksistensi manusianya.

Feminisme Eksistensialis baru menemukan wajahnya ketika tokoh feminis asal Perancis, Simone Ernestine Lucia Marie Bertnand de Beauvoir, atau yang lebih dikenal Simone de Beauvoir. Untuk pertama kali mengikutsertakan konsep “keberadaan” milik Jean-Paul Sartre, dalam mengkaji feminisme.

Menurut Sartre, terdapat tiga modus “Ada” pada manusia, yaitu Ada dalam dirinya (etre en soi), Ada bagi dirinya (etre pour soi), dan Ada untuk orang lain (etre pour les autres). Etre en soi adalah keberadaan yang penuh, sempurna, dan digunakan untuk membahas obyek-obyek yang non manusia karena tidak berkesadaran. Sedangkan etre pour soi mengacu pada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran, yang merupakan ciri khas manusia.

Konsep Sarte yang paling mendekati feminisme adalah etre pour les autres. Ini adalah kajian filosofis yang melihat relasi-relasi manusia. Seperti halnya relasi kaum perempuan dengan kaum lelaki yang banyak dijelaskan oleh teori feminisme. Laki-laki mengobyekkan perempuan. Jadi, laki-laki adalah subyek dan perempuan adalah obyek. Banyak nilai-nilai keidealan yang dianut perempuan, merupakan buah penilaian laki-laki atas perempuan. Setiap nilai mengandung subyektifitas proyeksi serta persepsi kaum lelaki, dan terkristalisasi menjadi suatu keidealan. Sebagai contoh, dalam keyakinan-keyakinan perempuan, kecantikan fisik seorang perempuan yang perlu dibangun adalah kecantikan versi laki-laki. Meliputi diantaranya, rambut panjang, kulit putih bersinar, serta tubuh yang semampai. Termasuk didalamnya mengenai gaya berpakaian kaum perempuan. Lebih dari itu, pola karakter serta sikap tingkah laku perempuan juga ikut diatur. Perempuan yang ideal dimata lelaki adalah perempuan yang tutur katanya sopan, halus, lemah lembut sikap perilakunya, dan lain-lain. Penulis melihat, semua nilai itu tak ayal mengasingkan perempuan dari konsep otentik yang bersifat subjektif tentang eksistensi/keberadaan seorang perempuan. Untuk menghindar dari keterasingan, perempuan perlu bersikap tegas dalam menerima posisi obyek. Tegas yang dimaksud disini adalah, perempuan harus memahami serta memikirkan kembali setiap nilai yang diterimanya dari kaum lelaki, dan mempertentangkannya dengan sisi subjektif yang dimiliki kaum perempuan. Inilah titik awal perempuan yang bereksistensi. Perempuan yang coba menerjemahkan perihal keberadaannya didunia ini. Tidak terkecuali mengenai relasinya dengan para lelaki.

Senada dengan Simone de Beuvoir, tentang hubungan kaum perempuan dan kaum laki-laki. Perempuan menjadi “yang lain” dimata laki-laki sebagai “diri”. Jika “yang lain” adalah ancaman bagi sang “diri”, maka perempuan adalah ancaman bagi kaum laki-laki. Karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya. Menurut Beauvoir, laki-laki dapat menguasai perempuan dengan menciptakan mitos bahwa perempuan yang dipuja laki-laki adalah perempuan yang mau mengorbankan dirinya untuk laki-laki. Menurut Margaret A. Simons, ada dua elemen dalam konsep feminisme eksistensialis Simone de Beauvoir. Pertama gender dikonstruksi secara sosial, hasil dari sosialisasi masa kanak-kanak perempuan. Beauvoir mengatakan, bahwa bukan takdir ekonomi, biologis, dan psikologis yang menentukan figur manusia, melainkan peradaban (civilization). Selama ini perempuan dikonstruksikan sedemikian rupa untuk menjadi perempuan yang diinginkan masyrakat. Sekali lagi, perempuan hanya menjadi obyek dalam berbagai aspek, dalam berbagai bentuknya.

Kedua, gender merupakan suatu proses menjadi, karena itu mengandung makna pilihan dan perubahan (choice and change). Gender adalah proses terbuka terhadap tindakan sosial dan pilihan individual. Judith Butler menyebut elemen kedua ini adalah elemen yang paling mewakili sisi eksistensialis dari feminisme Simone de Beauvoir.

Melalui penjelasan diatas, maka dapat ditarik satu garis besar bahwa, feminisme eksistensialis mengajak perempuan untuk menolak segala bentuk opresi—baik itu melalui nilai budaya, kondisi sosial, ekonomi, dan lain-lain—yang dapat mendiskriminasikan perempuan atas hak serta kebebasannya, dan bisa menghilangkan sisi keberadaan/eksistensinya sebagai manusia. Dalam konteks relasi perempuan dan laki-laki di lingkungan masyarakat seperti saat ini, hal yang perlu dilakukan perempuan adalah menghidupi sisi subyektif yang dimilikinya. Ini melihat karena kiranya hampir tidak mungkin seorang perempuan, bahkan juga laki-laki, dalam proses interaksinya menjalin relasi kepada sesama, mampu menghindar dari posisi obyek. Kita boleh saja menerima posisi itu, dengan catatan tidak mematikan sisi subyektif didalam diri kita. Karena hanya dengan menjadi suyektiflah kita dapat melakukan serangkaian aksi berkesadaran dalam memilih pilihan hidup. Hendak kemana dan bagaimana kehidupan kita berjalan, adalah pertanyaan yang hanya mampu dijawab oleh manusia yang telah matang dalam mengelola sisi subyektifnya. Begitupun dengan pertanyaan “siapakah perempuan?” Setiap perempuan, tanpa terkecuali, akan dapat memecahkan teka-teki hidupnya, jika terlebih dahulu perempuan itu menyadari bahwa, ia juga manusia yang memiliki kebebasan dalam memilih serta menentukan arah hidup. Ia bukanlah robot yang dikendalikan dari jauh, dalam jarak yang sulit terjangkau, melainkan hidupnya adalah begitu dekat dengan dirinya. Setiap saat, kapanpun dan dimanapun, ia dapat berinteraksi secara baik dengan dirinya. Hal yang juga perlu dilawan oleh perempuan adalah, segala bentuk internalisasi gagasan yang dapat membatasi, memberi jarak atau bahkan menfragmentasi perempuan dengan dirinya.

Seperti yang terpaut dalam kalimat Simone de Beauvior: “One is not born, but rather becomes a woman”. Kehidupan yang dijalani perempuan adalah serangkaian proses menjadi. Pengelamannya adalah pengalaman perempuan, sebagai subyek, yang coba mengalami serta berusaha menjadi.

Salam, ArisNya