Monday, March 24, 2008

Pergerakan Perempuan Indonesia dalam Feminis Islam

Oleh Dwi Ulandari

Mahasiswi Sosiologi Pembangunan UNJ 2005

"Sudah lama bunga Indonesia tiada mengeluarkan harumnja, semendjak sekar jang terkemudian sudah mendjadi laju. Tetapi sekarang bunga Indonesia sudah kembang kembali, kembang ditimpa tjahaya bulan persatuan Indonesia; dalam bulan jang terang benderang ini, berbaulah sugandi segala bunga2an jang harum, dan menarik hati jang tahu akan harganja bunga sebagai hiasan alam jang diturunkan" - Soekarno, 1928

Di pandang dari kodratnya, perempuan dan laki-laki pasti berbeda. Kita dapat melihat perbedan itu biasanya dengan melihat bentuk fisiknya. Namun, jika dilihat diluar fisiknya, perempuan dan laki-laki juga memiliki kesamaan. Dalam hal ini, Islam sangat menjaga kehormatan dan nilai kemanusiaan wanita serta menjelaskan akan kemandirian dirinya. Islam memberikan kebebasan yang tinggi dalam berbuat dan memiliki serta mengungkapkan pendapat, menjadikan dirinya bertanggung jawab penuh atas segala perbuatannya sebagaimana laki-laki. Islam menjadikan wanita sama persis dengan laki-laki dalam segi kemanusiaan. Maksudnya dalam segi kemanusiaan ini adalah sama haknya dengan laki-laki dalam bidang sosial, pendidikan, dan sipil.

Kesetaraan Gender

Selama ini perempuan islam hampir selalu diidentikkan dengan partiarkhisme Arab. Al-qur’an dan Hadists seringkali “dimanfaatkan” sebagai alat politik bagi kaum laki-laki untuk menguasai perempuan. Contohnya salah satu hadist yang menyatakan bahwa perempuan tak lebih sebagai bagian tulang rusuk Adam yang sangat sulit diluruskan. Dari hadist tersebut terlihat bahwa islam adalah agama yang kurang minat mengangkat kaum perempuan.

Pandangan Durkheim mengenai “Religious forces are therefore human forces, moral forces” bila dikaitkan dengan Islam, bahwa Islam merupakan sebuah bentuk teologi yang sarat dengan nilai-nilai moral dan menentang secara total segala bentuk penindasan termasuk penindasan terhadap perempuan. Feminis muslim melakukan dekonstruksi relasi gender dalam sistem sosial. Mereka mencoba membentuk teologi yang mengedepankan wacana keadilan dan egalitarianisme dalam memperjuangkan kesejahteraan hidup bagi perempuan. Dengan semangat itu, teologi feminis muslim menjadikan iman sebagai framework terhadap masalah-masalah yang muncul dari pengalaman keagamaan dan keberagaman yang cenderung diskriminatif dari sudut pandang perempuan. Perempuan-perempuan muslim takkan lelah berjuang untuk menaikan derajat perempuan yang sering tersubordinasi dari laki-laki. Lebih lanjut menurut Ali Engineer, ketidakadilan gender terjadi akibat asumsi-asumsi teologis bahwa perempuan memang diciptakan lebih rendah derajatnya dibanding laki-laki, misalnya asumsi bahwa perempuan memang tidak cocok memegang kekuasaan, perempuan tidak memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki, perempuan dibatasi kegiatannya dirumah dan didapur. Femisnis muslim hadir untuk memberikan batu loncatan untuk meraih hak-hak perempuan menuju kesetaran hak antara laki-laki dan perempuan. Kemudian Qasim Amin “Bapak Feminis Arab” menyerukan emansipasi wanita ala Barat. Untuk itu, kalo perlu, buanglah jauh-jauh doktrin-doktrin agama yang menindas dan membelenggu perempuan seperti perintah berjilbab. Saya sendiri tak sependapat dengan Qasmin Amir, karena setiap individu memiliki otoritas penuh terhadap dirinya. Ketika seorang perempuan memutuskan untuk berjilbab maupun tak berjilbab itu merupakan hak kebebasan individu.

Pergerakan Perempuan perspektif Feminis Islam

Gerakan feminisme Indonesia mempunyai empat kategori, yakni: Pertama, Periode ini berlangsung sejak akhir abad 19 dan pada awal abad 20 dimana individu-individu yang tak terinstualisasikan secara sistematik. Saat itu, mereka bergerak secara sendiri-sendiri. Mungkin karena masih terbatasnya ruang publik bagi perempuan, dan feminis sekuler seperti R. A Kartini belum bersinergi untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Tokoh-tokoh yang muncul pada periode ini seperti Rohana Kuddus Rahmah el-Yunusiyah, dll. Mereka telah mendidikan pesantren khusus perempuan (ma’had li al-banat). Di pesantren tersebut remaja puteri diajarkan baca-tulis. Tokoh-tokoh perempuan saat itu bukan hanya menuntut perbaikan pendidikan perempuan namun juga menggugat praktek poligami, pernikahan dini, dan perceraian yang sewenang-wenang. Gerakan individual yang baru dirintis ini tak bisa diharapkan punya pengaruh signifikan. Perjuangan mereka masih dibatasi, yah seperti berteriak di tengah belantara dunia patriakhi.

Kedua, Periode yang berlangsung antara akhir 1920-an hingga akhir 1950-an mulai terinstitualisasi individu dalam sebuah gerakan dengan munculnya organisasi-organisasi perempuan seperti Persaudaraan Isteri, Wanita Sejati, Persatuan Ibu, Puteri Indonesia, Aisyi’ah Muhammadiyah dan Muslimat NU. Lahirnya organisasi perempuan baik Muslim maupun sekuler merupakan sebuah jalan menuju keadilan bagi perempuan-perempuan Indonesia, yang saat itu sangat tersubordinasi. Organisasi perempuan Aisyi’ah Muhammadiyah cukup gencar menyuarakan pentingnya perempuan mengambil bagian di ruang publik, karena mereka punya hak yang setara dengan laki-laki untuk meningkatkan kualitas diri.

Setelah diadakan Kongres Ibu yang pertama kali 22 Desember 1928, banyak organisasi perempuan yang lahir diantaranya Kongres Perempuan Indonesia yang berdiri pada tahun 1935. Dalam kiprah politik, tokoh-tokoh feminis ini mengambil jalan tengah, yakni mengenai isu-isu perempuan dengan nasionalisme. Kelompok ini berusaha menjaga keharmonian antara kelompok yang berbasis agama dan yang sekuler. Muslimat NU yang dikenal tradisional, dalam konferensi di Surabaya (1930-an) mulai mendesak agar perempuan dibolehkan memasuki lembaga-lembaga politik. Upaya yang dilakukan oleh Muslimat NU cukup mengemparkan, pasalnya untuk pertama kalinya upaya perempuan untuk masuk dalam lembaga politik, dimana ruang publik politik bagi perempuan masih sangat sempit. Satu langkah pembaharuan dimana gerakan desakan Muslimat NU pada konferensi besar Syuriah NU (1957) di Solo yang membolehkan perempuan menjadi anggota parlemen. Seperti Mariah Ulfa Subadio yang menjadi Menteri perempuan Indoensia pertama.

Sesudah Jepang menyerah, wanita muslimat dari Masyumi bersama-sama feminis sekuler dan feminis agama lain bersinergi memperjuangkan hak-hak perempuan. Misi ini juga untuk meraih kemerdekaan Indonesia, dimana Soekarno saat itu berorientasi pada kemerdekaan. Saat itu, Soekarno menyatakan bahwa urusan negara lebih penting dibandingkan urusan kesetaraan hak perempuan dengan laki-laki. Baginya, perjuangan perempuan yang lebih penting adalah penghancuran kapitalisme. Beliau menekankan bahwa “kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tidak tjukup. Ada kebutuhan jang lebih besar lagi jaitu penghancuran sistem kapitalis”. (Doran, 1987:104) Ketiga, Sejak 1960-an hingga 1980-an, ruang bagi emansipasi perempuan dalam pembangunan nasional. Perempuan mulai terlibat dalam proses pembangunan yang digalakkan oleh Orde Baru. NU mulai memasukkan perempuan dalam komposisi syuri’ah NU seperti Nyai Fatimah, Nyai Mahmudah Mawardi, Nyai Khoryah Hasyim. Dalam periode ini, gerakkan perempuan belum maksimal karena cenderung tidak proaktif dalam proses-proses tersebut. Hal ini diindikasikan disebabkan minimnya jumlah perempuan yang terlibat. Namun, pada periode ini telah lahir UU No.1 tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan. Dalam UU tersebut poligami makin dibatasi, laki-laki tidak bisa mempraktekkan poligami tanpa mendapat izin dari istri. UU tersebut telah memberikan perlindungan terhadap perempuan terhadap poligami. Selain itu, lahirnya UU Perkawinan merupakan perjuangan keras dari feminis sekuler dan minoritas feminis muslim yang menginginkan dilarangnya poligami. Diskursus mengenai pentingnya pembahasan poligami ini setelah berlangsungnya perkawinan Soekarno dengan Hartini, sehingga perlu UU yang melarang praktek poligami. Namun, reformasi untuk dicetuskannya UU Perkawinan lambat karena pembahasan RUU tersebut berlangsung kontradiktif, yang mana kalangan Muslim mengijinkan permaduan bagi suami-istri Muslim, tetapi kitab Undang-undang Perkawinan Sipil mendasarkan diri pada aspek monogami.

Perjalanan perjuangan undang-undang perkawinan yang dibahas dari tahun 1958 masih panjang karena ditentang Kementerian Agama. Perempuan Indonesia harus menunggu sampai tahun 1973 untuk mendapatkan undang-undang perkawinan baru yang melarang poligami.

Keempat, Periode ini berlangsung antara periode 1990-an hingga sekarang, dimana semakin meluasnya diversifikasi gerakkan perempuan hingga ke level bawah seperti, pesantren, pengajian muslimah. Pada era ini terjadi sinergi antara feminis sekuler dan feminis islam. Feminis sekuler seperti Gadis Arivia, Saparinah Sadli, Warda Hafizh dan Yanti Muchtar yang memiliki hambatan teologis dalam gerakkan, mendapat masukkan moral keagamaan dari para feminis muslim. Begitu juga sebaliknya, para feminis muslim juga mendapat pengayaan wacana dari tokoh-tokoh feminis sekuler. Mereka saling bersinergi dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Para feminis Muslim yang fenomenal dalam gelombang ini, antara lain Sinta Nuriyah Wahid, Lies Marcoes-Natsir, Farha Cicik, Siti Musdah Mulia, Maria Ulfa Anshar, dan Ruhainy Dzuhayatin. Pada gelombang terakhir ini, pergerakan perempuan tak lagi sepenuhnya diurus perempuan, namun juga didukung oleh feminis laki-laki seperti (alm.) Mansoer Fakih, Nasaruddin Umar, Budhy Munawar-Rachman, dan KH Husein Muhammad. Kehadiran mereka ikut menambah amunisi bagi kokohnya gerakan perempuan di Indonesia.

Selain itu, gerakan sekelompok feminis muslim yang merumuskan Counter Legal Draft terhadap kompilasi hukum islam hasil dari produk inpres No.1 tahun 1991. Bagi mereka KHI masih mengidap cara pandang dan filosofis patriarkis. Karena itu perlu revisi agar selaras dengan semangat islam yang menuntut keadilan dan kesetaraan gender. Pergerakan feminis muslim telah diakui femenis sekuler, seperti Organisasi besar muslim di Spanyol, komisi islam mengakui perjuangan feminis muslim, yang diakui dalam konferensi pertama internasional tentang feminis Islam. Mansur Escudero, sekertaris komisi Islam Spanyol mengatakan pemeluk Islam harus menghentikan kritikan terhadap gerakan feminisme sebagai gerakan untuk perempuan Barat. Selain itu, para delegasi mekankankan umat muslim tidak boleh mencampuradukkan hukum yang mendiskriminasikan perempuan dengan Islam yang sebenarnya. Konferensi tersebut merupakan sebuah pijakan baru yang akan membawa perempuan ke arah yang lebih baik. Selama ini, menurut pandangan saya masih banyak perempuan muslim yang menganggap feminisme sebagai pergerakan buah kapitalisme barat yang akan melunturkan kultural islamiah atau melanggar aturan-aturan dalam islam, padahal seharusnya diperlukan sinergi tokoh-tokoh feminisme untuk menghapus segala bentuk penindasaan perempuan, terutama membangun partisipasi perempuan dalam pembangunan. Yang terakhir, saya yakin bahwa feminis islam tahu letak batas-batas pergerakan yang dilakukan untuk kemajuan tanpa menghilangkan maupun melanggar aturan agama islam.

Masyarakat dan negara akan lebih sehat, bilamana perempuan dibawa serta

No comments: