Thursday, October 28, 2010

Senioritas, Perlu Gak Sih?

SENIORITAS,

PERLU GAK SIH?:

Tela’ah kritis Mengenai Sisi Relasi, Norma, Dan Perilaku Senioritas[1]

Oleh:

Johan Nurul Imani[2]

Abstrak

Tulisan ini bertujuan mengkaji sebuah fenomena senioritas sebagai budaya yang tampaknya juga menjadi gejala umum ditengah masyarakat kita. Siapa yang tidak pernah mendapati pengalaman yang satu ini?setidaknya, sejak kita mulai menjejaki diri sebagai siswa didik dibangku SMP atau yang setara dengan itu pasti pernah mengalami situasi yang dinamakan “senioritas”. Pun jika kita belum mengalaminya, sejelek-jeleknya kita bisa tahu situasi tersebut dari teman sepermainan kita di lingkungan sekolah yang menjadi”korban” atau “pelaku” fenomena senioritas. Pun jika tidak juga mengalaminya, kita sudah pernah mengalaminya di lingkup teman seperemainan di lingkungan rumah tempat tinggal kita. Dan karena senioritas jua, kita mengenal siapa dan apa itu “junior”. Senioritas yang kita kenal hingga saat ini adalah seraut wajah penuh”horor” yang terus menciptakan rasa tertekan bagi langganannya, yaitu junior-junior yang pernah punya mimpi buruk dengan fenomena ini. Mungkin juga termasuk anda. Sesungguhnya, apakah itu senioritas?perlukah senioritas dikembangkan sementara fenomena tersebut dikenal sebagai momok tidak bagus?bagaimana senioritas bisa terbentuk dan cenderung “terpelihara”?sebuah “pepesan kosong”kah, atau memang ternyata memiliki andil yang belum tersingkap terhadap”nilai-nilai” positif ditengah masyarakat kita?

Toro(bukan nama sebenarnya) terbangun pagi-pagi tanpa alarm. Ia sedang berjalan di pinggir trotoar menuju kampus barunya. Mukanya tampak tegang, dan basah karena keringat padahal udara pagi tidak menyengat panas, justeru sejuk cenderung dingin. Pikirannya melayang-layang, hampir tidak konsentrasi, katakanlah bingung. Langkah kakinya sengaja ia perlambat, seakan-akan ada beban perasaan berat yang menggelayuti benaknya untuk segera sampai di tempat tujuannya. Gedung dan pintu gerbang kampus barunya sudah nampak dari jauh. Matanya memicing sedikit. Pemandangan jelas didepan matanya memberi tekanan cukup kuat kepada dirinya. Dadanya sesak, ritme langkah kakinya berantakan, di dahinya mengucur keringat dingin, kadang-kadang ia merasakan sensasi merinding karena berdiri bulu kuduknya, perutnya mules tiba-tiba, raut wajahnya semakin tegang saat itu. Sesaat dalam kondisi seperti itu membuatnya tidak sadar ia tidak “sendirian”. Satu, dua, tiga orang bahkan lebih, datang dari berbagai penjuru arah mulai bergabung berjalan searah dengan Toro. Mereka tidak saling kenal, setidaknya belum hingga saat nanti. Dari jauh, terdengar teriakan-teriakan dari orang yang memberi sinyal lambaian tangan kepada mereka. Toro dan teman-teman yang belum dikenalnya itu segera sadar bahwa teriakan-teriakan itu tertuju padanya. Tanpa mengetahui apa yang diteriaki, Toro dan teman-teman yang belum dikenalnya itu serentak tanpa aba-aba berlari-lari kecil menuju orang berteriak. Semakin dekat teriakan itu semakin jelas terdengar, “Ayooo,buruannn. Jangan lelet!!”. Teriak orang itu dengan nada tinggi, jelas, namun sedikit memaki. Wajah Toro memucat, keringat dingin yang mengalir deras didahinya kering, kini digantikan dengan kerongkongan yang kering, tercekat dan ingin minum air rasanya. Ia sadar, yang diteriaki oleh orang itu adalah dirinya. “Heh, apa yang diliat!?, cepetan masuk..!”, bentaknya. Toro kemudian paham kemana arah yang ditunjuk oleh orang itu. Arah tangannya menuju sebuah gerbang pintu dengan sebuah patung monumen yang baru terlihat setengahnya. Waktu terasa melambat bagi Toro. Entah, ia baru mulai merasakan sensasi luar biasa disekitar perutnya, bukan sakit perut, mual tapi tidak ada yang bisa dimuntahkan. Sensasi itu menjalar ke dada, kemudian tenggorokannya. Membuatnya hanya bisa menelan ludah dengan maksud bisa menghilangkan sensasi tidak mengenakkan itu. Ya, Toro sepertinya mengalami gejala depresi ringan. Belum selesai ia menikmati gejala-gejala depresinya, si orang yang berteriak kepadanya semakin memberinya tekanan,”sana, baris!,cepetaaan..lelet banget sih lu!nenek gw ja kagak lelet kayak lu!”. Senyum setan si senior pun terlihat jelas dihadapannya, menyeringai lebar. Pintu gerbang dan patung monumen sudah tampak jelas didepannya. Dibawahnya, sekitar 40 orang atau lebih, mungkin mencapai angka 80 sudah sibuk dengan berbagai macam bentuk aktifitas. Ada yang berbaris, joged-joged tanpa alasan yang jelas, terdiam memojok dipinggir kawan-kawan lainnya entah sedang apa, ada juga yang sedang menjalani hukuman fisik, satu atau dua anak ia lihat sungguh sedang kerepotan melayani ocehan lima orang seniornya sekaligus. Karena sibuk kebingungan dengan pemandangan yang ia lihat, Toro tidak sadar ada kakak senior menghampirinya, menggapai lengannya dan menggiringnya. Sepertinya, ia digiring menuju hadapan kedapan semua orang yang ia lihat. Tanpa bisa menolak, dalam hatinya berbicara, “aku ingin pulang...pulang”. tapi tidak bisa. Saat ia berhenti digiring, sudah ada sejumlah pasang mata mengamati dirinya. Tidak dikomando, namun satu-satu dari mereka yang tadinya sedang sibuk dengan ini dan itu mulai memperhatikan dirinya. “Nih,contoh gak bagus buat lo semua, dateng orientasi aja telat!”, kata senior yang disampingnya. Wajah-wajah beringas senior mulai menggelayuti pikirannya, ia ketakutan. Senior-senior yang tadinya cuma ada satu yang disampingnya, mulai mendatangi dirinya. Satu, dua, tiga, empat...dan lima. Masih terus bertambah. Semakin banyak hingga hampir semua. “Kok telat sendiri??”, tanya seniornya. “....”, Toro mendadak gagap. “Ditanya tuh jawabbbb!”. Bentak seniornya yang lain, kali ini didepan muka tepat. Kaki Toro seperti kehilangan tenaga. Tangannya gemetar kecil. Pikirannya melayang kemana-mana. Ia merasa seperti domba terjebak di kerumunan serigala yang siap dimangsa hidup-hidup kapan saja. “pulang,,pingin pulang”, dalam hatinya lirih. Satu senior dengan ekspresi paling garang meraih lengan kanannya dengan kuat sembari mengatakan,”HHHEEKH!!”. Toro jatuh pingsan seketika itu juga. Ia terkapar lunglai, namun masih setengah sadar. Lemas. Sangat lemah. Dalam sadarnya yang setengah itu. Alam bawah sadarnya bermain, wajah-wajah senior yang sesungguhnya saat itu kebingungan perlahan berubah menjadi manusia-manusia kanibal, primitif, jorok dan bau. Disekitar mulutnya ada noda entah bekas darah atau noda apa. Wajah-wajah itu tersenyum, matanya melotot tajam kepadanya, dan tertawa. Toro sungguh pasrah, sungguh malang. Selamat datang Junior!. =)

Cerpen diatas adalah deskripsi dari tema diskusi yang akan dibahas. Deskripsi cerpen tersebut diangkat dari berbagai gambaran-gambaran kisah perpeloncoan atas nama senioritas yang umumnya terjadi di institusi pendidikan kita. Sejak SMP, ke SMA hingga jenjang sekolah tinggi(universitas) fenomena itu kerap ditemui.

Senioritas adalah gejala sosial yang ada di masyarakat kita. Setiap individu sosial yang ada di masyarakat, terbilang hampir semuanya pernah mengalami masa-masa “indah” ini. Fenomena ini biasanya terjadi selama jenjang pendidikan seseorang. Subur mengakar di lingkungan pendidikan kita. Memberi warna menarik pada wajah dunia pendidikan kita.

Data setidaknya menunjukkan, bahwa kecendrungan kasus perpeloncoan atas dasar senioritas itu terjadi dilingkungan sekolah, dengan pelaku dan korban siswa-siswinya sendiri. Media cetak dan media elektronik hingga media on-line memiliki banyak contoh kasus yang kerap terjadi ini.

Apa itu senioritas?merujuk pada situasi dan penjelasan apakah senioritas itu?. Penulis sendiri belum pernah menemui definisi yang spesifik mengenai senioritas ini. Namun, kita semua bisa-entah dengan cara yang bagaimana-memiliki gambaran yang satu visi terhadap gejala sosial satu ini. Kemungkinan besar, karena kita masih dalam satu lingkungan “bermain” yang sama, kurang lebih seperti bagimana kita membangun sebuah persepsi yang tercipta melalui proses sosialisasi oleh teman sepermainan[3].

Senioritas juga bisa dikatakan sebagai sebuah fenomena “absurd” dengan tolak ukuran yang bias, bahkan ngawur[4]. Jika kita angkat fenomena ini dari berbagai peristiwa yang umumnya terjadi disekitar kita, fenomena senioritas adalah situasi dimana terjadi pemisahan kelompok secara sosial berdasarkan umur dalam lingkup jenjang pendidikan. Yang lebih tua secara umur, mendapat labelisasi secara otomatis sebagai “senior”. Yang jauh lebih muda, adalah “junior”. Inilah pola dasar dari situasi senioritas.

Pola dasar ini kemudian semakin mengikat dan membentuk sebuah relasi sosial yang unik. Relasi ini mengikat kepada siapapun yang terkelompok secara sosial atas asumsi labelisasi tadi. Sebutlah relasi Sen-Ju, atau relasi senior-junior. Relasi ini mulai mengikat dan terbentuk pada saat ada pelembagaan struktur. Pelembagaan struktur ini adalah proses struktural dari institusi pendidikan dimana individu-individu yang terkelompok ini berada. Ya, tepat. Yang penulis maksud adalah pelembagaan relasi senioritas melalui mekanisme dan program penerimaan siswa didik disetiap tahun ajar baru. Inilah gerbang awal dari fenomena senioritas yang ada disekitar kita.

Relasi senior-junior tadi yang-entah sejak kapan menjadi ukuran-berdasar umur dan bukan merupakan suatu faktor yang deteminan, berasimilasi dengan kekuatan struktural dari sebuah institusi pendidikan yag kemudian “melembagakan” relasi tersebut. Relasi ini menjadi bagian dari struktur institusi tersebut. Aktor-aktor dari relasi ini kemudian bergerak atas nama struktur yang melegalisasinya. Inilah yang disebut Giddens sebagai dwi rangkap dalam gagasan agen dan strukturnya[5]. Relasi yang tadinya memiliki modal dasar yang lemah(kelompok berdasar umur) kini menjadi lebih kuat dibanding sebelumnya karena proses pelembagaan relasi melalui penerimaan struktural dari institusi sosial.

Pemahaman mengenai proses relasi sen-ju yang terstruktur melalui proses pelembagaan seperti diatas, juga bisa dipahami secara lebih mendalam dengan keterkaitan dan pengaruh norma sosial sebagai pisau bedahnya. Norma sosial sangat berperan penting dan memiliki pengaruh jauh kedalam masyarakat kita. Norma ini yang membentuk perilaku sosial. Bagaimana jika relasi sen-ju ini sudah terkontaminasi oleh sistem nilai dan norma melalui pelembagaan struktural oleh institusu pada penjelasan sebelumnya?. Yang terjadi adalah, kemunculan norma baru ditengah masyarakat kita yang disebut dengan senioritas. Senioritas menjadi sebuah nilai yang abstrak namun konkret secara fenomena. Senioritas sebagai norma sosial yang berlaku dimasyarakat akan menitis menjadi sebuah perilaku yang secara sosiologis disebut kita sebut sebagai folksway[6]. Perilaku yang menjelma menjadi kebiasaan. Keberuntungan “memihak” fenomena senioritas ini. Menurut Maclver dan Page, kebiasaan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat[7]. Kebiasaan menghormati yang lebih tua-salah satu substansi senioritas-merupakan kebiasaan masyarakat kita, dimana masyarakat kita bisa memberi sanksi sosial kepada setiap bentuk penyimpangan terhadap kebiasaan tersebut. Inilah salah satu gejala sosiologis yang tidak banyak dibahas dan dikaji pada saat kasus-kasus perpeloncoan yang penuh dengan dugaan kekerasan hingga sempat memakan korban jiwa[8].

STOP!!!.

Mari kita alihkan sejenak dari perasaan dan gambaran yang tidak enak perihal senioritas seperti pembahasan diatas. Mari kita berpikir lebih terbuka dan melandasi pikiran itu dengan harapan-harapan bahwa kita mampu merubah momok”horor” senioritas tersebut dengan pembahasan yang tidak kalah sosiologis. Masih banyak ruang gagasan yang jauh lebih sportif membahas fenomena yang satu ini dengan gagasan yang lebih modern.

Mari kita sedikit adopsi gagasan sosiologi modern Perancis yang dikenal dengan konsep habitusnya dan melihat bagaimana menciptakan solusi yang terbaik membahas fenomena senioritas ini dengan konsep reproduksi kulturnya sehingga kita bisa menarik sebuah kesimpulan besar yang bisa diterapkan sesegera mungkin dan dapat merasakan manisnya teori-teori sosiologi modern hingga lidah kita pun dapat mengecap sensasi manisnya. Pierre Bourdieu, menjelaskan bahwa”..the habitus is a set of disposition which incline agents to ACT and REACT in CERTAIN WAYS..”[9]. Agen/aktor/individu dalam konteks senioritas bertindak dan bereaksi dalam cara-cara tertentu. Statement tersebut jelas cukup bertanggung jawab, bukan karena ada sumbernya, melainkan secara common sense kita bisa mengiyakan gagasannya seketika jika kita sudah mengerti pembahasan mengenai fenomena senioritas sebelumnya yang mengkaji secara alur konsep senioritas dari mulai terciptanya relasi sen-ju, tersturkturnya norma senioritas karena ada pelembagaan institusi, hingga terbentuknya perilaku senioritas ditengah masyarakat kita.

Sekarang, gunakanlah imaji dari pembahasan tersebut sebagai sebuah habitus dari fenomena sosial yang sedang kita bahas. Setting social dimana institusi pendidikan sebagai latar terjadinya fenomena ini adalah habitus persoalan senioritas. Budaya senioritas ini secara sosiologis masih bisa menjadi kajian menarik, apalagi jika ada SDM-SDM unggul yang mau menceburkan dirinya dalam kerangka action research dengan tujuan mengubah “kesalah-pahaman” senioritas dimasyarakat kita.

Sebagai sebuah perilaku yang sudah membudaya dan mengakar, senioritas dengan konteks buruk perpeloncoan semestinya bisa diubah dari “dalam”. Sebelumnya, ada konsepsi dari P.Bourdieu yang haris dipahami lebih dahalu sebelum terjun, dan praksis kelapangan. Konsep reproduksi kultur dari P.Bourdieu penulis rasa sangat relevan dan efektif men-dekonstruksi gagasan senioritas dan me-rekonstruksinya kembali.

Habitus adalah satu kata bahasa latin yang mengacu pada kondisi, penampakan, atau situasi yang tipikal atau habitual, khususnya pada tubuh[10]. Sedangkan sumber karya Bordieu yang lain juga menyebutkan bahwa, Habitus adalah serangkaian kecendrungan yang mendorong aktor untuk beraksi dan bereaksi dengan cara-cara tertentu. Kecendrungan-kecendrungan inilah yang melahirkan praktik-praktik, persepsi-persepsi, dan perilaku tetap, teratur, yang kemudian menjadi “kebiasaan” yang tidak lagi dipertanyakan aturan-aturan yang melatarbelakanginya[11]. Banyak penafsiran yang menyebutkan bahwa, habitus adalah “gaya” lain dari sosiologi modern perihal agen-struktur yang olehnya dikenal juga tokoh-tokoh kenamaan seperti Anthony Giddens dan Margaret Archer[12]. Namun, Bordieu tetap memberi sentuhan yang berbeda.

Menurut pemahaman habitus, aktor dibekali serangkaian skema dan pola yang diinternalisasikan yang digunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial[13]. Namun, apa yang ada dalam habitus, apapun yang tercipta di dalamnya, tidak ada begitu saja melainkan muncul melalui sebuah proses “penanaman” yang disebut Inculquees-Terstruktur(Structurees)-berlangsung lama (Durables)-dapat tumbuh kembang (Generatives)-dan dapat diwariskan/dipindahkan (Transposable)[14]. Senioritas adalah fenomena sosial yang dilengkapi substansi-substansi”khas” berisikan gejala sosial menarik berupa terciptanya relasi sen-ju dari proses pelembagaan struktural norma yang secara paten menjadi perilaku kebiasaan dimasyarakat kita. Senioritas membudaya. Lantas bagaimana jika kita dekonstrksi gagasan senioritas itu kembali dengan pemahaman konsepsi reproduksi kultur diatas?.

Senioritas yang tadi momok”mengerikan” bisa menjadi daya tarik wisata ilmu sosial dan kajian-kajian sejenis jika kita mampu merubahnya secara radikal. Reproduksi kultur senioritas yang baru, fresh, edukatif, ditambah dengan segala macam nilai-nilai positif pada momen penerimaan siswa didik setiap tahun ajaran baru akan mengubah wajah dan konsepsi senioritas untuk selamanya. Internalisasi nilai-nilai posistif atau yang P.Boudieu sebut sebagai proses “penanaman”( Inculquees) tentu bisa dilakukan dengan proses yang kurang lebih sama dengan proses terciptanya relasi sen-ju yang kokoh melalui pelembagaan struktural menjadi norma-norma oleh institusi pendidikan kita. Reproduksi nilai-nilai kultur melalui senior yang terstruktur(structurees)dan positif akan menciptakan tata nilai dan perilaku yang dominan dengan energi positif kepada juniornya. Reproduksi ini bukan setahun atau dua tahun, melainkan terus dijaga dan diawasi agar tidak keropos di tengah jalan. Ini yang dimaksud P.Bourdieu dengan Durables. Mengembangkan nilai-nilai posistif yang ada selama proses penanaman dari pola reproduksi kultur ini juga patut ditumbuh-kembangkan/ Generatives. Kalau perlu dengan melibatkan unsur-unsur lain yang ridak kontra-produktif. Sehingga setelah proses ini sudah “mapan”, reproduksi nilai-nilai senioritas yang positif menjadi sebuah budaya baik yang bisa diwariskan/dipindahkan (Transposable).

Sebuah pemikiran terakhir ingin penulis angkat pada kesempatan ini. Penulis ingin menyampaikan bahwa, kita juga memiliki tanggung jawab secara moral dan sosial terhadap fenomena senioritas ini. Senioritas diperlukan, senioritas dibutuhkan. Itu inti dari tukisan ini. Hanya saja, harus paham betul dan harus bisa bijaksana. Dalam artian, senioritas seperti apa yang mau ditampilkan. Untuk itu, perlu berpikir matang-matang dan mendalam. Tidak semuanya bisa diturunkan kepada junior. Maka dari itu, harus bijak dan berani memilah. Mana yang konstruktif, mana yang destruktif. Mana yang positif, mana yang negatif. Mana yang benar, mana yang salah. Sehingga, dengan begitu, yang tersisa hanya ada cinta dan kasih sayang penuh kedamainan, kebersamaan, kebahagiaan antara Senior dan junior dalam kerangka sosial senioritas.

-Joe Drumz4ever-


[1] Tulisan ilmiah ini dibuat dengan memenuhi undangan sebagai pembicara dalam rangka diskusi ilmiah dengan kelompok Diskusi Kamis Sore(DKS). Kata kunci :senioritas, relasi sosial, norma, dan perilaku.

[2] Mahasiswa aktif jurusan Sosiologi, Prodi Sosiologi Pembangunan semester 10. Sedang dalam proses menyelesaikan skripsinya yang berjudul “Fenomena Reproduksi Kultur Organisasi: Studi Kasus UKM UNJ”.

[3] Kembali mengingatkan kita pada kajian sosiologis mengenai agen sosialiasi.

[4] Fenomena senioritas akan terlihat berbeda jika ditelisik lebih detail dan mendalam di tempat lain dengan seting sosial yang juga beragam.

[5] Lihat George Ritzer dan Douglas J.Goodman. TEORI SOSIOLOGI MODERN. Kencana. Jakarta.2007.hlm 508

[6] Lihat Soekanto, Soerjono. SOSIOLOGI:Suatu pengantar. Raja grafindo. Jakarta.1982, hlm 174

[7] R.M. Mc Iver dan Charles H.Page, Society, an Introductory Analysis, (New York: Rinehart and Company, Inc.,1967) hlm.19

[8] Kasus-kasus ISPDN dll, dimana perpeloncoan merupakan budaya dengan tekanan luar biasa dari relasi sen-ju yang jauh dari takaran normal.

[9] Boudieu, Pierre. LANGUAGE AND SYMBOLIC POWER. Harvard university Press.Cambridge massachussets. 1991. Page 12

[10] Jenkins, Richard.MEMBACA PIKIRAN PIERRE BORDIEU.Kreasi Wacana. Yogyakarta.2004.hal 107

[11] Rusdiati, Suma Riella. BAHASA, KAPITAL SIMBOLIK, dan PERTARUNGAN KEKUASAAN. Hal 42

[12] George Ritzer dan Douglas J.Goodman. TEORI SOSIOLOGI MODERN. Kencana. Jakarta.2007.hal 102

[13] Ibid. hal 522

[14] Opcit. Hal 43

Friday, November 6, 2009

Tas Mendukung KPK

Petisi Tim Aksi Sosiologi mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi

(TAS mendukung KPK)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibuat atas pertimbangan ketidakmampuan polisi untuk menangkap koruptor, yang disebabkan institusi kepolisian juga telah dijangkiti virus koruptasi kasus korupsi. Dengan begitu KPK sebenarnya bersifat Ad-Hoc sampai polisi bebas dari korupsi dan pada akhirnya bisa menangani semua kasus dengan bersih tanpa memihak. Tapi hingga saat ini institusi kepolisian belum bersih dari korupsi sehingga kehadiran KPK masih dibutuhkan publik.

Pemberantasan korupsi kini nampak hanya sebagai permainan kekuasaan belaka. Penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah oleh pihak kepolisian sesaat setelah beredarnya transkrip rekaman berisi persekongkolan kotor yang melibatkan aparat penegak hukum telah mencerminkan praktek penggunaan kekuasaan secara semena-mena. Penangguhan penahanan keduanya sama sekali tidak terlihat sebagai i'tikad baik penyelamatan KPK, tapi terlebih hanya sebagai peredam perhatian publik.

Menyikapi perkembangan terakhir konflik tersebut, maka Tim Aksi Sosiologi mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi menyerukan pandangan dan sikap kami;

  1. Anggodo dengan jelas di duga terlibat dalam rekaman upaya kriminalisasi KPK. Pembebasan Anggodo menimbulkan potensi Anggodo untuk kabur keluar negeri, terlebih dengan terdapatnya koneksi Anggodo yang menjabat di Polri. Maka Anggodo harus ditangkap guna menghindari kemungkinan tersebut.
  2. Kapolri dengan jelas memberi kesempatan pada Anggodo untuk kabur, maupun merekayasa bukti-bukti yang ada dengan melepaskannya. Selain itu Kapolri juga tidak mengambil langkah tegas untuk menonaktifkan Kabareskrim yang diduga terlibat dalam rekaman kriminalisasi KPK. Dengan begitu Komjen pol Bambang Hendarso Danuri selaku Kapolri harus segera di non aktifkan.
  3. Kabareskrim saat ini telah non aktif, namun bukan atas dasar keputusan Kapolri melainkan melalui pengunduran diri oleh Kabareskrim sendiri. Dengan begitu demi kejernihan informasi mengenai indikasi keterlibatan kabareskrim dalam rekaman tersebut pada masyarakat, maka Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji juga harus segera di non aktifkan meskipun telah mengundurkan diri.
  4. Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga dan mantan Jaksa Agung Muda intelejen Wisnu Subroto juga terlibat dalam rekaman yang diduga sebagai rekayasa kasus pimpinan KPK. Keterlibatan Wajagung diduga juga tidak terlepas dari keterlibatan ataupun kelalaian Jaksa Agung Hendarman Supanji. Dengan begitu Jaksa Agung sekaligus juga Wakilnya harus segera di non aktifkan.
  5. Partisipasi aktif masyarakat luas dalam menyoroti perjalanan pemberantasan korupsi juga sangat dibutuhkan, karena atraksi kekuasaan saat ini mengutamakan pencitraan. Dengan begitu kami menghimbau seluruh elemen masyarakat untuk secara aktif terus mengawasi perkembangan pemberantasan korupsi.

Kelima pandangan tersebut kami sampaikan atas agenda besar bangsa Indonesia saat ini, yaitu untuk membersihkan kepolisian dan kejaksaan dari segala macam bentuk korupsi. Juga dalam upaya reformasi polri dan kejaksaan demi menyediakan jaminan keadilan bagi masyarakat.

Jakarta, 5 November 2009

TAS mendukung KPK

  • Tim Aksi Sosiologi
  • Diskusi Kamis Sore
  • Keluarga Mahasiswa Sosiologi
  • Sosio bikers

Monday, May 4, 2009

PERINGATAN MAY DAY : ANTARA PERJUANGAN KELAS DAN DOKTRINASI IDEOLOGI

"Mereka dirampas haknya

tergusur dan lapar

Bunda, relakan darah juang kami

tuk membebaskan rakyat"

Berberapa petikan syair dari lagu Darah Juang tersebut selalu terdengar pada peringatan Mayday di Indonesia. Sebuah lagu yang mengungkapkan penderitaan dari para buruh bukan hanya di indonesia tapi seluruh dunia pada umumnya.Sebuah kondisi dimana buruh tersebut dalam keadaan yang sulit, terjepit, dan mengalami ketidakadilan. Bentuk ketidakadilan yang dialami mengakibatkan kehidupan buruh yang semakin tertindas yang mengarah kepada suatu kondisi kemiskinan dan Penderitaan.

May Day mejadi sebuah simbol perjuangan kelas, adalah bukti kesadaran kelas pekerja yang hadir sejak diawalinya industrialisasi di dalam masyarakat. Masyarakat terubah menjadi pabrik dengan mesin-mesin bising beserta divisi-divisi kerja, yang memisah-misahkan aktifitas dan kesadaran mereka sebagai kelas yang tersubordinat. Transformasi ini mendefinisika bentuk dari kesadaran kelas yang terjadi pada waktu itu. Apabila May Day lahir dari radikalisasi kesadaran kelas pekerja di era industri, bagaimana menempatkannya dengan kesadaran kelas di era pascaindustri, di mana kelas itu sendiri telah semakin kabur?

Setelah Perang Dunia II, banyak pemikir Marxis, terutama kalangan Mazhab Frankfurt, tidak lagi melihat romantisisme perjuangan kelas era industri sebagai sesuatu yang relevan bagi sistem yang mereka namai sebagai 'kapitalisme lanjut'. Mereka melihat perkembangan kapitalisme industrial menuju pascaindustrial melahirkan bentuk-bentuk lebih maju, kompleks, yang dapat mengintegrasikan setiap level aktifitas sosio-kultural masyarakat.Perkembangan ini bisa dilihat dari tumbuh pesatnya pabrik-pabrik pendidikan dan budaya teknokratik serta munculnya ideologi kekuasaan baru: kapitalisme birokratik. Kapitalisme lanjut, menurut mereka, telah berhasil merasionalisasi keterasingan masyarakat menjadi sesuatu yang normal.

Peran-peran ini terutama dilakukan oleh kemajuan teknologi dan industr pendidikan—yang mencapai kulminasinya setelah Perang Dunia II—dengan menyuntikkan ideologi borjuis kepada pelajar, yang nantinya menjadi produk-produk intelektual kompeten bagi kepentingan kapitalisme. Proletariat pascaindustri tidak lagi terwujud sebagai kelas-kelas, dalam pengertian konsepsi Marxis mengenai konflik yang tak terdamaikan di antara kelas pekerja dan kelas pemodal. Kontradiksi kelas semacam ini, bagaimanapun, telah menguap. Di negara-negara komunis kelas pekerja menjadi bagian birokrasi negara dan menjadi hamba bagi ideologi kekuasaan tersebut. Sementara kelas pekerja di negara-negara kapitalisme Barat terintegrasilebih jauh ke dalam budaya konsumtif. Kelas-kelas di dalam masyarakat sekarang, tidak lagi seperti kelas dalam bayangan Marx. Akan tetapi, sudah semakin terintegrasi dan melebur menjadi bagian inheren sistem kapitalistik.

Meskipun begitu, para filsuf ini sama sekali tidak menawarkan sebuah praktik konkrit untuk menyikapi sistem kapitalistik yang sudah sedemikian menyeluruh. Pada sisi lain, Mazhab Frankfurt, tetap memberi kontribusi penting fondasi teori-praksis ilmiah bagi gerakan-gerakan yang lahir dari setiap keretakkan kapitalisme lanjut. Gerakan-gerakan yang lahir dari Mazhab Frankfurt sangat dikarakteristisasikan dengan wacana emansipatoris,partisipatif, dan nonhierarkis yang juga menjadi narasi utama Teori Kritis aliran Frankfurt. Mazhab Frankfurt sengaja bergelut di wilayah sosiologi,psikologi, teknologi, dan budaya untuk menyingkap setiap kepentingan yang melatarbelakangi kesadaran 'palsu' individual dan perannya di dalam masyarakat.

Setelah tahun 60an—di mana terjadi berbagai perjuangan dari berbagai ranah kultural, rasial, gender, seksual serta tumbuh pesatnya gerakan pelajar—hingga pada perlawanan kontemporer terhadap neoliberalisme yang terjadi di seluruh dunia, May Day bukan lagi menjadi momen perayaan aktifitas serikat pekerja dan partai Kiri. Akan tetapi momentum tersebut, telah direnggut menjadi momentum kesadaran kelas baru yang tidak lagi berasosiasi dengan praksis-praksis usang marxisme-leninisme. Dan yang lebih mencorakkan gerakan proletariat modern terhadap penolakan politik kepartaian dan penghambaan ideologi. Pemikir-pemikir Marxis 'antiotoritarian'[iv] seperti: Antonio Negri, John Holloway, Harry Cleaver, membuka ruang bagi definisi baru perjuangan kelas, menjadi inspirator bagi gerakan emansipasitoris proletariat modern. Bahkan para pemikir ini, seringkali mengabaikan konsepsi kesadaran kelas Marxis tradisional, yang dianggap terlalu ekonomik-politis deterministik, sehingga tidak dapat merefleksikan kebutuhan emansipasistik proletariat di era pascaindustri.

Munculnya berbagai macam gerakan antiotoritarian yang bergelut di berbagai isu lingkungan, pelajar, homoseksual, indigenous, hak-hak perempuan dan imigran, pengangguran, pekerja tidak tetap, dan banyak lagi varian gerakan sosial, yang wacananya sentralnya adalah sebuah perlawanan menyeluruh terhadap kapitalisme neoliberal beserta aparatus negara.

Reclaim The Streets (RTS), yang berakar di Inggris, adalah gerakan lingkungan radikal yang mengambilalih jalan-jalan tersibuk pusat perkotaan—di dalam rentang waktu temporer--untuk mengangkat isu-isu penghapusan budaya kendaraan bermotor sambil berjoget ria dengan musik rave. Tidak jarang RTS melakukan kolaborasi bersama aksi pemogokan kelas pekerja Tute Bianche, gerakan otonomis Italia, menduduki beberapa gedung kosong untuk dijadikan tempat koordinasi gerakan radikal antineoliberal sekaligus menjadikannya sarana ruang publik. Gerakan-gerakan pekerja seperti Wildcat Jerman, Federasi ClassWar, People's Global Action, praktisi culture jammers[v] melawan budaya konsumtif, No Border Network, Zapatista, petani tanpa tanah di Brazil, Piqueterros Argentina, dan Mapuche di Chilli. Di Asia terdapat gerakan serikat pekerja radikal, Earth First di Davao, eks-pekerja PT DI dan Serikat Becak Jakarta di Indonesia, Intifada, Anarchist Against the Walls, dan gerakan homoseksual di Timur Tengah, adalah sekian dari beragamnya kesadaran kelas baru yang muncul di era pascaindustri. Sebuah kesadaran kelas tidak lagi digolongkan oleh definisi kelas-kelas sempit Kesadaran kelas pascaindustri melihat diri sebagai subyek yang tersubordinasikan ke dalam sistem kapitalisme yang mengarah kepada kesadaran emansipatif demi mengambil alih kendali atas kehidupannya, di dalam relungaktifitas keseharian.

Inti perjuangan kelas May Day juga berasal dari bentuk kesadaran kelas serupa. Perjuangan kelas Haymarket dipengaruhi oleh semangat antiotoritarian radikal yang tidak menghamba pada kepentingan ideologi kekuasan tertentu. Relevansi May Day hari ini adalah untuk mengembalikan inti kesadaran kelas yang sejati, yang selama ini telah dininabobokkan oleh kepentingan ideologi Kiri dan hasratnya untuk menyubordinasi, meniadakan otonomi. Untuk membawa kesadaran kelas kepada setiap level masyarakat yang termiskinkan tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara pemenuhan kualitas hidup.

- Untuk Kaum Buruh yang sejahtera

- Untuk Pembangunan Perekonomian Indonesia yang lebih baik

Salam Pembangunan

Monday, April 20, 2009

Georg Simmel

Oleh :Adi Brata H. Sos Pemb.

Simmel lahir di Berlin, 1 Maret 1858. Ia mempelajari berbagai cabang ilmu di Universitas Berlin. Georg Simmel sezaman dengan Weber dan bersama-sama mendirikan masyarakat sosiologi Jerman. Teori utamanya yakni Interaksionisme Simbolik. Simmel lebih terkenal dengan karyanya tentang masalah - masalah berskala lebih kecil, terutama tindakan dan interaksi individual. Lebih terkenal dengan bentuk-bentuk interaksi (misalnya Konflik) dan tipe-tipe orang yang berinteraksi (misalnya orang asing), yang didasarkan pada filsafat Kant. Dengan berbekal peralatan konseptual, dia dapat menganalisis dan memahami situasi interaksi yang berbeda. Ia pun juga menulis topik - topik menarik seperti kemiskinan, pelacuran, orang kikir dan pemboros, dan orang asing. Dalam orientasi makro tampak lebih jelas dalam Philosphy of Money. Simmel terutama memusatkan perhatian pada kemunculan perekonomian uang dalam masyarakat modern yang terpisah dari individu dan mendominasikan individu.

Menurut Simmel, kultur dalam masyarakat modern dan seluruh komponennya yang beraneka ragam itu (termasuk ekonomi uang) akan berkembang, dan begitu sudah berkembang maka arti penting (peran) individu mulai menurun. Misalnya, begitu teknologi industri yang menyertai ekonomi modern berkembang dan tumbuh makin canggih, maka keterampilan dan kemampuan tenaga kerja secara individual menjadi makin kurang penting. Akhirnya tenaga kerja dikonfrontasikan dengan mesin - mesin industri. Akibatnya, pengendalian tenaga kerja terhadap mesin itu menjadi makin sedikit. Lebih umum lagi, Simmel berpendapat bahwa dalam kehidupan modern, perkembangan kultur yang lebih luas menyebabkan peran individu makin merosot.[1]

Pemikiran tentang filosofi uang merupakan tindakan menolak hegomoni dari kapitalis / pemilik modal khususnya sektor perindustrian yang pada saat itu mencoba untuk menyingkiran kaum buruh yang bekerja di dalamnya. Karena dengan digantikannya tenaga kerja manusia dengan mesin merupakan proses penyisihan manusia digantikan dengan mesin atau teknologi. Dengan adanya penyisihan maka akan banyak menimbulkan konflik (interaksi) yang terjadi karena ketimpangan sosial tersebut.

Teori interaksionisme simbolik Georg Simmel. Dia berpandangan bahwa “ muncul dan berkembangnya kepribadian seseorang tergantung pada jaringan hubungan sosial yang dimilikinya, yaitu pada keanggotaan kelompok.” Individual adalah sentrum kegiatan masyarakat. Georg Simmel (1858 - 1918), Sosiolog fungsionalis Jerman juga telah mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang mendasar yang berkaitan dengan sikap

Bekerja sama dalam masyarakat. Dalam hal ini Simmel mungkin salah seorang sosiolog pertama yang berusaha keras untuk mengkonstruksi sistem formal dalam sosiologi yang diabstraksikan dari sejarah dan detil pengalaman manusia. Analisisnya tentang efek ekonomi uang dalam perilaku manusia merupakan salah satu pekerjaannya yang penting.[2]


[1] George Ritzer & Douglas J. Goodman oleh Alimandan. Teori Sosiologi Modern, edisi ke - 6. Maret 2005. Jakarta: Penerbit Kencana. Hlm 42 – 45.

[2] http://compsoc.bandungfe.net/intro/main.html. diakses tanggal 16 - april - 2009

Kemenangan Golput atas partai politik yang ada di Indonesia dalam Pemilu 2009*

Oleh: Wahyu Pratama Tamba (Mahasiswa Sosiologi Pembangunan 2008)

Beberapa waktu yang lalu Pesta Demokrasi Bangsa Indonesia telah selesai dilaksanakan, sebelum pelaksanaan Pemilu banyak pernyataan miring tentang kinerja dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Alasannya banyak masyarakat yang tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap(DPT) yang dikeluarkan oleh KPU. Belum lagi, Berita tentang banyaknya masyarakat yang tidak akan menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 9 April 2009 atau mereka biasa disebut sebagai Golongan Putih (Golput).

Pernyataan miring terhadap kinerja KPU ternyata terbukt, banyak masyarakat yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2009, dan Isu bahwa akan banyaknya masyarakat yang Golput juga ternyata benar, masyarakat yang golput pada Pemilu 2009 dikalkulasikan sekitar 40 %, dan hasil Pemilu 2009 yang dilansir oleh KPU dan beberapa lembaga survey Indonesia menunjukkan bahwa pemenang dari Pemilu tahun ini adalah Golongan Putih.

Penyebab Meningkatnya Masyarakat yang Golput disebabkan oleh beberapa factor:

1. Kejenuhan dari masyarakat dalam mengikuti perkembangan politik Indonesia yang dipenuhi oleh berbagai Partai Politik.

Masyarakat merasa bahwa dampak dari Pemilu tidak akan pernah dirasakan, mengingat dari tahun ke tahun nasib yang dialami masyarakat tetap saja sengsara dan sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

2. Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang kacau.

Kinerja dari KPU tahun ini sangat disorot tajam oleh berbagai kalangan seperti pengamat politik, mahasiswa, akademisi, dan masyarakat umum.

Di suatu daerah di Indonesia , masyarakat yang golput disatu desa sebanyak 20.000 jiwa, sangat memiriskan kinerja dari KPU tahun ini. Bahkan system penghitungan suara secara elektronik yang berpusat di Hotel Borobudur ditembus oleh puluhan hacker-hacker Indonesia , yang bermaksud untuk mengganggu kelancaran penghitungan suara KPU.

Pemilu yang sangat kacau sejak pemilu pertama, bagaimana tidak, partai politik yang banyak tidak menggugah selera masyarakat untuk menggunakan hak suara pada Pemilu 2009, dan Daftar Pemilih Tetap yang sangat kacau. Sebagai contoh dalam DPT tahun ini tercatat penduduk yang sudah meninggal dunia, anak di bawah umur, dan warga Negara asing. Hal inilah yang semakin membuat geram masyarakat yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Disengaja atau tidak? Hanya Yang Kuasa yang tahu.

3. Sikap Masyarakat yang apatis.

Masyarakat Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, dengan kemajemukan ini terdapat beberapa kelompok masyarakat yang sengaja untuk tidak peduli dengan Pemilu, bahkan ada juga yang berkaitan dengan ideology, contoh masyarakat yang mengharamkan tatanan demokrasi dan juga mengharamkan untuk menggunakan hak suara.

Semua penyebab ini memunculkan pertanyaan, akankah fatwa haram MUI bagi masyarakat yang tidak menggunakan hak suara pantas dilaksanakan, padahal masyarakat golput bisa saya katakan “digolputkan “ oleh Pemerintah. Mengapa MUI sampai menerbitkan fatwa tersebut? Tentu saja, jawaban sederhananya karena tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu cenderung terus menurun. Bahkan, M Fadjroel Rachman--pengamat politik yang mencalonkan diri jadi presiden lewat jalur independent dalam tulisannya di Kompas menyebutkan bahwa golput adalah pemenang Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Dengan alasan belum keluarnya jumlah pasti masyarakat yang golput pada Pemilu 2009, disini saya memiliki catatan masyarakat yang golput pada Pemilu 2004, yaitu

Jumlah pendukung golput 34.509.246, terdiri dari pemilih terdaftar yang tidak datang ke TPS 23.551.321, ditambah suara tidak sah 10.957.925. Persentasenya 23,34% terhadap total pemilih terdaftar. Jumlah ini lebih besar dari perolehan parpol pemenang pemilu, seperti Partai Golkar 24.480.757 (16,54%), PDI-P 21.026.629 (14,21%), dan PKB 11.989.564 (8,10%). Jumlah pemilih terdaftar untuk pemilu legislatif 5 Juli 2004 adalah 148.000.369, sesuai keputusan KPU No 23/2004. Menurut perhitungan manual yang dilakukan KPU 23 April-4 Mei 2004, jumlah pemilih yang menggunakan haknya 124.449.038 (83%), suara yang sah 113.498.755, dan suara tidak sah 10.957.925 (8,81%). Inilah perolehan golput terbesar sepanjang sembilan kali pemilu di Indonesia sejak1955. dan akan diperbaharui oleh Pendukung Golput pada Pemilu 2009, dipastikan pendukung golput Pemilu 2004 kalah oleh Pendukung Golput 2009.

Pantaskah mereka yang golput ini disejajarkan dengan pemabuk, penjudi atau pendosa lainnya yang masuk kategori haram? Apakah karena tidak memilih salah satu partai kontestan atau caleg dalam Pemilu maka mereka mesti menanggung dosa di akhirat? Tanyakan pada rumput yang bergoyang….

Tingginya persentase golput pada Pemilu 2009, mengakibatkan tokoh politik dan kader atau simpatisan partai politik kebakaran jenggot karena perolehan semua partai politik pada Pemilu tahun ini berkurang, bahkan partai Golkar yang merupakan partai raksasa di zaman orde baru tumbang pada pemilu 2009, dan beberapa partai politik baru yang menawarkan perubahan ke arah yang lebih maju (walaupun dalam iklan di media massa) akan menjadi penghuni gedung senayan.

Kita sebagai bagian dari rakyat Indonesia perlu untuk lebih bijak lagi dalam mencermati kinerja dari pemerintah yang semakin buruk dimata penulis. Dan fenomena golput ini harus dipandang dari dua sisi, dimana golput terjadi karena berbagai factor, bukan secara mutlak masyarakat itu apatis.

Selamat untuk mengawasi Pilpres!!!!