Monday, May 4, 2009

PERINGATAN MAY DAY : ANTARA PERJUANGAN KELAS DAN DOKTRINASI IDEOLOGI

"Mereka dirampas haknya

tergusur dan lapar

Bunda, relakan darah juang kami

tuk membebaskan rakyat"

Berberapa petikan syair dari lagu Darah Juang tersebut selalu terdengar pada peringatan Mayday di Indonesia. Sebuah lagu yang mengungkapkan penderitaan dari para buruh bukan hanya di indonesia tapi seluruh dunia pada umumnya.Sebuah kondisi dimana buruh tersebut dalam keadaan yang sulit, terjepit, dan mengalami ketidakadilan. Bentuk ketidakadilan yang dialami mengakibatkan kehidupan buruh yang semakin tertindas yang mengarah kepada suatu kondisi kemiskinan dan Penderitaan.

May Day mejadi sebuah simbol perjuangan kelas, adalah bukti kesadaran kelas pekerja yang hadir sejak diawalinya industrialisasi di dalam masyarakat. Masyarakat terubah menjadi pabrik dengan mesin-mesin bising beserta divisi-divisi kerja, yang memisah-misahkan aktifitas dan kesadaran mereka sebagai kelas yang tersubordinat. Transformasi ini mendefinisika bentuk dari kesadaran kelas yang terjadi pada waktu itu. Apabila May Day lahir dari radikalisasi kesadaran kelas pekerja di era industri, bagaimana menempatkannya dengan kesadaran kelas di era pascaindustri, di mana kelas itu sendiri telah semakin kabur?

Setelah Perang Dunia II, banyak pemikir Marxis, terutama kalangan Mazhab Frankfurt, tidak lagi melihat romantisisme perjuangan kelas era industri sebagai sesuatu yang relevan bagi sistem yang mereka namai sebagai 'kapitalisme lanjut'. Mereka melihat perkembangan kapitalisme industrial menuju pascaindustrial melahirkan bentuk-bentuk lebih maju, kompleks, yang dapat mengintegrasikan setiap level aktifitas sosio-kultural masyarakat.Perkembangan ini bisa dilihat dari tumbuh pesatnya pabrik-pabrik pendidikan dan budaya teknokratik serta munculnya ideologi kekuasaan baru: kapitalisme birokratik. Kapitalisme lanjut, menurut mereka, telah berhasil merasionalisasi keterasingan masyarakat menjadi sesuatu yang normal.

Peran-peran ini terutama dilakukan oleh kemajuan teknologi dan industr pendidikan—yang mencapai kulminasinya setelah Perang Dunia II—dengan menyuntikkan ideologi borjuis kepada pelajar, yang nantinya menjadi produk-produk intelektual kompeten bagi kepentingan kapitalisme. Proletariat pascaindustri tidak lagi terwujud sebagai kelas-kelas, dalam pengertian konsepsi Marxis mengenai konflik yang tak terdamaikan di antara kelas pekerja dan kelas pemodal. Kontradiksi kelas semacam ini, bagaimanapun, telah menguap. Di negara-negara komunis kelas pekerja menjadi bagian birokrasi negara dan menjadi hamba bagi ideologi kekuasaan tersebut. Sementara kelas pekerja di negara-negara kapitalisme Barat terintegrasilebih jauh ke dalam budaya konsumtif. Kelas-kelas di dalam masyarakat sekarang, tidak lagi seperti kelas dalam bayangan Marx. Akan tetapi, sudah semakin terintegrasi dan melebur menjadi bagian inheren sistem kapitalistik.

Meskipun begitu, para filsuf ini sama sekali tidak menawarkan sebuah praktik konkrit untuk menyikapi sistem kapitalistik yang sudah sedemikian menyeluruh. Pada sisi lain, Mazhab Frankfurt, tetap memberi kontribusi penting fondasi teori-praksis ilmiah bagi gerakan-gerakan yang lahir dari setiap keretakkan kapitalisme lanjut. Gerakan-gerakan yang lahir dari Mazhab Frankfurt sangat dikarakteristisasikan dengan wacana emansipatoris,partisipatif, dan nonhierarkis yang juga menjadi narasi utama Teori Kritis aliran Frankfurt. Mazhab Frankfurt sengaja bergelut di wilayah sosiologi,psikologi, teknologi, dan budaya untuk menyingkap setiap kepentingan yang melatarbelakangi kesadaran 'palsu' individual dan perannya di dalam masyarakat.

Setelah tahun 60an—di mana terjadi berbagai perjuangan dari berbagai ranah kultural, rasial, gender, seksual serta tumbuh pesatnya gerakan pelajar—hingga pada perlawanan kontemporer terhadap neoliberalisme yang terjadi di seluruh dunia, May Day bukan lagi menjadi momen perayaan aktifitas serikat pekerja dan partai Kiri. Akan tetapi momentum tersebut, telah direnggut menjadi momentum kesadaran kelas baru yang tidak lagi berasosiasi dengan praksis-praksis usang marxisme-leninisme. Dan yang lebih mencorakkan gerakan proletariat modern terhadap penolakan politik kepartaian dan penghambaan ideologi. Pemikir-pemikir Marxis 'antiotoritarian'[iv] seperti: Antonio Negri, John Holloway, Harry Cleaver, membuka ruang bagi definisi baru perjuangan kelas, menjadi inspirator bagi gerakan emansipasitoris proletariat modern. Bahkan para pemikir ini, seringkali mengabaikan konsepsi kesadaran kelas Marxis tradisional, yang dianggap terlalu ekonomik-politis deterministik, sehingga tidak dapat merefleksikan kebutuhan emansipasistik proletariat di era pascaindustri.

Munculnya berbagai macam gerakan antiotoritarian yang bergelut di berbagai isu lingkungan, pelajar, homoseksual, indigenous, hak-hak perempuan dan imigran, pengangguran, pekerja tidak tetap, dan banyak lagi varian gerakan sosial, yang wacananya sentralnya adalah sebuah perlawanan menyeluruh terhadap kapitalisme neoliberal beserta aparatus negara.

Reclaim The Streets (RTS), yang berakar di Inggris, adalah gerakan lingkungan radikal yang mengambilalih jalan-jalan tersibuk pusat perkotaan—di dalam rentang waktu temporer--untuk mengangkat isu-isu penghapusan budaya kendaraan bermotor sambil berjoget ria dengan musik rave. Tidak jarang RTS melakukan kolaborasi bersama aksi pemogokan kelas pekerja Tute Bianche, gerakan otonomis Italia, menduduki beberapa gedung kosong untuk dijadikan tempat koordinasi gerakan radikal antineoliberal sekaligus menjadikannya sarana ruang publik. Gerakan-gerakan pekerja seperti Wildcat Jerman, Federasi ClassWar, People's Global Action, praktisi culture jammers[v] melawan budaya konsumtif, No Border Network, Zapatista, petani tanpa tanah di Brazil, Piqueterros Argentina, dan Mapuche di Chilli. Di Asia terdapat gerakan serikat pekerja radikal, Earth First di Davao, eks-pekerja PT DI dan Serikat Becak Jakarta di Indonesia, Intifada, Anarchist Against the Walls, dan gerakan homoseksual di Timur Tengah, adalah sekian dari beragamnya kesadaran kelas baru yang muncul di era pascaindustri. Sebuah kesadaran kelas tidak lagi digolongkan oleh definisi kelas-kelas sempit Kesadaran kelas pascaindustri melihat diri sebagai subyek yang tersubordinasikan ke dalam sistem kapitalisme yang mengarah kepada kesadaran emansipatif demi mengambil alih kendali atas kehidupannya, di dalam relungaktifitas keseharian.

Inti perjuangan kelas May Day juga berasal dari bentuk kesadaran kelas serupa. Perjuangan kelas Haymarket dipengaruhi oleh semangat antiotoritarian radikal yang tidak menghamba pada kepentingan ideologi kekuasan tertentu. Relevansi May Day hari ini adalah untuk mengembalikan inti kesadaran kelas yang sejati, yang selama ini telah dininabobokkan oleh kepentingan ideologi Kiri dan hasratnya untuk menyubordinasi, meniadakan otonomi. Untuk membawa kesadaran kelas kepada setiap level masyarakat yang termiskinkan tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara pemenuhan kualitas hidup.

- Untuk Kaum Buruh yang sejahtera

- Untuk Pembangunan Perekonomian Indonesia yang lebih baik

Salam Pembangunan

Monday, April 20, 2009

Georg Simmel

Oleh :Adi Brata H. Sos Pemb.

Simmel lahir di Berlin, 1 Maret 1858. Ia mempelajari berbagai cabang ilmu di Universitas Berlin. Georg Simmel sezaman dengan Weber dan bersama-sama mendirikan masyarakat sosiologi Jerman. Teori utamanya yakni Interaksionisme Simbolik. Simmel lebih terkenal dengan karyanya tentang masalah - masalah berskala lebih kecil, terutama tindakan dan interaksi individual. Lebih terkenal dengan bentuk-bentuk interaksi (misalnya Konflik) dan tipe-tipe orang yang berinteraksi (misalnya orang asing), yang didasarkan pada filsafat Kant. Dengan berbekal peralatan konseptual, dia dapat menganalisis dan memahami situasi interaksi yang berbeda. Ia pun juga menulis topik - topik menarik seperti kemiskinan, pelacuran, orang kikir dan pemboros, dan orang asing. Dalam orientasi makro tampak lebih jelas dalam Philosphy of Money. Simmel terutama memusatkan perhatian pada kemunculan perekonomian uang dalam masyarakat modern yang terpisah dari individu dan mendominasikan individu.

Menurut Simmel, kultur dalam masyarakat modern dan seluruh komponennya yang beraneka ragam itu (termasuk ekonomi uang) akan berkembang, dan begitu sudah berkembang maka arti penting (peran) individu mulai menurun. Misalnya, begitu teknologi industri yang menyertai ekonomi modern berkembang dan tumbuh makin canggih, maka keterampilan dan kemampuan tenaga kerja secara individual menjadi makin kurang penting. Akhirnya tenaga kerja dikonfrontasikan dengan mesin - mesin industri. Akibatnya, pengendalian tenaga kerja terhadap mesin itu menjadi makin sedikit. Lebih umum lagi, Simmel berpendapat bahwa dalam kehidupan modern, perkembangan kultur yang lebih luas menyebabkan peran individu makin merosot.[1]

Pemikiran tentang filosofi uang merupakan tindakan menolak hegomoni dari kapitalis / pemilik modal khususnya sektor perindustrian yang pada saat itu mencoba untuk menyingkiran kaum buruh yang bekerja di dalamnya. Karena dengan digantikannya tenaga kerja manusia dengan mesin merupakan proses penyisihan manusia digantikan dengan mesin atau teknologi. Dengan adanya penyisihan maka akan banyak menimbulkan konflik (interaksi) yang terjadi karena ketimpangan sosial tersebut.

Teori interaksionisme simbolik Georg Simmel. Dia berpandangan bahwa “ muncul dan berkembangnya kepribadian seseorang tergantung pada jaringan hubungan sosial yang dimilikinya, yaitu pada keanggotaan kelompok.” Individual adalah sentrum kegiatan masyarakat. Georg Simmel (1858 - 1918), Sosiolog fungsionalis Jerman juga telah mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang mendasar yang berkaitan dengan sikap

Bekerja sama dalam masyarakat. Dalam hal ini Simmel mungkin salah seorang sosiolog pertama yang berusaha keras untuk mengkonstruksi sistem formal dalam sosiologi yang diabstraksikan dari sejarah dan detil pengalaman manusia. Analisisnya tentang efek ekonomi uang dalam perilaku manusia merupakan salah satu pekerjaannya yang penting.[2]


[1] George Ritzer & Douglas J. Goodman oleh Alimandan. Teori Sosiologi Modern, edisi ke - 6. Maret 2005. Jakarta: Penerbit Kencana. Hlm 42 – 45.

[2] http://compsoc.bandungfe.net/intro/main.html. diakses tanggal 16 - april - 2009

Kemenangan Golput atas partai politik yang ada di Indonesia dalam Pemilu 2009*

Oleh: Wahyu Pratama Tamba (Mahasiswa Sosiologi Pembangunan 2008)

Beberapa waktu yang lalu Pesta Demokrasi Bangsa Indonesia telah selesai dilaksanakan, sebelum pelaksanaan Pemilu banyak pernyataan miring tentang kinerja dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Alasannya banyak masyarakat yang tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap(DPT) yang dikeluarkan oleh KPU. Belum lagi, Berita tentang banyaknya masyarakat yang tidak akan menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 9 April 2009 atau mereka biasa disebut sebagai Golongan Putih (Golput).

Pernyataan miring terhadap kinerja KPU ternyata terbukt, banyak masyarakat yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2009, dan Isu bahwa akan banyaknya masyarakat yang Golput juga ternyata benar, masyarakat yang golput pada Pemilu 2009 dikalkulasikan sekitar 40 %, dan hasil Pemilu 2009 yang dilansir oleh KPU dan beberapa lembaga survey Indonesia menunjukkan bahwa pemenang dari Pemilu tahun ini adalah Golongan Putih.

Penyebab Meningkatnya Masyarakat yang Golput disebabkan oleh beberapa factor:

1. Kejenuhan dari masyarakat dalam mengikuti perkembangan politik Indonesia yang dipenuhi oleh berbagai Partai Politik.

Masyarakat merasa bahwa dampak dari Pemilu tidak akan pernah dirasakan, mengingat dari tahun ke tahun nasib yang dialami masyarakat tetap saja sengsara dan sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

2. Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang kacau.

Kinerja dari KPU tahun ini sangat disorot tajam oleh berbagai kalangan seperti pengamat politik, mahasiswa, akademisi, dan masyarakat umum.

Di suatu daerah di Indonesia , masyarakat yang golput disatu desa sebanyak 20.000 jiwa, sangat memiriskan kinerja dari KPU tahun ini. Bahkan system penghitungan suara secara elektronik yang berpusat di Hotel Borobudur ditembus oleh puluhan hacker-hacker Indonesia , yang bermaksud untuk mengganggu kelancaran penghitungan suara KPU.

Pemilu yang sangat kacau sejak pemilu pertama, bagaimana tidak, partai politik yang banyak tidak menggugah selera masyarakat untuk menggunakan hak suara pada Pemilu 2009, dan Daftar Pemilih Tetap yang sangat kacau. Sebagai contoh dalam DPT tahun ini tercatat penduduk yang sudah meninggal dunia, anak di bawah umur, dan warga Negara asing. Hal inilah yang semakin membuat geram masyarakat yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Disengaja atau tidak? Hanya Yang Kuasa yang tahu.

3. Sikap Masyarakat yang apatis.

Masyarakat Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, dengan kemajemukan ini terdapat beberapa kelompok masyarakat yang sengaja untuk tidak peduli dengan Pemilu, bahkan ada juga yang berkaitan dengan ideology, contoh masyarakat yang mengharamkan tatanan demokrasi dan juga mengharamkan untuk menggunakan hak suara.

Semua penyebab ini memunculkan pertanyaan, akankah fatwa haram MUI bagi masyarakat yang tidak menggunakan hak suara pantas dilaksanakan, padahal masyarakat golput bisa saya katakan “digolputkan “ oleh Pemerintah. Mengapa MUI sampai menerbitkan fatwa tersebut? Tentu saja, jawaban sederhananya karena tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu cenderung terus menurun. Bahkan, M Fadjroel Rachman--pengamat politik yang mencalonkan diri jadi presiden lewat jalur independent dalam tulisannya di Kompas menyebutkan bahwa golput adalah pemenang Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Dengan alasan belum keluarnya jumlah pasti masyarakat yang golput pada Pemilu 2009, disini saya memiliki catatan masyarakat yang golput pada Pemilu 2004, yaitu

Jumlah pendukung golput 34.509.246, terdiri dari pemilih terdaftar yang tidak datang ke TPS 23.551.321, ditambah suara tidak sah 10.957.925. Persentasenya 23,34% terhadap total pemilih terdaftar. Jumlah ini lebih besar dari perolehan parpol pemenang pemilu, seperti Partai Golkar 24.480.757 (16,54%), PDI-P 21.026.629 (14,21%), dan PKB 11.989.564 (8,10%). Jumlah pemilih terdaftar untuk pemilu legislatif 5 Juli 2004 adalah 148.000.369, sesuai keputusan KPU No 23/2004. Menurut perhitungan manual yang dilakukan KPU 23 April-4 Mei 2004, jumlah pemilih yang menggunakan haknya 124.449.038 (83%), suara yang sah 113.498.755, dan suara tidak sah 10.957.925 (8,81%). Inilah perolehan golput terbesar sepanjang sembilan kali pemilu di Indonesia sejak1955. dan akan diperbaharui oleh Pendukung Golput pada Pemilu 2009, dipastikan pendukung golput Pemilu 2004 kalah oleh Pendukung Golput 2009.

Pantaskah mereka yang golput ini disejajarkan dengan pemabuk, penjudi atau pendosa lainnya yang masuk kategori haram? Apakah karena tidak memilih salah satu partai kontestan atau caleg dalam Pemilu maka mereka mesti menanggung dosa di akhirat? Tanyakan pada rumput yang bergoyang….

Tingginya persentase golput pada Pemilu 2009, mengakibatkan tokoh politik dan kader atau simpatisan partai politik kebakaran jenggot karena perolehan semua partai politik pada Pemilu tahun ini berkurang, bahkan partai Golkar yang merupakan partai raksasa di zaman orde baru tumbang pada pemilu 2009, dan beberapa partai politik baru yang menawarkan perubahan ke arah yang lebih maju (walaupun dalam iklan di media massa) akan menjadi penghuni gedung senayan.

Kita sebagai bagian dari rakyat Indonesia perlu untuk lebih bijak lagi dalam mencermati kinerja dari pemerintah yang semakin buruk dimata penulis. Dan fenomena golput ini harus dipandang dari dua sisi, dimana golput terjadi karena berbagai factor, bukan secara mutlak masyarakat itu apatis.

Selamat untuk mengawasi Pilpres!!!!

Monday, February 23, 2009

MATERIALISME DIALEKTIKA ALA KARL MARX

Oleh : Cak Wir (Fosil)

(Wiryadi Septyo Rahardjo)

Apa Itu Materialisme ?

Materialisme adalah salah satu cara berpikir dalam pemikiran filsafat yang bertolak dari materi (kenyataan objektif), yang dapat diamati langsung oleh semua manusia melalui kemampuan panca inderanya. Dimana oleh Marx dikemukakan bahwa dalam bentuk berpikir materialis ini, gerak dan perubahan materi ditentukan oleh faktor intern.

Pendek kata, berpikir materialisme hakikatnya ialah memandang bahwa keadaan lah yang menentukan kesadaran sebagai suatu proses timbal baliknya kesadaran mempengaruhi perkembangan keadaan, namun arah perkembangan keadaan itu ditentukan kesadaran. Keadaan objektif materi (materi) mempunyai unsur – unsur yang saling berhubungan dan saling kontradiksi sehingga mendorong perkembangan materi itu sendiri.

Apa Itu Dialektika ?

Dialektika secara sederhana adalah logika gerak, di mana kita akan selalu berpikir tentang “saling berhubungan”, kontradiksi, dan gerak. Kita semua tahu bahwa benda-benda tidaklah diam; dan benda-benda itu berubah. Akan tetapi, ada suatu bentuk logika lain yang bertentangan dengan dialektika, yang kita sebut 'logika formal', yang sekali lagi juga melekat dalam masyarakat kapitalis. Barangkali perlu untuk mulai menjelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan metode ini.

Logika formal didasarkan pada apa yang dikenal sebagai 'hukum identitas', yang menyatakan bahwa 'A' sama dengan 'A' – yaitu bahwa benda-benda adalah seperti itu apa adanya, dan bahwa benda itu berposisi pada hubungan yang tertentu (pasti) satu sama lain. Ada hukum-hukum turunan lain yang didasarkan pada hukum identitas; yaitu misalnya, jika 'A' sama dengan 'A', maka 'A' tidak mungkin sama dengan 'B' atau 'C'.

Secara sekilas, metode pemikiran ini nampak seperti pemahaman umum; dan pada kenyataannya, logika formal telah menjadi alat yang sangat penting, sarana yang sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan revolusi industri, yang membentuk masyarakat sekarang ini. Perkembangan matematika dan aritmatika dasar, misalnya, adalah didasarkan pada logika formal. Anda tidak bisa mengajarkan tabel perkalian atau penjumlahan kepada seorang anak tanpa menggunakan logika formal. Satu ditambah satu sama dengan dua, bukan tiga. Hal yang sama, metode logika formal juga merupakan basis bagi perkembangan ilmu mekanika, kimia, biologi, dll.

Perlu diketahui pula bahwasanya gerak (berubah dan berkembang) dalam dialektika mempunyai tiga azas, yaitu

1. Kontradiksi

Ada tiga macam, yaitu :

a. Kontradiksi Pokok dan Tidak Pokok

b. Kontradiksi Dasar dan Tidak Dasar

c. Kontradiksi Antagonis

Hakikat hukum kontradiksi adalah hukum persatuan dan perjuangan dari segi yang berkontradiksi, dan hakikat studi tentang dialektika adalh stuid tentang hukum kontradiksi. Segala sesuatu yang ada secara objektif mengandung berbagai segi kontradiksi, yaitu :

1. Segi Pokok dan Segi Tidak Pokok

2. Berdominasi dan Tidak Berdominasi

3. Segi berhari Depan dan Tidak Berhari Depan

4. Segi Hegemoni dan Tidak Berhegemoni

2. Perubahan Kuantitatif Kearah Kualitatif

Perubahan kuantitas adalah perubahan yang masih dalam bentuk kualitas yang lama, misalnya di Indonesia dengan pemerintahan yang menggunakan sistem ekonomi kapitalis, memiliki presiden seorang Soeharto, kemudian jabatanya terus digantikan oleh beberapa orang setelah ia lengser, hingga pada akhirnya sekarang jabatan presiden itu di pegang oleh SBY, tetapi meskipun demikian, sistem ekonominya tetap bersifat kapitalistik, hal inilah yang dinamakan dengan perubahan kuantitatif.

Berbeda dengan perubahan kualitatif, perubahan kualitatif menjadikan suatu materi bergerak menuju suatu bentuk nilai dan kualitas baru, misalnya pada Orde Lama, Soekarno menggunakan sistem ekonomi Pancasila, setelah digulingkan oleh Soeharto, Soeharto merubah sistem ekonomi Indonesia kepada sistem Kapitalistik.

3. Negasi dari Negasi (Hukum arah gerak atau arah perkembangan)

Negasi artinya tiada atau meniadakan. Dimana segala sesuatu yang tadinya meniadakan pada akhirnya ditiadakan kembali oleh yang meniadakan baru. Dalam pengertian tersebut memiliki contoh konkrit misalnya, suatu bentuk materi akan berubah terus menerus sampai kepada bentuk awalnya, tetapi dengan kualitas yang baru dan lebih tinggi.

Lha terus Materialisme Dialektika itu apa ?

Adalah suatu aliran filsafat yang pandanaganya materialis, sedangkan metodenya dialektik, artinya materi itu saling berhubungan, saling memepengaruhi, saling bergantungan satu dengan yang lain, materi itu tidak berpisah pisah dan tidak berdiri sendiri sendiri. Materi itu selalu dalam kedaan gerak, berubah dan berkembang, materi tidak dalam keadaan diam, tidak tetap atau selalu berubah. Gerak materi itu adalah gerak intern, gerak yang ditentuklan, oleh faktor dalamnya atau gerka karena karena kekuatannya sendiri, bukan gerak ekstern, bukan gerak yang ditentukan oleh faktor luar. Gerak materi itu adalah dialektis, yaitu berubah dan berkembang menuju ketingkatnnya yang lebih tinggi dan lebih maju, seperti spiral. Materi bukan gerak seperti gerak mekanik. Sedang apa yang disebut diam itu hanya penampakannya sajaatau bentuknya saaj. Sebenarnya gejala dan bentuk yang nampak itu adalah hakikat atau isi yang selalu gerak. Maka diam itu hakikatnya adalah gerak, yaitu gerak intern dari sesuatu yang dapat diamati.

Tuesday, August 19, 2008

Industri Demokrasi dalam Media

Oleh Dian Fitriansyah
“Pilih Ucup ya…, caranya ketik IDOL(spasi)UCUP kirim ke 9090”. Anda pasti mengerti maksud dari frase pembuka tersebut. Rasanya bukan saya saja yang mengalami kekhawatiran jika menyimak pemberitaan di layar kaca dalam lima tahun terakhir ini. Sebagai pemirsa, saya menyaksikan betapa cepat drama kehidupan berganti lakon. Pemirsa televisi seolah digiring dalam satu fragmen ke fragmen lain yang semua perannya telah diatur sesuai trend pada masanya. Setelah sebelumnya, media menayangkan hal-hal yang bernada agama seperti sinetron "Rahasia Illahi" dan "Takdir Illahi". Rupanya para pemikir keagamaan sekarang harus mulai melihat bahwa rasa keagamaan pun mulai mengalami komodifikasi (menjadi komoditas) di pentas konsumsi massa. Kemudian menempel dibelakangnya semua yang berbau “idol” atau dengan kata lain kontes pencari bakat yang dikemas layaknya reality show. SMS (short message system) dari HP (handphone) Android yang bersifat personal digunakan sebagai cara untuk memilih siapa idola kita. Dengan tarif yang berbeda dan tarif regular, ribuan orang (bahkan lebih dari itu) bersedia melakukannya demi idola yang dia sukai. Saya sedikit membayangkan (meskipun rasanya tidak mungkin) jika pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau Pemilu secara langsung meniru gaya pemilihan idol. Bukan tanpa dasar sedikit berhayal, namun rasanya sangat efektif cara seperti itu jika melihat kecenderungan partisipasi masyarakat dalam hal demokrasi langsung yang sangat kecil. Pemilihan langsung dengan cara tersebut justru diklaim oleh media penyiar acara-acara semacam “idol” sebagai hal yang demokratis. Mereka merayakan demokrasi setiap hari, melebihi pemilu yang diselenggarakan hanya setiap lima tahun sekali. Polling SMS digunakan untuk memilih idol yang kita sukai berdasarkan perspektif pemirsa masing-masing. Itu juga mengapa acara semacam ini dikategorikan sebagai reality show, karena pemilihan didasarkan pada polling SMS tersebut.
Dalam pemikiran masyarakat awam reality show adalah acara persembahan bagi pemirsa yang hasilnya tanpa rekayasa dari pihak media. Namun dalam perspektif sosial kritis, apa yang kita baca dan kita dengar setiap hari adalah produk dari pembentukan realitas oleh media. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak. Dengan cara apa media mengkonstruksi realitas? Media memilih kejadian mana yang patut diekspos sebagai bahan penyiaran. Dalam konteks “idol” yang patut diekspos adalah kecemasan, tangisan, dan usaha peserta yang ingin menjadi idola. Bukan hanya itu, banyak cerita-cerita haru dan unik tentang alasan mengapa peserta mengikuti “idol” tersebut dipersembahkan, seperti ingin mendapatkan uang dengan cepat agar bisa mengobati orang tuanya yang sakit atau hanya ingin memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga dengan cara menjadi popular.
Kecenderungan acara semacam ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Terlebih, acara-acara dengan jenis semacam itu diadaptasi dari luar (Indonesia), seperti Idol dan Mamamia yang ada juga dibeberapa negara. Saat ini partisipasi masyarakat dunia amat tinggi, dan fenomena partisipasi aktif ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme. Masyarakat kapitalis mutakhir disebut Jean Baudillard dengan “masyarakat konsumer” (Jean Baudrillard, 2004) dan Adorno dengan “masyarakat komoditas” (commodity society) (Ibrahim dalam Ibrahim, 1997).
Peserta-peserta acara kontes tersebut menurut Adorno telah melalui proses komodifikasi, karena jika dalam istilah ekonomi para peserta tersebut dari sesuatu yang tidak bernilai menjadi sesuatu yang bernilai. Bahkan jika dilihat lebih kedalam, mereka adalah komoditi (peserta;manusia) yang menjual komoditi lain (iklan;barang). Media massa memang sebagian besar menyajikan komoditas, baik secara langsung atau tersamar, dalam arti ide yang di dalamnya terdapat komoditas. Terlebih lagi bagi media televisi. Media bahkan telah merasuki wilayah privat para peserta idol. Seluruh aktivitas idol mengalami reifikasi setelah mereka menyetujui kontrak kerja dengan penyelenggara. Para idol telah kehilangan jati dirinya, seluruh bagian dari diri telah diskenariokan sedemikian rupa demi meraih perhatian pemirsanya. Semua demi satu tujuan; peningkatan rating program tersebut.
Beban itu semestinya semakin besar karena televisi disebut-sebut memiliki pengaruh yang sangat kuat dibandingkan dengan media-media lainnya. Mengapa televisi?. Media massa memiliki peran strategis karena sifat dari media massa (khususnya TV) itu sendiri mempunyai dampak yang luas dan seketika karena intensitas kekuatan audio-visualnya. Upaya-upaya mengkritisi isi program televisi harus dilakukan karena adanya kepercayaan yang tinggi bahwa media, terutama televisi, memiliki pengaruh kuat pada penontonnya. Memang dalam kajian komunikasi klasik dan dominan, pengaruh media mengalami pasang surut. Akan tetapi, secara umum teori efek media telah beranjak dari limited effects (efek yang terbatas) menjadi powerful effects (efek yang tidak terbatas). Sebagian besar ahli komunikasi massa percaya, media memiliki kekuatan besar dalam memengaruhi khalayak.
=>tulisan ini juga dimuat pada buletin Resolusi, sebuah buletin pra konperensi Demokrasi dan Tirani Modal
Referensi
  • Baudrillard, Jean.2004. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta:Kreasi Wacana
  • Ibrahim, Idi Subandy. 1997. Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Bandung: Mizan
  • Sumandono, Priyo. 1999. Wacana Gender dan Layar Televisi (studi perempuan dan pemberitaan televisi swasta), Yogyakarta:LP3EYdan Ford Foundation