Monday, January 24, 2011

PEREMPUAN DALAM JEJAK-JEJAK EKSISTENSIALISME

“One is not born, but rather becomes a woman” (Simone de Beauvoir)

1. SIAPAKAH PEREMPUAN?

Dalam banyak kajian tentang Feminisme—baik itu Feminisme Liberal, Sosialis, dan Radikal. Pembahasan mengenai kaum perempuan telah menghasilkan sejumlah tafsiran. Feminisme Liberal menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia—demikian menurut mereka—punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.

Sedangkan untuk Feminisme Sosialis, lebih menekankan atas perjuangan penghapusan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender. Seperti dicontohkan oleh seorang tokoh teori kritis, Nancy Fraser. Di Amerika Serikat, keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat masalah-masalah kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

Pada apa yang disebut dalam Feminisme Radikal. Negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda serta berasal dari teori pluralisme (keberagaman) negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksi menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentingan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memang memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cenderung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara.

Dari ketiga pandangan Feminisme diatas, secara langsung memang tidak menekankan pada pertanyaan “siapakah perempuan?” Melainkan bagian dari upaya untuk menerjemahkan perempuan dalam lingkup relasinya (keterhubungan) dengan lingkungan disekitar mereka (Negara, kebijakan-kebijakan, sistem politik-sosial-budaya-ekonomi, dan lain lain). Jarang ditemukan pengkajian ilmiah yang secara tegas berusaha untuk menjelaskan perempuan dalam konteks subjek eksistensi hidupnya. Mungkin, pendekatan melalui aliran Feminisme Eksistensialisme adalah yang cukup tepat.

2. FEMINISME EKSISTENSIALIS

Dalam tradisi feminisme, setidaknya untuk di Indonesia, eksistensialisme lebih berarti sebagai suatu kajian filosofis. Ia belum banyak dikenal sebagai gerakan baru dari feminisme. Dengan demikian, perlu kiranya kita memahami serta mengenali feminisme eksistensialis dalam kerangka kajian feminisme itu sendiri, dan ditambah dengan refleksi filosofis mengenai eksistensi manusianya.

Feminisme Eksistensialis baru menemukan wajahnya ketika tokoh feminis asal Perancis, Simone Ernestine Lucia Marie Bertnand de Beauvoir, atau yang lebih dikenal Simone de Beauvoir. Untuk pertama kali mengikutsertakan konsep “keberadaan” milik Jean-Paul Sartre, dalam mengkaji feminisme.

Menurut Sartre, terdapat tiga modus “Ada” pada manusia, yaitu Ada dalam dirinya (etre en soi), Ada bagi dirinya (etre pour soi), dan Ada untuk orang lain (etre pour les autres). Etre en soi adalah keberadaan yang penuh, sempurna, dan digunakan untuk membahas obyek-obyek yang non manusia karena tidak berkesadaran. Sedangkan etre pour soi mengacu pada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran, yang merupakan ciri khas manusia.

Konsep Sarte yang paling mendekati feminisme adalah etre pour les autres. Ini adalah kajian filosofis yang melihat relasi-relasi manusia. Seperti halnya relasi kaum perempuan dengan kaum lelaki yang banyak dijelaskan oleh teori feminisme. Laki-laki mengobyekkan perempuan. Jadi, laki-laki adalah subyek dan perempuan adalah obyek. Banyak nilai-nilai keidealan yang dianut perempuan, merupakan buah penilaian laki-laki atas perempuan. Setiap nilai mengandung subyektifitas proyeksi serta persepsi kaum lelaki, dan terkristalisasi menjadi suatu keidealan. Sebagai contoh, dalam keyakinan-keyakinan perempuan, kecantikan fisik seorang perempuan yang perlu dibangun adalah kecantikan versi laki-laki. Meliputi diantaranya, rambut panjang, kulit putih bersinar, serta tubuh yang semampai. Termasuk didalamnya mengenai gaya berpakaian kaum perempuan. Lebih dari itu, pola karakter serta sikap tingkah laku perempuan juga ikut diatur. Perempuan yang ideal dimata lelaki adalah perempuan yang tutur katanya sopan, halus, lemah lembut sikap perilakunya, dan lain-lain. Penulis melihat, semua nilai itu tak ayal mengasingkan perempuan dari konsep otentik yang bersifat subjektif tentang eksistensi/keberadaan seorang perempuan. Untuk menghindar dari keterasingan, perempuan perlu bersikap tegas dalam menerima posisi obyek. Tegas yang dimaksud disini adalah, perempuan harus memahami serta memikirkan kembali setiap nilai yang diterimanya dari kaum lelaki, dan mempertentangkannya dengan sisi subjektif yang dimiliki kaum perempuan. Inilah titik awal perempuan yang bereksistensi. Perempuan yang coba menerjemahkan perihal keberadaannya didunia ini. Tidak terkecuali mengenai relasinya dengan para lelaki.

Senada dengan Simone de Beuvoir, tentang hubungan kaum perempuan dan kaum laki-laki. Perempuan menjadi “yang lain” dimata laki-laki sebagai “diri”. Jika “yang lain” adalah ancaman bagi sang “diri”, maka perempuan adalah ancaman bagi kaum laki-laki. Karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya. Menurut Beauvoir, laki-laki dapat menguasai perempuan dengan menciptakan mitos bahwa perempuan yang dipuja laki-laki adalah perempuan yang mau mengorbankan dirinya untuk laki-laki. Menurut Margaret A. Simons, ada dua elemen dalam konsep feminisme eksistensialis Simone de Beauvoir. Pertama gender dikonstruksi secara sosial, hasil dari sosialisasi masa kanak-kanak perempuan. Beauvoir mengatakan, bahwa bukan takdir ekonomi, biologis, dan psikologis yang menentukan figur manusia, melainkan peradaban (civilization). Selama ini perempuan dikonstruksikan sedemikian rupa untuk menjadi perempuan yang diinginkan masyrakat. Sekali lagi, perempuan hanya menjadi obyek dalam berbagai aspek, dalam berbagai bentuknya.

Kedua, gender merupakan suatu proses menjadi, karena itu mengandung makna pilihan dan perubahan (choice and change). Gender adalah proses terbuka terhadap tindakan sosial dan pilihan individual. Judith Butler menyebut elemen kedua ini adalah elemen yang paling mewakili sisi eksistensialis dari feminisme Simone de Beauvoir.

Melalui penjelasan diatas, maka dapat ditarik satu garis besar bahwa, feminisme eksistensialis mengajak perempuan untuk menolak segala bentuk opresi—baik itu melalui nilai budaya, kondisi sosial, ekonomi, dan lain-lain—yang dapat mendiskriminasikan perempuan atas hak serta kebebasannya, dan bisa menghilangkan sisi keberadaan/eksistensinya sebagai manusia. Dalam konteks relasi perempuan dan laki-laki di lingkungan masyarakat seperti saat ini, hal yang perlu dilakukan perempuan adalah menghidupi sisi subyektif yang dimilikinya. Ini melihat karena kiranya hampir tidak mungkin seorang perempuan, bahkan juga laki-laki, dalam proses interaksinya menjalin relasi kepada sesama, mampu menghindar dari posisi obyek. Kita boleh saja menerima posisi itu, dengan catatan tidak mematikan sisi subyektif didalam diri kita. Karena hanya dengan menjadi suyektiflah kita dapat melakukan serangkaian aksi berkesadaran dalam memilih pilihan hidup. Hendak kemana dan bagaimana kehidupan kita berjalan, adalah pertanyaan yang hanya mampu dijawab oleh manusia yang telah matang dalam mengelola sisi subyektifnya. Begitupun dengan pertanyaan “siapakah perempuan?” Setiap perempuan, tanpa terkecuali, akan dapat memecahkan teka-teki hidupnya, jika terlebih dahulu perempuan itu menyadari bahwa, ia juga manusia yang memiliki kebebasan dalam memilih serta menentukan arah hidup. Ia bukanlah robot yang dikendalikan dari jauh, dalam jarak yang sulit terjangkau, melainkan hidupnya adalah begitu dekat dengan dirinya. Setiap saat, kapanpun dan dimanapun, ia dapat berinteraksi secara baik dengan dirinya. Hal yang juga perlu dilawan oleh perempuan adalah, segala bentuk internalisasi gagasan yang dapat membatasi, memberi jarak atau bahkan menfragmentasi perempuan dengan dirinya.

Seperti yang terpaut dalam kalimat Simone de Beauvior: “One is not born, but rather becomes a woman”. Kehidupan yang dijalani perempuan adalah serangkaian proses menjadi. Pengelamannya adalah pengalaman perempuan, sebagai subyek, yang coba mengalami serta berusaha menjadi.

Salam, ArisNya

Kritik terhadap Modernitas

Kritik terhadap Modernitas[1]

“Lihat dirimu sendiri.

Berdiri di kursimu dan bercerminlah.

Apa yang kau lihat adalah ciptaan Tuhan.

Kita tidak ditakdirkan menjalani kehidupan melalui mesin.”

(cuplikan kalimat pembuka dari film “Surrogate”)

Modernitas atau modernisasi, sebenarnya ingin menciptakan kesinambungan dalam konteks pembangunan dan kesejehateraan. Proses untuk mencapai tujuan itu memang tidak semudah yang dibayangkan, karena masih banyak ditemukan ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh negara maju terhadap negara berkembang. Apalagi ditambah dengan berkembangnya era kesadaran teknologi yang justru di lakoni oleh negara industri maju, sebagai pihak yang ingin memulai perubahan zaman ditandai pengambilalihan fungsi manusia oleh teknologi. Dalam film Surrogate, kita dapat melihat bahwa manusia sudah tidak percaya akan keberadaanya sebagai subyek, karena kediriannya sudah dimatikan oleh teknologi. Manusia mengalami gejala disfungsi sosial akibat berlarutnya masalah sosial yang dihadapi, dan menjadi frustrasi sosial. Tekanan hidup yang dihadapi tidak bisa diatasi sendiri oleh manusia subyek, karena pada dasarnya manusia sangat bergantung pada alat-alat produksi. Namun sayangnya kemampuan manusia dalam melihat itu semua di kedirikan oleh nafsu hedonis, yang justru menyebabkan manusia jadi hilang akal sehatnya dan terkungkung oleh ketidaksadaran diri.

Kebergantungan manusia terhadap modernitas, mencapai puncaknya ketika teknologi menjadi subyek, dan manusia menjadi objek. Di film tersebut, dijelaskan bahwa semua manusia di perut bumi, mengkloning dirinya dengan alat “Surrogate” dengan tujuan manusia terbebas dari tekanan hidup yang tidak menyisakan ruang untuknya menunjukkan kapasitasnya. Manusia tidak terbebas ketika teknologi memerankan ketidaknormalan itu, karena manusia diciptakan Tuhan dalam kondisi ketidakpastian yang terus berlangsung hingga sekarang. Kehadiran teknologi dalam hidup manusia cenderung memutuskan solidaritas sosial yang semestinya menjadi tradisi di era kapitalisme ini, manusia menjadi nirmakna ketika mereka menganggap kehidupan sudah ada yang mengatur, dan manusia menyerahkannya tanpa alasan rasionalitas yang dapat diterima.

Manusia kehilangan independensinya dalam membuat keputusan terkait peranannya dalam kehidupan sosial, dalam menciptakan kesadaran untuk bangkit dari ketidaksadarannya. Manusia menjadi ambigu ketika mereka tidak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan hidupnya, disorientasi tampak sekali ketika manusia tidak bisa membedakan mana hal yang subjek, dan mana yang objek. Artinya manusia tidak ingin mati, mereka ingin terus eksis tanpa tahu harus bagaimana mewujudkan itu semua. Semua manusia ingin bebas dari tekanan, mengendalikan keinginanya tanpa batasan aturan yang membelenggu dirinya, manusia ingin terlihat sempurna dalam bingkai dunia konsumsi. Keharusan untuk tampil sempurna menjadikan manusia tanpa substansi, tidak berdaya ketika mesin-mesin menawarkan sejuta keinginan kepada manusia untuk mempercantik tubuhnya.

Dan pada saat itu pula, industri bermain secara cerdas menghegemoni manusia untuk menjadi konsumennya tanpa perlu embel-embel sosial yang melekat pada aspek manusia secara keseluruhan. Dalam film tersebut, sangat jelas dimana manusia berlomba-lomba menghamba pada mesin-mesin produksi, untuk tampil beda dan mengkutuk kepribadiannya sendiri, serta menyerahkan kebebasannya pada mesin-mesin produksi. Jadi manusia tidak berproses sama sekali, dia mengalami benturan secara psikis menyangkut eksistensi dalam masyarakat. Manusia tidak percaya diri, walaupun manusia secara hierarki mengendalikan teknologi pada dasarnya itu hanya untuk menunjukkan bahwa manusia sudah kehilangan entitasnya.

Dualitas Manusia.

Pertentangan antara manusia memang pada dasarnya merembet kepada hal-hal yang subjektif, pertentangan itu dimulai ketika manusia tidak lagi menjadi hasrat(liyan) bagi dirinya dan orang lain. Hasrat untuk menjadikan dirinya subyek bagi orang lain, tetapi memilih jalan lain, yaitu menyerahkan hasratnya pada mesin-mesin produksi. Itu yang dipilih oleh sebagian manusia ketika dirinya dihadapkan pada situasi dilematis, tidak ada jalan keluar akibat keharusan ingin mencitrakan dirinya sebagai yang sempurna. Bahwa manusia dikonstruksikan oleh Tuhan tidaklah sesempurna, berarti telah terjadi kontradiksi antara manusia dan dirinya. Ataukah yang sempurna hanya milik Tuhan semata, dan manusia tidak berhak untuk mengklaim ingin dilahirkan secara sempurna? Hasrat untuk terlihat seksi, cantik, lebih mendominasi dialektika manusia saat ini, terlebih ketika dunia konsumsi menjadi budaya baru yang sulit dicegah dampak sosialnya. Lalu apa yang akan terjadi ketika manusia di perankan oleh seonggok robot-robot, tetapi pada saat yang sama manusia mampu mengendalikannya tanpa ada yang bisa menghentikannya? Manusia memperebutkan hasratnya hanya untuk eksistensi, tetapi di satu sisi manusia tidak berdaya bahwa hasrat sebenarnya tidak membutuhkan mesin-mesin produksi untuk menampilkan citranya dihadapan orang lain.

Kegilaan ini tampak semakin vulgar ketika industri kecantikan memberikan pilihan-pilihan kepada konsumennya untuk terlihat ideal dalam perspektif pasar, dan manusia sekali lagi merelakan dirinya menjadi objek dualitas yang manusia ciptakan sendiri. Dikotomi antara dualitas subjek dan objek tampak sekali mengiringi perjalanan film Surrogate, ketika Agen Geer -akhirnya memilih menjadi manusia- tidak bisa melihat secara nyata keadaan istrinya, karena istrinya menjadi robot. Bahwa ternyata pilihan untuk menjadi robot tidaklah sesuai dengan keinginan subjektifnya, walaupun manusia yang mengendalikan tetapi itu tidak membantu, artinya mesin-mesin produksi hanyalah sebuah alat yang tidak memiliki dimensi logika yang sewajarnya dimiliki manusia rasional. Eksistensi manusia tidak bisa diukur dan menyerahkannya begitu saja urusan itu pada mesin-mesin produksi, dan manusia menjadi orang lain( The Other). Bangunan struktur manusia akan runtuh jika manusia tidak lagi mengakui bahwa dirinya sudah menjadi the other, dan pada akhirnya bangunan struktur itu akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial, dimana manusia tidak lagi menggunakan hasrat, logika, dan rasa kemanusiaanya untuk merubah ketimpangan dunia yang dimana penindasan, ketidakadilan, korupsi,kemiskinan, tidak lagi dianggap sebagai masalah sosial, tetapi sudah bergeser menjadi sesuatu yang usang, karena yang dipikirkan manusia hanyalah eksistensi diri dalam dunia konsumsi menuju era modernitas kosmopolitan dan di hegemonikan oleh negara-negara industri.


[1]Tulisan ini untuk bahan Diskusi Kamis Sore, Kamis-25 November-2010

Atlantis Indonesia

Oleh Imam Sapargo

Atlantis[1]! Sebuah kata singkat yang telah melewati rentang waktu begitu panjang melalui tradisi lisan para “orang tua”, legenda, bahkan telah menjadi mitos yang terjaga keberadaannya. Namun demikian, kata ini telah dikenal semenjak Plato menulis dua dialog, yakni Timaeus dan Critias sekitar 360 SM yang menjadi reverensi awal akan keberadaan Atlantis itu sendiri. Berdasarkan tulisan tersebut Prof. Arysio Nunes dos Santos[2] melakukan riset selama 30 tahun yang kemudian berhasil menguak tabir dari mitos mengenai Atlantis. “Atlantis benua yang hilang”, “Atlantis kota yang tenggelam dibawah laut”, “Atlantis surga yang pernah ada” dsb itu merupakan mitos-mitos yang kebenarannya berdampingan dengan awal peradaban manusia di bumi.

Perlu dicatat, Prof. Arysio Santos melakukan riset ini dengan menerapkan prinsip “pisau cukur Ockham”[3] untuk semua bahan-bahan risetnya. Salah satunya mengenai penanggalan yang diberikan oleh Plato terhadap bencana alam berskala global yang terjadi selama satu hari satu malam di Atlantis, tepatnya pada tahun 11.600 SM. Penanggalan ini bertepatan pula dengan penanggalan akhir Zaman Es Pleistosen dan juga Meltwater[4]Pulse 1B (disingkat menjadi MWP1B). Hal tersebut menjadi penting dalam riset ini, sebab fenomena geologis yang terjadi menjadi rujukan Prof. Arysio Santos untuk mengurai awal mula peradaban-peradaban yang selanjutnya berkembang di dunia.

Hasil riset tersebut nantinya mampu menjelaskan gejala universalian yang dimiliki oleh banyak peradaban di dunia yang kita kenal, sebut saja Aztlan (Aztec) dan Tolan (Maya) (Keduanya dilahirkan oleh bangsa Inca), India dengan sungai Indusnya, Celtic, Indian C olorado di Amerika Serikat, Minoa-Kreta, Aborigin Australia, Mesir, Roma, hingga ke Yunani. Sebelum sampai jauh kesana, ada baiknya kita mulai dengan Atlantis itu sendiri. Dimanakah letak Atlantis itu sesungguhnya berada? Secara samar dan rahasia, Plato memberikan informasi tersebut dalam tulisannya di bagian dialog Timaeus 24e-25a yang kemudian diterjemahkan oleh Benjamin Jowett[5] sebagai berikut:

“Banyak perbuatan hebat dan luar biasa yang dicatat dari negaramu di dalam sejarah-sejarah kami. Tetapi, salah satu dari hal tersebut melebihi yang lain dalam hal kebesaran dan keberanian. Karena sejarah-sejarah ini menceritakan suatu kekuatan hebat yang secara tak beralasan menjalankan ekspedisi terhadap seluruh Eropa dan Asia, dan yang mana kotamu menjadi titik akhirnya. Kekuatan ini muncul dari Samudra Atlantik – karena di masa itu Samudra Atlantik dapat dilayari – dan di sana ada sebuah pulau yang terletak di depan selat-selat yang kau sebut sebagai Pilar-Pilar Heracles. Pulau ini lebih besar daripada Libia dan Asia digabungkan, dan merupakan jalan ke pulau-pulau lain; dan dari pulau-pulau ini, Anda dapat melintasi keseluruh benua yang berhadapan yang mengelilingi Samudara yang Sesungguhnya. Karena laut ini, yang berada di dalam Selat-selat Heracles, hanyalah sebuah pelabuhan dengan sebuah jalan masuk yang sempit. Tetapi, yang satunya lagi adalah laut sebenarnya dan tanah yang mengelilinginya mungkin benar-benar yang disebut benua tanpa batas.”

Jika kita perhatikan secara seksama kutipan diatas, sesungguhnya Plato tengah bermain kata-kata dengan semua (termasuk kita) orang yang membaca tulisannya. Maka, kalimat tersebut di atas sangatlah sulit diterjemahkan secara harfiah, ini khas perbuatan para cendikiawan pada era itu. Dimana kata dan symbol menjadi penting bagi sebuah kebudayaan. Untuk membuka kode sandi dari rahasia yang disimpan oleh Plato, Prof. Arysio Santos bersama timnya membuat sebuah tabel yang isinya merupakan ciri-ciri pokok Atlantis. Adapun tabel yang dibuat seperti di bawah ini[6]:

Tabel III.1 Geografi Aktual Atlantis yang dituturkan Plato dalam Timaeus (24e-25a)

Dua Pilar (Selat)

Pulau Atlantis (Lebih besar dari Asia+Libia)

Banyak Pulau di Samudra sesungguhnya

Benua Luar di Depan (Benua Sesungguhnya)

Dengan tabel tersebut kemudian Prof. Arysio Santos melakukan riset satu demi satu terhadap semua posisi Atlantis yang dirujuk oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Sebagai bentuk penghematan dan kepadatan tulisan ini, saya mencoba melompat melewati uraian-uraian rinci dalam buku ini terkait letak Atlantis yang direkomendasikan tersebut, hingga meninggalkan beberapa daftar nama-nama tempat yang ditolak oleh Prof. Arysio Santos pada akhirnya. Misalkan dalam Kasus Kuba dan Kepulauaun Karibia,[7] Kasus Kreta, Cyprus, Malta, dan Lokasi Mediterania lainnya,[8] Kasus Paparan Celtic, Maroko, dan Tartessos,[9] hingga Antartika dan Samudra Arktik.[10]

Lompatan saya ini pun kemudian sampai kepada hasil temuan Prof. Arysio Santos dalam tabel IV.1 yang isinya adalah sebagai berikut:[11]

Tabel IV.1 Hasil Pengamatan terhadap Wilayah Indonesia dan Selat Sunda

Selat bermulut sempit (Sunda)

Pulau sangat luas terletak tepat di depan (Lebih besar dari Libia dan Asia) (Atlantis-Indonesia)

Banyak Pulau di depan (Melanesia, Mikronesia, Polinesia) di Samudra sesungguhnya (Pasifik)

Benua Luar di luar Samudra Sesungguhnya (Amerika)

Tabel tersebut adalah bukti otentik dari apa yang dikatakan oleh Plato kepada kita yang dirumuskan oleh Pro. Arysio Santos. Jika kita masih memiliki pikiran bahwa rumus itu salah (memang bisa salah), maka semua kebetulan dan kebenaran-kebenaran ini mesti dicari perbandingannya kembali. Mari kita perhatikan kembali, dimana lagi ada ciri-ciri tersebut yang dapat ditemukan selain di Indonesia?

Setelah kita mengurai secara singkat letak Atlantis di Indonesia, seperti yang saya tulis sebelumnya dibagian awal kita akan kembali melihat gejala universalian yang terjadi diseluruh peradaban dunia yang kejadiannya hanya dapat dijelaskan oleh sebuah divusi (penyebar luasan) budaya dari satu dinasti yang sangat besar yang membentang dari Samudra Hindia hingga Samudra Pasifik, yakni Atlantis itu sendiri. Mari kita mulai memundurkan hitungan waktu saat manusia (atau lebih tepatnya sejenis kera yang menyerupai manusia (anthropoid simian) yang merupakan nenek moyang kita) muncul pertama kali di kawasan Afrika sekitar tiga juta tahun yang lalu. Saat itu mereka tinggal di daerah sabana-sabana.[12] Tentu saja beriklim tandus sementara dibelahan bumi lainnya (Eropa) saat itu beriklim dingin dan tertutup salju. Kedua tempat tersebut tidaklah cocok sebagai tempat mereka tinggal sehingga mereka pun melakukan eksodus secara besar-besaran menuju Eurasia dan mencapai timur jauh (baca Indonesia) dan Australia setidaknya sekitar satu juta tahun yang lalu. Budaya bercocok tanam kemudian berkembang pesat diwilayah ini yang kemudian Plato namakan sebagai Atlantis tua atau Atlantis Lemuria satu dari dua Atlantis yang disebutkan oleh Plato.

Kedua Atlantis yang dirujuk oleh Plato sebetulny sama dengan Ibu dan Putra dalam tradisi-tradisi suci sebagian besar bangsa di bumi ini. Peradaban Atlantis Lemuria dengan budaya bercocok tanamnya membuat daerah ini (baca kembali Indonesia) menjadi surga atau eden. Dialah Ibu yang melahirkan peradaban Atlantis (putra) selanjutnya tanpa “dibuahi” karena dialah satu-satunya peradaban yang ada ketika itu. Hingga pada akhirnya terjadi bencana yang bersifat global yang mempengaruhi kehidupan mereka, yakni bencana meletusnya gunung merapi Toba kurang lebih 75 ribu tahun yang lalu.

Bencana ini hampir tak bisa tertahankan, hingga membuat populasi manusia saat itu menjadi langka, hingga mencapai ribuan orang. Karena Atlantis Lemuria telah luluh lantah, terjadilah kembali Eksodus manusia untuk kedua kalinya yang mencapai India hingga ke Mesir. Catatan tambahan, bahasa sebagai alat komunikasi manusia telah ada waktu itu, bahasa tersebut adalah bahasa Sansekerta dan bahasa Dravida, kedua bahasa tersebut adalah bahasa keseharian bangsa Atlantis pada saat itu. Dimana saat terjadi eksodus manusia, kedua bahasa tersebut tetap dipertahankan, dan kemudian menjadi akar bahasa bangsa mesir untuk pertama kalinya. Dari bahasa inilah kita kemudian mengenal kata padi di Indonesia, dimana kata tersebut diambil dari nama belakang Saning sari (atau sarici=padi). Kemudian meluas ke dalam bahasa lain seperti kata oryza (Yunani), cerealis (Latin), dan rice (Inggris).

Kembali ke Atlantis, sebagaian dari ribuan orang tersebut memilih bertahan di India dan Mesir, sedangkan sebagian yang lain memilih untuk tetap kembali ke surga yang telah mereka tinggalkan. Mereka inilah kemudian yang secara berkala kembali menghidupkan Atlantis sebagai surga yang mereka tempati sebelumnya. Plato kemudian menguraikan lebih jauh mengenai Atlantis ini yang katanya Atlantis berada di kawasan tropis pada zaman es Pleistosen, berlimpah sumber daya alam, seperti timah, tembaga, seng perak, emas, berbagai macam buah-buahan, padi, rempah-rempah, gajah raksasa, hutan dengan berbagai jenis pohon, sungai, danau, dan saluran irigasi. Namun demikian, bencana kembali terjadi. Penyebabnya saat ini adalah karena letusan besar gunung merapi Krakatau yang terjadi pada tahun 11.600 SM yang mengakibatkan berakhirnya zaman es Pleistosen. Es yang mencair kemudian meluap hingga ketinggian mencapai 130-150 meter dan bahkan lebih.[13]

Kisah Atlantis yang tenggelam ini, terdapat juga di dalam naskah kuno Aztec yang berasal dari pra kolombia. Gambar pertama,[14] menunjukan Surga priomordial bangsa Indian Meksiko tengah tenggelam. Pada gambar tersebut laut tengah bergejolak yang hanya menyisakan puncak gunung berapi yang berbentuk pulau. Kemudian, gambar laki-laki diatas gunung tersebut merujuk pada tradisi Yunani yakni Atlas yang menopang bumi. Gambar kedua, [15]yang berasal dari kuil Maya di Yucatan, Meksiko. Gambar tersebut kita melihat alias atau tiruan Nuh yang tergesa-gesa meinggalkan wilayah Tolan, surge bangsa Maya, yang hancur. Ikan mati dan orang mati menggambarkan dengan jelas sifat mematikan dari bencana besar yang ditunjukan gambar ini. Dan demikian pula dengan kuil batu yang tampak hancur menyisakan gunung merapi yang berbentuk pulau.

Tadi kita sempat menyinggung atlas, untuk mengetahui sosok atlas lebih jauh lihat gambar Quetzalcoatl dan Atlas yang memikul langit.[16] Gambar pertama menggambarkan Quetzalcoatl yang memikul langit, sedangkan gambar kedua menunjukan Atlas melakukan hal yang sama menurut mitologi Romawi dan Yunani. Karena mereka menyangga langit inilah maka mereka dipersonifikasikan sebagai pilar-pilar Herkules. Dimana pilar herkules tersebut pada akhirnya merujuk pada gunung Krakatau itu sendiri yang meledak pada saat itu. Sekedar informasi nama Krakatau rupa-rupanya berasal dari bahasa sansekerta krakaca yang berarti “sabit, arit” atau “pedang”. Perujukan kata “sabit” atau “pedang” rupa-rupanya merujuk kepada fakta bahwa letusan Krakatau benar-benar memisahkan Jawa dan Sumatra, seolah-olah dibelah oleh sabit atau pedang dimana Atlantis itu berada. Letusan gunung merapi itu pun berlanjut hingga kini, sehingga kawasan Indonesia dapat juga disebut sebagai “Sabuk Api Pasifik”.

Inilah informasi-informasi yang berkaitan langsung dengan Atlantis Indonesia. Bukti-bukti yang dikemukakan oleh Prof. Arysion Santos dalam bukunya tersebut benar-benar menunjukan fenomena geologis yang serupa antara Atlantis dengan Indonesia. Sehingga kebenaran buku ini tidak dapat lagi terbantahkan, paling tidak hingga menunggu buku lainnya yang dapat menjelaskan lebih rinci dan detail dari pada buku ini.

Depok, menjelang fajar.


[1] Tulisan ini ditujukan sebagai bahan diskusi dalam forum Diskusi Kamis Sore dalam bedah buku karya Prof. Arysio Santos yang berjudul Atlantis: The Lost Continent Finally Found

[2] Seorang fisikiawan nuklir dan ahli geologi dengan gelar Ph.D. yang berasal dari negara Brazil.

[3] Prinsip yang menyatakan, “Berpeganglah pada satu penyebab tunggal jika hal tersebut bias menjelaskan semua hal.”

[4] Air yang terbentuk oleh mencairnya salju dan es, khususnya dari gletser.

[5] Lihat bagian III: Beragam Lokasi Atlantis, halaman 321 dalam buku Prof. Arysio Santos

[6] Lihat bagian III: Beragam Lokasi Atlantis, halaman 329 dalam buku Prof. Arysio Santos

[7] Diulas lebih mendalam dan rinci pada bagian III: Beragam Lokasi Atlantis, halaman 333-339 dalam buku Prof. Arysio Santos

[8] Halaman 339-361

[9] Halaman 381-403

[10] Halaman 405-421

[11] Perhatikan tabel IV.1 di halaman 549

[12] Sabana: lapang rumput yang terbuka luas.

[13] Lebih dalam dibahas pada bagian I: Sejarah Atlantis yang Sesungguhnya mulai dari halaman 119-145 dalam buku Prof. Arysio Santos

[14] Buka halaman 168

[15] Buka halaman 173

[16] Buka halaman 175

Bahan Untuk Diksusi Kamis Sore (DKS) tanggal 28 Oktober 2010

oleh Galih

PKI bukan dalang G 30 S

Peristiwa 1 Oktober 65 merupakan jejak hitam perjalanan bangsa ini yang belum terungkap kebenarannya sampai detik ini. Peristiwa berdarah yang “hanya” memakan korban jiwa sebanyak 12 orang harus dibayar dengan terbunuhnya jutaan nyawa rakyat lainnya. Harga nyawa para korban Jendral AD ini seolah-olah menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan nyawa jutaan rakyat lainnya. Rakyat yang menjadi korban saat itu adalah mereka yang terlibat secara langsung dan tidak langsung terhadap peristiwa berdarah yang dikomandoi oleh 3 orang militer dan 2 orang sipil ini. Para pimpinan gerakan 30 September adalah Letkol Untung, Kolonel Latief, Brigjen Supardjo sebagai wakil dari militer. Syam dan Bono adalah 2 orang sipil yang berasal dari Biro Chusus PKI. Di buku putih terbitan Sekretariat Negara tahun 1994 mengenai peristiwa ini, PKI dijadikan dalang utama peristiwa 1 Oktober 1965. PKI di tuding sebagai dalang karena adanya fakta keterlibatan para tokoh pemimpin PKI seperti Aidit dan Sjam dalam peristiwa ini. Fakta lain yang diungkapkan adalah mengenai tempat penculikan yaitu lubang buaya. Lubang buaya dipaparkan oleh buku tersebut sebagai tempat berkumpulnya para pemuda/I yang berasal dari organ yang berafiliasi dengan PKI seperti Gerwani, BTI, Pemuda Rakyat untuk merencanakan aksi berdarah ini. Selain itu fakta yang ditampilkan oleh buku putih ini adalah aksi-aksi kekerasan yang dilakukan para anggota organ-organ seperti BTI di beberapa daerah sebelum peristiwa berdarah ini terjadi. Semua fakta yang di tampilkan buku putih banyak mendapat bantahan karena memang fakta yang ditampikan sangat aneh dan sangat dipaksakan. Fakta-fakta yang ada di dalam buku putih bercampur dengan asumsi-asumsi yang menyudutkan PKI sebagai terdakwa, PKI dituding sudah lama merencanakan aksi berdarah ini, asumsi yang ditampilkan buku putih adalah pernyataan ketua CC PKI DN.Aidit yang mengusulkan agar para kaum buruh dan tani dipersenjatai dan dibentuk angkatan bersenjata ke lima diluar angkatan-angkata bersenjata yang sudah ada, selain itu fakta bahwa sakitnya Soekarno dijadikan penyebab mengapa PKI melakukan aksi berdarah. Dengan sakitnya Soekarno, dan kemungkinan Soekarno akan lumpuh atau wafat maka PKI melakukan aksi berdarah sebelum di dahului oleh para jendral anti komunis yang kemudian dikenal dengan sebutan Dewan Jendral. Asumsi ini dikemukan sebagai fakta oleh Soeharto untuk menjelaskan ke masyarakat umum bahwa PKI merupakan actor intelektual dibalik aksi berdarah terhadap para jendral.

Fakta-fakta ini bisa kita perbandingkan dengan fakta-fakta lain yang dikemukan baik dari saksi hidup peristiwa 1 Oktober 1965, Heru Atmodjo, Dokumen pembelaan Sudisman, Analisis Iskandar Subekti serta Pledoi Supardjo ataupun dari karya-karya John Roosa, Ben Anderson, Ruth Mcvey, Harold Crouch ataupun referensi lain yang berbeda.

Pertama mengenai keterlibatan para pimpinan PKI seperti Aidit, Sjam dalam peristiwa ini, di dalam buku “dalih pembunuhan massal, gerakan 30 September, kudeta Soekarno” karangan John Roosa di kemukakan bahwa keterlibatan tokoh-tokoh tersebut merupakan keterlibatan individu-individu berjiwa progresif atas situasi saat itu, dimana beberapa hari sebelum peristiwa 1 Oktober 1965 gencar terhembus isu bahwa adanya Dewan Jendral yang akan melakukan kudeta terhadap Soekarno. Atas adanya isu ini, ketua CC PKI DN.Aidit meminta Sjam yang menjabat ketua Biro Chusus untuk mengecek kebenaran isu ini. Disini lah kemudian Sjam memainkan peran utamanya, Biro Chusus merupakan suatu badan kerja yang tidak ada didalam struktur resmi PKI namun di garis komandonya langsung di bawah DN.Aidit sebagai ketua partai. Tugas dari Biro Chusus adalah melakukan kaderisasi di kalangan militer untuk kepentingan partai. Mengenai adanya isu dewan jendral juga dipaparkan oleh Soebandrio dalam buku nya “kesaksianku peristiwa G 30 S”. dalam buku nya tersebut, Soebandrio memaparkan bahwa isu mengenai adanya dewan jendral santer terdengar saat itu. Bahkan Soebandrio pernah mendengarkan sebuah rekaman suara berisi rapat dari Dewan Jendral tersebut, suara didalam rekaman tersebut diyakini oleh Soebandrio sebagai suara Jendral. S.Parman. Rekaman suara ini, di dapat Soebandrio dari 4 orang tokoh politik yang berasal dari PNI, Masyumi, dan PSI.

Sjam yang dekat dengan kalangan militer mempunyai akses yang cukup luas untuk mengkoordinir para perwira muda seperti Untung dan Latief untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap aksi dewan jendral ini. Tokoh Sjam di sinyalir sebagai agen ganda yang bermain di AD dan PKI. Isu ini berhembus membuat para perwira muda seperti Untung dan Latief melakukan tindakan terhadap para jendral AD pro USA. Sjam kemudian melaporkan kepada Aidit bahwa isu Dewan Jendral ini benar adanya, Aidit kemudian menimbang-nimbang pilihan untuk melakukan aksi mendahului aksi para dewan jendral ini atau menunggu aksi dewan jendral berlangsung. Pertimbangan untung rugi yang akan dihadapi partai pada akhirnya membuat Aidit memutuskan untuk mengubah rencana awal untuk menanti menjadi mendahului aksi militer kepada para Jendral ini. Dengan pertimbangan kesehatan Soekarno yang pada saat itu sangat menurun membuat Aidit memilih rencana untuk mendahului aksi militer karena ditakutkan nantinya para Jendral AD ini akan melakukan aksi militer terhadap PKI tanpa menghiraukan lagi Presiden Soekarano. Dari analisis seorang anggota politbiro PKI, Iskandar Subekti dipaparkan bahwa Aidit pernah menjelaskan mengenai keputusan Politbiro kepada sekelompok anggota Central Commite, di dalam penjelasan tersebut Aidit menekankan bahwa sebuah klik perwira progresif sedang merancang suatu aksi menentang Dewan Jendral dan bahwa partai akan memberikan “dukungan politis”. Dan rapat penjelasan Aidit tersebut bukan merupakan sidang resmi Politbiro yang diperluas ataupun sidang Central Commite yang dipersempit. Masih menurut penjelasan Iskandar Subekti bahwa Aidit selama bulan September melakukan tindakan sendiri tanpa adanya pengawasan dari Politbiro dan Central Commite. Selama bulan September ini, Politbiro tidak pernah bersidang untuk mendengarkan laporan dari ketua CC PKI.

Selanjutnya mengenai lubang buaya yang di katakan sebagai tempat berkumpulnya para pemuda/I dari organ-organ seperti BTI, Lekra, Gerwani dan para anggota PKI lainnya untuk merencanakan menculik serta membunuh para Jendral, terbantahkan dengan pernyataan dari Heru Atmodjo – Heru Atmodjo adalah perwira Intelejen AURI berpangkat Letkol yang menjadi saksi hidup peristiwa ini – . Ia mengatakan bahwa lubang buaya yang dijadikan tempat disiksanya para jendral sebelum dibunuh dikatakan sebagai tempat pelatihan militer untuk para pemuda/I yang nantinya akan dikirim menjadi sukarelawan Dwikora didalam konfrontasi dengan Malaysia. Padahal tempat pelatihan militer tersebut faktanya bertempat di daerah Pondok Karet yang jaraknya dari tempat penculikan dan pembunuhan para Jendral cukup jauh. Peserta pelatihan militer ini bukan hanya terdiri dari pemuda/I dari BTI, Gerwani, dan Pemuda Rakyat namun juga ada pemuda/I yang berasal dari PNI, NU, serta PSI. Tempat pelatihan ini dikelola oleh AURI, namun pelatihan militer ini sudah lama ditutup jauh sebelum peristiwa 1 Oktober 1965 terjadi. Menurut Heru Atmodjo, alasan utama tempat ini ditutup karena sejak awal pelatihan ini di buka banyak beredar isu-isu tidak sedap yang menyudutkan AURI. Pada tanggal 26 Juli 1965 pelatihan terhadap sukarelawan ini di bubarkan. AURI menjadi satu-satu angkatan bersenjata yang dituduhkan pihak AD Soeharto juga terlibat di dalam aksi ini. Tuduhan ini didasari pada tempat ditemukannya mayat-mayat para jendral AD yang menjadi korban 1 Oktober 1965 berada di daerah kekuasaan AURI, selain itu pernyataan Laksamana Muda Oemar Dhani di radio yang “mendukung” aksi para perwira muda terhadap para Jendral AD. Dukungan dari Oemar Dhani sebagai KSAU terhadap tindakan para perwira muda ini, didasari karena kesetian Oemar Dhani kepada Soekarno, Oemar Dhani merupakan orang dekat dan kepercayaan Soekarno.

Namun selain karena adanya isu Dewan Jendral, di tubuh AD sendiri sedang terjadi konflik intern. Terdapat 2 faksi besar saat itu, yang sama-sama menginginkan jatuhnya Soekarno. 2 faksi tersebut adalah faksi A.Yani dan faksi Nasution, kedua jendral ini sama-sama anti komunis. Selain 2 faksi itu, terdapat juga faksi Soeharto yang pada akhir episode peristiwa berdarah ini mendapatkan keuntungan. 2 jendral kanan ini sama-sama pernah bermasalah terhadap Soekarno, Nasution pernah melakukan percobaan kudeta terhadap Soekarno pada 17 Oktober 1952, menurut dokumen pembelaan Sudisman, Nasution pada saat itu bahkan berani menghadapkan moncong-moncong meriam ke arah Istana Presiden. Namun pemberontakan ini gagal, akibatnya Sri Sultan Hamengkubowono IX di berhentikan menjadi Menhan sementara Nasution untuk sementara di non aktifkan. Sementara A.Yani merupakan Jendral yang selalu bersebarangan dengan politik Soekarno terutama terkait dengan PKI. Walaupun A.Yani merupakan salah satu Jendral kepercayaan Soekarno namun sikapnya yang terus berkonfrontasi dengan PKI, membuat ia selalu bersebarangan dengan garis politik Soekarno. Para jendral-jendral AD yang pro USA ini juga banyak melakukan tindakan yang dianggap para perwira muda tidak sesuai dengan garis revolusi Soekarno, mereka hidup mewah sementara para perwira muda hidup dengan sederhana. Akibat adanya 2 faksi ini, AD pun pecah menjadi 2 kekuataan utama yaitu mereka yang anti komunis dan pro USA dengan mereka yang pro Soekarno dan PKI. Posisi Soeharto sendiri berada di tengah-tengah kedua kekuatan utama ini sambil menunggu keuntungan jika terjadi konflik antara 2 kekuatan ini. Di dalam buku John Roosa diungkapkan bagaimana Soeharto memiliki kedekatan dengan para perwira muda yang melakukan aksi berdarah ini, yaitu Untung dan Latief. Soeharto merupakan mantan Komando Batalyon kedua perwira muda ini saat perang gerilya. Sedangkan hubungan antara Soeharto dengan Yani dan Nasution pernah di ungkapkan di dalam buku Soebandrio berjudul “kesaksianku tentang G 30 S” didalam buku yang terbit untuk” kalangan sendiri” ini mengungkapkan bahwa sebelumnya Soeharto pernah mendapat masalah dengan kedua jendral baik Yani dan Nasution, Soeharto di tuduh melakukan korupsi saat menjabat menjadi Pangdam Diponegoro, Yani bahkan sempat menempeleng Soeharto akibat tindakannya ini, Nasution juga mengusulkan agar Soeharto di pecat dan diadili di depan Mahmilub namun pada akhirnya Soeharto “di selematkan” oleh Brigjen Gatot Subroto.

Menurut Penulis dengan fakta-fakta tersebut, keterlibatan para pimpinan PKI merupakan tindakan spontan yang dilakukan karena mereka adalah individu progresif yang tidak menginginkan Soekarno dijatuhkan oleh para Jendral pro USA. Aksi berdarah ini juga merupakan aksi intern AD, bukan aksi yang direncakan para pimpinan PKI untuk melakukan kudeta. Dan kalau pun para pimpinan PKI ini merencanakan aksi ini artinya ini keterlibatan mereka sebagai individu bukan mengatasnamakan partai. Sudisman didalam Pledoi nya di depan mahmilub pada tanggal 21 Juli 1967 mengatakan bahwa Aidit di beberapa akhir menjelang 1 Oktober 1965 menjadi sangat tertutup, ia tidak pernah sekalipun membicarakan mengenai rencana aksi ini di sidang-sidang pleno PKI. Aidit hanya menjelaskan adanya dewan jendral yang disinyalir akan melakukan tindakan kontra revolusioner terhadap kekuasaan Soekarno. Dalam dokumen ini juga dipaparkan mengenai isu dewan jendral tersebut ternyata pernah dikemukakan oleh Yani pada tanggal 27 Mei atau tanggal 28 Mei 1965: didepan rapat Panglima AD, bahwa Yani sendirilah yang membentuk Dewan Jenderal yang bertugas memberikan penilaian politik.

Peran Amerika Serikat

Fakta lain yang berhubungan erat dengan peristiwa ini adalah suasana perang dingin saat itu, dan keterlibatan Amerika Serikat dalam aksi ini. Melihat peristiwa G 30 S sudah sepatutnya untuk juga melihat peristiwa-peristiwa terkait sebelum peristiwa ini terjadi dan juga peristiwa-perisitwa perang dingin yang menyeret Indonesia ke pusaran tarik menarik kepentingan antara blok barat dengan blok timur. Usaha menghentikan dominasi kekuataan komunis di Indonesia merupakan harga mutlak yang harus dilakukan Amerika Serikat, karena jika sampai Indonesia menjadi Negara komunis di Asia Tenggara maka kepentingan ekonomi dan politik di kawasan Asia terutama di kawasan Asia Pasifik akan terganggu. Selain menghentikan dominasi kekuataan komunis target utama Amerika Serikat adalah Soekarno, kekuatan utama pendukung PKI. Sang Proklamator ini menjadi musuh utama Amerika Serikat pada masa itu, sudah telah berulang kali Amerika Serikat menggunakan segala daya dan upaya nya untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. Menurut keterangan Heru Atmodjo , para pejabat Amerika Serikat yaitu ; Averell Harriman, William Bundy, Howard P. Jones, mantan Duta Besar untuk Indonesia, dan Elsworth Bunker, Utusan Khusus Presiden Lyndon B. Johnson, dengan pangkat Duta Besar melakukan pertemuan pada bulan Marer 1965 di Manila, Filipina membicarakan rencana untuk melakukan aksi menjatuhkan PKI dan Soekarno. Kesimpulan akhir pada pertemuan ini adalah merancang suatu aksi untuk memancing PKI menggali lubang kehancurannya sendiri, dan menjatuhkan Soekarno dari tampuk kekuasaan. Amerika Serikat kemudian merancang suatu aksi-aksi provokatif yang kemudian dijalankan oleh para perwira militer yang pro Amerika Serikat dan anti Komunis.

Melawan Stigma

Penghakiman tanpa proses hukum yang adil untuk mereka yang disangka terlibat dalam peristiwa 1 Oktober 65 dilakukan oleh Negara dengan bantuan ormas-ormas agama dan kepemudaan. Nyawa manusia di decade tahun 65 – 66 menjadi sangat tidak berharga, mayat-mayat korban aksi pengadilan barbar ini bergelimpangan di jalan-jalan, di parit-parit, disungai-sungai dan di berbagai tempat lainnya. AD melalui RPKAD dan ormas-ormas ini menjadi tukang jagal untuk setiap anak negeri ini yang di tuduh atau dicap sebagai anggota PKI. Peristiwa berdarah yang bisa dikatakan sebagai peristiwa genoside terbesar abad 20 ini dilakukan tanpa adanya protes dari rakyat lain. Soeharto dan Nasution sebagai otak dari pembantaian besar ini mendapat legitimasi dari rakyat untuk melakukan aksi barbar ini. Data dari Komisi Pencari Fakta (Robert Cribb, Abera, 2001), jumlahnya 78,000 orang terbunuh. Tapi, Oei Tju Tat yang adalah pemimpin tim investigasi menyebutkan bahwa jumlah korban lebih dari 780,000 orang. Sementara Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban, Komando Militer untuk Pemulihan Keamanan dan Gangguan) melaporkan bahwa korban adalah satu juta orang (800,000 orang di Jawa Tengah dan Jawa Timur, 100,000 korban di Bali dan 100,000 di Sumatera). Menurut Jenderal Sarwo Eddy Wibowo Kepala di Komando Angkatan Bersenjata Khusus Komando Resimen (RPKAD) tangan kanan Suharto yang bertanggung jawab untuk menghancurkan PKI, disebutkan setidaknya ada 3.000.000 orang tewas.

Proses legitimasi yang didapat dari rakyat kepada Soeharto dan Nasution untuk melakukan pembersihan terhadap para anggota PKI di rancang sedemikian rupa oleh Soeharto dan Nasution. Soeharto yang kemudian menjadi “pahlawan” setelah tumbangnya gerakan G 30 S melakukan propaganda-propaganda menyeramkan terhadap Partai Komunis Indonesia yang dituduhnya sebagai dalang dari peristiwa 1 Oktober 65. Melalui media AD yaitu Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata, Soeharto menyebarkan cerita menyeramkan mengenai aksi biadab yang dilakukan gerakan ini terhadap para jendral AD. Cerita-cerita mengenai dicongkelnya mata para jendral AD dan di potongnya alat kelamin mereka serta di silet-silet nya tubuh mereka memenuhi headline kedua Koran tersebut. RRI juga di jadikan alat Soeharto untuk menyebarkan berita menyeramkan ini. Di tanggal 2 Oktober 1965 melalui Jendral Umar Wirahadikusumah, Soeharto memerintahkan seluruh surat kabar tidak terbit. Anehnya Koran PKI, Harian Rakyat masih bisa terbit di tanggal 2 Oktober 1965. Harian Rakyat baru berhenti terbit pada tanggal 3 Oktober 1965.

Soeharto dan Nasution berusaha menciptakan sebuah stigma besar di masyarakat bahwa PKI adalah partai jahat, partai biadab, partai anti agama, partai anti pancasila, dan berbagai stigma buruk lainnya. Dengan stigma busuk yang melekat pada partai, maka otomatis mereka yang menjadi anggota partai atau mereka yang terlibat di organ-organ “keluarga komunis” menjadi wajib hukumnya untuk dibunuh. Setelah stigma terbentuk, dan rakyat mempercayai setiap cerita yang disebarkan Soeharto mengenai PKI maka legitimasi itu didapat, rakyat tidak akan melakukan protes terhadap aksi barbar yang menimpa tetangganya bahkan saudaranya sendiri. Dukungan juga di dapat dari para mahasiswa saat itu, mereka menyetujui aksi ini. Tidak ada satu pun mahasiswa yang berani menentang aksi barbar ini, karena jika sampai ada suara-suara penentangan terhadap aksi ini maka nyawa mereka taruhannya. Mahasiswa saat itu turun ke jalan untuk meneriakan ganyang PKI, bubarkan PKI hingga isu turunkan Soekarno. Melalui” 2 tangannya” yaitu Nasution dan A.Yani, Amerika Serikat berhasil memutus mata rantai penyebaran ajaran Komunisme di negeri ini, Komunisme yang merupakan lawan dari ajaran Liberalisme dan Imperialisme menjadi “barang haram” yang tidak boleh dipelajari dan disebarkan di negeri ini. Komunisme walaupun hanya sekedar diucapkan menjadi sangat tabu dan dilarang untuk dikemukakan. Orde Baru tidak mengizinkan masyarakat untuk sekedar mempelajari dan mengkaji ajaran Komunisme, paham ini dilarang sebagai paham jahat yang tidak boleh disebarkan. Orde Baru bahkan melakukan aksi sweeping terhadap beredarnya buku-buku yang berhubungan dengan Komunisme, bahkan buku-buku yang dikarang oleh mereka yang dicap sebagai orang PKI pun dilarang untuk beredar di masyarakat. Orde Baru kemudian melakukan teror demi teror untuk menciptakan suasana “tertib” dan “taat” di masyarakat dengan tidak boleh berpikir kritis terhadap peristiwa ini, mereka yang kemudian berpikir kritis terhadap peristiwa ini dianggap sebagai penganut Komunisme, dianggap sebagai orang yang akan membangkitkan ajaran komunisme, dan artinya orang seperti ini akan berujung pada kematian dan pemenjaraan. Sampai sekarang terror ini terus diciptakan oleh Negara dengan menggandeng ormas-ormas anti komunis yang ada di masyarakat, di jalan-jalan Jakarta bersebaran poster-poster yang memperingatkan masyarakat atas gejala bangkitnya Komunisme. Menurut James C Scoot situasi ini di sebut sebagai ‘public transcript’. Negara memakai strategi ini untuk menciptakan ketaatan dan berharap masyarakat taat dan tunduk kepada’ stabilitas semu’ yang di buatnya. Situasi ini yang kemudian menghambat proses pelurusan sejarah, aksi-aksi untuk membubarkan dan menghalangi proses pelurusan sejarah akan terus dilakukan Negara dengan alat-alatnya untuk mempertahankan berkuasanya stigma terhadap PKI dan Komunisme.

Negara kemudian mengeluarkan berbagai macam peraturan-peraturan perundang-undangan dan aturan hukum yang mendeskriminasikan para korban dan keluarga korban. Peraturan-peraturan seperti Tap MPRS no.XXV tahun 1966, UU no.3 tahun 1999, keputusan Mendagri no.24 tahun 1991, UU no.43 tahun 1999 merupakan bentuk-bentuk stigma secara sistem yang dilakukan Negara terhadap mereka para korban dan keluarga korban. Selain melalui peraturan perundangan-undangan, Orde Baru membangun stigma mengenai PKI juga melalui jalur pendidikan. Buku-buku sejarah di manipulative, penyebutan peristiwa ini harus dibarengi dengan kata PKI, G 30 S /PKI. Untuk terus menguatkan stigma nya, Orde Baru ditiap malam tanggal 30 September mewajibkan masyarakat untuk menonton film pemberontakan G 30 S/PKI karya sutradara Umar Kayam. Orde Baru bahkan menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai hari kesakstian pancasila. Hingga detik ini, yang katanya rezim orde baru telah tumbang dan Soeharto dan Nasution telah mati, praktek-praktek kejahatan warisan orde baru masih terus dijalankan.

Berkuasanya stigma merupakan praktek kejahatan warisan Orde Baru yang harus segera di hentikan. Kita harus berani melepas maindset pemikiran kita mengenai peristiwa 1 Oktober 1965. Jelas bahwa peristiwa ini masih diliputi awan misteri yang belum terpecahkan sampai saat ini. Kita harus mulai berani mengkaji peristiwa ini dari sudut pandang yang berbeda dan dari referensi yang berbeda pula. Buku putih terbitan Sekretariat Negara yang terbit tahun 1994 nyatanya banyak berisi cerita-cerita bualan dan bohong yang penuh rekaysa. Perlawanan terhadap berkuasanya stigma mengenai PKI yang berlangsung 32 tahun lebih harus segera dilakukan. Perlawanan itu dengan cara pelurusan sejarah mengenai kebenaran peristiwa ini, alangkah bodohnya ketika kita menyuarakan keadilan untuk para korban 65 namun proses pelurusan sejarah tidak dilakukan, alangkah sia-sianya ketika kita berteriak keadilan untuk para korban 65 jika perundang-undangan yang mendeskriminasikan para korban dan keluarga korban 65 tidak dicabut oleh Negara. Melalui pelurusan sejarah 65, stigma terhadap PKI dan Komunisme dapat dirobohkan, melalui pelurusan sejarah ini kemudian keadilan para korban akan tercipta. Proses pelurusan sejarah akan di barengi dengan kembalinya akal sehat masyarakat yang selama ini telah teracuni oleh Orde baru, kembalinya akal sehat masyarakat akan mendorong masyarakat untuk bersuara bulat untuk meneriakan pencabutan semua perundang-undangan yang mendeskriminasikan para korban. Menurut Kathryn Tanner “ sejarah penafsiran adalah sejarah pergulatan”, sejarah 65 tafsiran Negara dilakukan dengan pergulatan bengis yang mengorbankan jutaan rakyat, selain menghilangkan nyawa anak manusia Negara juga menghilangkan daya kritis dan menghilangkan hak-hak asasi anak manusia lainnya. Modus universalisasi ideology komunis sebagai ideology jahat mampu menghilangkan dan mengkaburkan pembantaian jutaan rakyat di tahun 65-66 yang dilakukan Negara dan ormas-ormas pemuda dan agama. Negara mengkaburkan tragedi berdarah ini sebagai sebuah tindakan spontanitas dan tidak direncanakan, dan Negara “membiarkan” dan “membenarkan” tragedi tersebut.

“tidak ada kekuasaan di dunia ini yang dapat menghentikan rakyat yang tertindas yang sudah bertekad memperoleh kemerdekaannya – Nelson Mandela – ”

Sumber Pustaka :

1. Wawancara penulis dengan Letkol. Heru Atmodjo

2. Buku John Roosa “dalih pembunuhan massal, gerakan 30 September, dan kudeta Soekarno”

3. Uraian Tanggung Jawab, Sudisman tanggal 21 Juni 1967

4. Buku Soebandrio “kesaksianku peristiwa G 30 S “

5. Buku “kuasa stigma dan represi ingatan”