Monday, January 24, 2011

Bahan Untuk Diksusi Kamis Sore (DKS) tanggal 28 Oktober 2010

oleh Galih

PKI bukan dalang G 30 S

Peristiwa 1 Oktober 65 merupakan jejak hitam perjalanan bangsa ini yang belum terungkap kebenarannya sampai detik ini. Peristiwa berdarah yang “hanya” memakan korban jiwa sebanyak 12 orang harus dibayar dengan terbunuhnya jutaan nyawa rakyat lainnya. Harga nyawa para korban Jendral AD ini seolah-olah menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan nyawa jutaan rakyat lainnya. Rakyat yang menjadi korban saat itu adalah mereka yang terlibat secara langsung dan tidak langsung terhadap peristiwa berdarah yang dikomandoi oleh 3 orang militer dan 2 orang sipil ini. Para pimpinan gerakan 30 September adalah Letkol Untung, Kolonel Latief, Brigjen Supardjo sebagai wakil dari militer. Syam dan Bono adalah 2 orang sipil yang berasal dari Biro Chusus PKI. Di buku putih terbitan Sekretariat Negara tahun 1994 mengenai peristiwa ini, PKI dijadikan dalang utama peristiwa 1 Oktober 1965. PKI di tuding sebagai dalang karena adanya fakta keterlibatan para tokoh pemimpin PKI seperti Aidit dan Sjam dalam peristiwa ini. Fakta lain yang diungkapkan adalah mengenai tempat penculikan yaitu lubang buaya. Lubang buaya dipaparkan oleh buku tersebut sebagai tempat berkumpulnya para pemuda/I yang berasal dari organ yang berafiliasi dengan PKI seperti Gerwani, BTI, Pemuda Rakyat untuk merencanakan aksi berdarah ini. Selain itu fakta yang ditampilkan oleh buku putih ini adalah aksi-aksi kekerasan yang dilakukan para anggota organ-organ seperti BTI di beberapa daerah sebelum peristiwa berdarah ini terjadi. Semua fakta yang di tampilkan buku putih banyak mendapat bantahan karena memang fakta yang ditampikan sangat aneh dan sangat dipaksakan. Fakta-fakta yang ada di dalam buku putih bercampur dengan asumsi-asumsi yang menyudutkan PKI sebagai terdakwa, PKI dituding sudah lama merencanakan aksi berdarah ini, asumsi yang ditampilkan buku putih adalah pernyataan ketua CC PKI DN.Aidit yang mengusulkan agar para kaum buruh dan tani dipersenjatai dan dibentuk angkatan bersenjata ke lima diluar angkatan-angkata bersenjata yang sudah ada, selain itu fakta bahwa sakitnya Soekarno dijadikan penyebab mengapa PKI melakukan aksi berdarah. Dengan sakitnya Soekarno, dan kemungkinan Soekarno akan lumpuh atau wafat maka PKI melakukan aksi berdarah sebelum di dahului oleh para jendral anti komunis yang kemudian dikenal dengan sebutan Dewan Jendral. Asumsi ini dikemukan sebagai fakta oleh Soeharto untuk menjelaskan ke masyarakat umum bahwa PKI merupakan actor intelektual dibalik aksi berdarah terhadap para jendral.

Fakta-fakta ini bisa kita perbandingkan dengan fakta-fakta lain yang dikemukan baik dari saksi hidup peristiwa 1 Oktober 1965, Heru Atmodjo, Dokumen pembelaan Sudisman, Analisis Iskandar Subekti serta Pledoi Supardjo ataupun dari karya-karya John Roosa, Ben Anderson, Ruth Mcvey, Harold Crouch ataupun referensi lain yang berbeda.

Pertama mengenai keterlibatan para pimpinan PKI seperti Aidit, Sjam dalam peristiwa ini, di dalam buku “dalih pembunuhan massal, gerakan 30 September, kudeta Soekarno” karangan John Roosa di kemukakan bahwa keterlibatan tokoh-tokoh tersebut merupakan keterlibatan individu-individu berjiwa progresif atas situasi saat itu, dimana beberapa hari sebelum peristiwa 1 Oktober 1965 gencar terhembus isu bahwa adanya Dewan Jendral yang akan melakukan kudeta terhadap Soekarno. Atas adanya isu ini, ketua CC PKI DN.Aidit meminta Sjam yang menjabat ketua Biro Chusus untuk mengecek kebenaran isu ini. Disini lah kemudian Sjam memainkan peran utamanya, Biro Chusus merupakan suatu badan kerja yang tidak ada didalam struktur resmi PKI namun di garis komandonya langsung di bawah DN.Aidit sebagai ketua partai. Tugas dari Biro Chusus adalah melakukan kaderisasi di kalangan militer untuk kepentingan partai. Mengenai adanya isu dewan jendral juga dipaparkan oleh Soebandrio dalam buku nya “kesaksianku peristiwa G 30 S”. dalam buku nya tersebut, Soebandrio memaparkan bahwa isu mengenai adanya dewan jendral santer terdengar saat itu. Bahkan Soebandrio pernah mendengarkan sebuah rekaman suara berisi rapat dari Dewan Jendral tersebut, suara didalam rekaman tersebut diyakini oleh Soebandrio sebagai suara Jendral. S.Parman. Rekaman suara ini, di dapat Soebandrio dari 4 orang tokoh politik yang berasal dari PNI, Masyumi, dan PSI.

Sjam yang dekat dengan kalangan militer mempunyai akses yang cukup luas untuk mengkoordinir para perwira muda seperti Untung dan Latief untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap aksi dewan jendral ini. Tokoh Sjam di sinyalir sebagai agen ganda yang bermain di AD dan PKI. Isu ini berhembus membuat para perwira muda seperti Untung dan Latief melakukan tindakan terhadap para jendral AD pro USA. Sjam kemudian melaporkan kepada Aidit bahwa isu Dewan Jendral ini benar adanya, Aidit kemudian menimbang-nimbang pilihan untuk melakukan aksi mendahului aksi para dewan jendral ini atau menunggu aksi dewan jendral berlangsung. Pertimbangan untung rugi yang akan dihadapi partai pada akhirnya membuat Aidit memutuskan untuk mengubah rencana awal untuk menanti menjadi mendahului aksi militer kepada para Jendral ini. Dengan pertimbangan kesehatan Soekarno yang pada saat itu sangat menurun membuat Aidit memilih rencana untuk mendahului aksi militer karena ditakutkan nantinya para Jendral AD ini akan melakukan aksi militer terhadap PKI tanpa menghiraukan lagi Presiden Soekarano. Dari analisis seorang anggota politbiro PKI, Iskandar Subekti dipaparkan bahwa Aidit pernah menjelaskan mengenai keputusan Politbiro kepada sekelompok anggota Central Commite, di dalam penjelasan tersebut Aidit menekankan bahwa sebuah klik perwira progresif sedang merancang suatu aksi menentang Dewan Jendral dan bahwa partai akan memberikan “dukungan politis”. Dan rapat penjelasan Aidit tersebut bukan merupakan sidang resmi Politbiro yang diperluas ataupun sidang Central Commite yang dipersempit. Masih menurut penjelasan Iskandar Subekti bahwa Aidit selama bulan September melakukan tindakan sendiri tanpa adanya pengawasan dari Politbiro dan Central Commite. Selama bulan September ini, Politbiro tidak pernah bersidang untuk mendengarkan laporan dari ketua CC PKI.

Selanjutnya mengenai lubang buaya yang di katakan sebagai tempat berkumpulnya para pemuda/I dari organ-organ seperti BTI, Lekra, Gerwani dan para anggota PKI lainnya untuk merencanakan menculik serta membunuh para Jendral, terbantahkan dengan pernyataan dari Heru Atmodjo – Heru Atmodjo adalah perwira Intelejen AURI berpangkat Letkol yang menjadi saksi hidup peristiwa ini – . Ia mengatakan bahwa lubang buaya yang dijadikan tempat disiksanya para jendral sebelum dibunuh dikatakan sebagai tempat pelatihan militer untuk para pemuda/I yang nantinya akan dikirim menjadi sukarelawan Dwikora didalam konfrontasi dengan Malaysia. Padahal tempat pelatihan militer tersebut faktanya bertempat di daerah Pondok Karet yang jaraknya dari tempat penculikan dan pembunuhan para Jendral cukup jauh. Peserta pelatihan militer ini bukan hanya terdiri dari pemuda/I dari BTI, Gerwani, dan Pemuda Rakyat namun juga ada pemuda/I yang berasal dari PNI, NU, serta PSI. Tempat pelatihan ini dikelola oleh AURI, namun pelatihan militer ini sudah lama ditutup jauh sebelum peristiwa 1 Oktober 1965 terjadi. Menurut Heru Atmodjo, alasan utama tempat ini ditutup karena sejak awal pelatihan ini di buka banyak beredar isu-isu tidak sedap yang menyudutkan AURI. Pada tanggal 26 Juli 1965 pelatihan terhadap sukarelawan ini di bubarkan. AURI menjadi satu-satu angkatan bersenjata yang dituduhkan pihak AD Soeharto juga terlibat di dalam aksi ini. Tuduhan ini didasari pada tempat ditemukannya mayat-mayat para jendral AD yang menjadi korban 1 Oktober 1965 berada di daerah kekuasaan AURI, selain itu pernyataan Laksamana Muda Oemar Dhani di radio yang “mendukung” aksi para perwira muda terhadap para Jendral AD. Dukungan dari Oemar Dhani sebagai KSAU terhadap tindakan para perwira muda ini, didasari karena kesetian Oemar Dhani kepada Soekarno, Oemar Dhani merupakan orang dekat dan kepercayaan Soekarno.

Namun selain karena adanya isu Dewan Jendral, di tubuh AD sendiri sedang terjadi konflik intern. Terdapat 2 faksi besar saat itu, yang sama-sama menginginkan jatuhnya Soekarno. 2 faksi tersebut adalah faksi A.Yani dan faksi Nasution, kedua jendral ini sama-sama anti komunis. Selain 2 faksi itu, terdapat juga faksi Soeharto yang pada akhir episode peristiwa berdarah ini mendapatkan keuntungan. 2 jendral kanan ini sama-sama pernah bermasalah terhadap Soekarno, Nasution pernah melakukan percobaan kudeta terhadap Soekarno pada 17 Oktober 1952, menurut dokumen pembelaan Sudisman, Nasution pada saat itu bahkan berani menghadapkan moncong-moncong meriam ke arah Istana Presiden. Namun pemberontakan ini gagal, akibatnya Sri Sultan Hamengkubowono IX di berhentikan menjadi Menhan sementara Nasution untuk sementara di non aktifkan. Sementara A.Yani merupakan Jendral yang selalu bersebarangan dengan politik Soekarno terutama terkait dengan PKI. Walaupun A.Yani merupakan salah satu Jendral kepercayaan Soekarno namun sikapnya yang terus berkonfrontasi dengan PKI, membuat ia selalu bersebarangan dengan garis politik Soekarno. Para jendral-jendral AD yang pro USA ini juga banyak melakukan tindakan yang dianggap para perwira muda tidak sesuai dengan garis revolusi Soekarno, mereka hidup mewah sementara para perwira muda hidup dengan sederhana. Akibat adanya 2 faksi ini, AD pun pecah menjadi 2 kekuataan utama yaitu mereka yang anti komunis dan pro USA dengan mereka yang pro Soekarno dan PKI. Posisi Soeharto sendiri berada di tengah-tengah kedua kekuatan utama ini sambil menunggu keuntungan jika terjadi konflik antara 2 kekuatan ini. Di dalam buku John Roosa diungkapkan bagaimana Soeharto memiliki kedekatan dengan para perwira muda yang melakukan aksi berdarah ini, yaitu Untung dan Latief. Soeharto merupakan mantan Komando Batalyon kedua perwira muda ini saat perang gerilya. Sedangkan hubungan antara Soeharto dengan Yani dan Nasution pernah di ungkapkan di dalam buku Soebandrio berjudul “kesaksianku tentang G 30 S” didalam buku yang terbit untuk” kalangan sendiri” ini mengungkapkan bahwa sebelumnya Soeharto pernah mendapat masalah dengan kedua jendral baik Yani dan Nasution, Soeharto di tuduh melakukan korupsi saat menjabat menjadi Pangdam Diponegoro, Yani bahkan sempat menempeleng Soeharto akibat tindakannya ini, Nasution juga mengusulkan agar Soeharto di pecat dan diadili di depan Mahmilub namun pada akhirnya Soeharto “di selematkan” oleh Brigjen Gatot Subroto.

Menurut Penulis dengan fakta-fakta tersebut, keterlibatan para pimpinan PKI merupakan tindakan spontan yang dilakukan karena mereka adalah individu progresif yang tidak menginginkan Soekarno dijatuhkan oleh para Jendral pro USA. Aksi berdarah ini juga merupakan aksi intern AD, bukan aksi yang direncakan para pimpinan PKI untuk melakukan kudeta. Dan kalau pun para pimpinan PKI ini merencanakan aksi ini artinya ini keterlibatan mereka sebagai individu bukan mengatasnamakan partai. Sudisman didalam Pledoi nya di depan mahmilub pada tanggal 21 Juli 1967 mengatakan bahwa Aidit di beberapa akhir menjelang 1 Oktober 1965 menjadi sangat tertutup, ia tidak pernah sekalipun membicarakan mengenai rencana aksi ini di sidang-sidang pleno PKI. Aidit hanya menjelaskan adanya dewan jendral yang disinyalir akan melakukan tindakan kontra revolusioner terhadap kekuasaan Soekarno. Dalam dokumen ini juga dipaparkan mengenai isu dewan jendral tersebut ternyata pernah dikemukakan oleh Yani pada tanggal 27 Mei atau tanggal 28 Mei 1965: didepan rapat Panglima AD, bahwa Yani sendirilah yang membentuk Dewan Jenderal yang bertugas memberikan penilaian politik.

Peran Amerika Serikat

Fakta lain yang berhubungan erat dengan peristiwa ini adalah suasana perang dingin saat itu, dan keterlibatan Amerika Serikat dalam aksi ini. Melihat peristiwa G 30 S sudah sepatutnya untuk juga melihat peristiwa-peristiwa terkait sebelum peristiwa ini terjadi dan juga peristiwa-perisitwa perang dingin yang menyeret Indonesia ke pusaran tarik menarik kepentingan antara blok barat dengan blok timur. Usaha menghentikan dominasi kekuataan komunis di Indonesia merupakan harga mutlak yang harus dilakukan Amerika Serikat, karena jika sampai Indonesia menjadi Negara komunis di Asia Tenggara maka kepentingan ekonomi dan politik di kawasan Asia terutama di kawasan Asia Pasifik akan terganggu. Selain menghentikan dominasi kekuataan komunis target utama Amerika Serikat adalah Soekarno, kekuatan utama pendukung PKI. Sang Proklamator ini menjadi musuh utama Amerika Serikat pada masa itu, sudah telah berulang kali Amerika Serikat menggunakan segala daya dan upaya nya untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. Menurut keterangan Heru Atmodjo , para pejabat Amerika Serikat yaitu ; Averell Harriman, William Bundy, Howard P. Jones, mantan Duta Besar untuk Indonesia, dan Elsworth Bunker, Utusan Khusus Presiden Lyndon B. Johnson, dengan pangkat Duta Besar melakukan pertemuan pada bulan Marer 1965 di Manila, Filipina membicarakan rencana untuk melakukan aksi menjatuhkan PKI dan Soekarno. Kesimpulan akhir pada pertemuan ini adalah merancang suatu aksi untuk memancing PKI menggali lubang kehancurannya sendiri, dan menjatuhkan Soekarno dari tampuk kekuasaan. Amerika Serikat kemudian merancang suatu aksi-aksi provokatif yang kemudian dijalankan oleh para perwira militer yang pro Amerika Serikat dan anti Komunis.

Melawan Stigma

Penghakiman tanpa proses hukum yang adil untuk mereka yang disangka terlibat dalam peristiwa 1 Oktober 65 dilakukan oleh Negara dengan bantuan ormas-ormas agama dan kepemudaan. Nyawa manusia di decade tahun 65 – 66 menjadi sangat tidak berharga, mayat-mayat korban aksi pengadilan barbar ini bergelimpangan di jalan-jalan, di parit-parit, disungai-sungai dan di berbagai tempat lainnya. AD melalui RPKAD dan ormas-ormas ini menjadi tukang jagal untuk setiap anak negeri ini yang di tuduh atau dicap sebagai anggota PKI. Peristiwa berdarah yang bisa dikatakan sebagai peristiwa genoside terbesar abad 20 ini dilakukan tanpa adanya protes dari rakyat lain. Soeharto dan Nasution sebagai otak dari pembantaian besar ini mendapat legitimasi dari rakyat untuk melakukan aksi barbar ini. Data dari Komisi Pencari Fakta (Robert Cribb, Abera, 2001), jumlahnya 78,000 orang terbunuh. Tapi, Oei Tju Tat yang adalah pemimpin tim investigasi menyebutkan bahwa jumlah korban lebih dari 780,000 orang. Sementara Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban, Komando Militer untuk Pemulihan Keamanan dan Gangguan) melaporkan bahwa korban adalah satu juta orang (800,000 orang di Jawa Tengah dan Jawa Timur, 100,000 korban di Bali dan 100,000 di Sumatera). Menurut Jenderal Sarwo Eddy Wibowo Kepala di Komando Angkatan Bersenjata Khusus Komando Resimen (RPKAD) tangan kanan Suharto yang bertanggung jawab untuk menghancurkan PKI, disebutkan setidaknya ada 3.000.000 orang tewas.

Proses legitimasi yang didapat dari rakyat kepada Soeharto dan Nasution untuk melakukan pembersihan terhadap para anggota PKI di rancang sedemikian rupa oleh Soeharto dan Nasution. Soeharto yang kemudian menjadi “pahlawan” setelah tumbangnya gerakan G 30 S melakukan propaganda-propaganda menyeramkan terhadap Partai Komunis Indonesia yang dituduhnya sebagai dalang dari peristiwa 1 Oktober 65. Melalui media AD yaitu Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata, Soeharto menyebarkan cerita menyeramkan mengenai aksi biadab yang dilakukan gerakan ini terhadap para jendral AD. Cerita-cerita mengenai dicongkelnya mata para jendral AD dan di potongnya alat kelamin mereka serta di silet-silet nya tubuh mereka memenuhi headline kedua Koran tersebut. RRI juga di jadikan alat Soeharto untuk menyebarkan berita menyeramkan ini. Di tanggal 2 Oktober 1965 melalui Jendral Umar Wirahadikusumah, Soeharto memerintahkan seluruh surat kabar tidak terbit. Anehnya Koran PKI, Harian Rakyat masih bisa terbit di tanggal 2 Oktober 1965. Harian Rakyat baru berhenti terbit pada tanggal 3 Oktober 1965.

Soeharto dan Nasution berusaha menciptakan sebuah stigma besar di masyarakat bahwa PKI adalah partai jahat, partai biadab, partai anti agama, partai anti pancasila, dan berbagai stigma buruk lainnya. Dengan stigma busuk yang melekat pada partai, maka otomatis mereka yang menjadi anggota partai atau mereka yang terlibat di organ-organ “keluarga komunis” menjadi wajib hukumnya untuk dibunuh. Setelah stigma terbentuk, dan rakyat mempercayai setiap cerita yang disebarkan Soeharto mengenai PKI maka legitimasi itu didapat, rakyat tidak akan melakukan protes terhadap aksi barbar yang menimpa tetangganya bahkan saudaranya sendiri. Dukungan juga di dapat dari para mahasiswa saat itu, mereka menyetujui aksi ini. Tidak ada satu pun mahasiswa yang berani menentang aksi barbar ini, karena jika sampai ada suara-suara penentangan terhadap aksi ini maka nyawa mereka taruhannya. Mahasiswa saat itu turun ke jalan untuk meneriakan ganyang PKI, bubarkan PKI hingga isu turunkan Soekarno. Melalui” 2 tangannya” yaitu Nasution dan A.Yani, Amerika Serikat berhasil memutus mata rantai penyebaran ajaran Komunisme di negeri ini, Komunisme yang merupakan lawan dari ajaran Liberalisme dan Imperialisme menjadi “barang haram” yang tidak boleh dipelajari dan disebarkan di negeri ini. Komunisme walaupun hanya sekedar diucapkan menjadi sangat tabu dan dilarang untuk dikemukakan. Orde Baru tidak mengizinkan masyarakat untuk sekedar mempelajari dan mengkaji ajaran Komunisme, paham ini dilarang sebagai paham jahat yang tidak boleh disebarkan. Orde Baru bahkan melakukan aksi sweeping terhadap beredarnya buku-buku yang berhubungan dengan Komunisme, bahkan buku-buku yang dikarang oleh mereka yang dicap sebagai orang PKI pun dilarang untuk beredar di masyarakat. Orde Baru kemudian melakukan teror demi teror untuk menciptakan suasana “tertib” dan “taat” di masyarakat dengan tidak boleh berpikir kritis terhadap peristiwa ini, mereka yang kemudian berpikir kritis terhadap peristiwa ini dianggap sebagai penganut Komunisme, dianggap sebagai orang yang akan membangkitkan ajaran komunisme, dan artinya orang seperti ini akan berujung pada kematian dan pemenjaraan. Sampai sekarang terror ini terus diciptakan oleh Negara dengan menggandeng ormas-ormas anti komunis yang ada di masyarakat, di jalan-jalan Jakarta bersebaran poster-poster yang memperingatkan masyarakat atas gejala bangkitnya Komunisme. Menurut James C Scoot situasi ini di sebut sebagai ‘public transcript’. Negara memakai strategi ini untuk menciptakan ketaatan dan berharap masyarakat taat dan tunduk kepada’ stabilitas semu’ yang di buatnya. Situasi ini yang kemudian menghambat proses pelurusan sejarah, aksi-aksi untuk membubarkan dan menghalangi proses pelurusan sejarah akan terus dilakukan Negara dengan alat-alatnya untuk mempertahankan berkuasanya stigma terhadap PKI dan Komunisme.

Negara kemudian mengeluarkan berbagai macam peraturan-peraturan perundang-undangan dan aturan hukum yang mendeskriminasikan para korban dan keluarga korban. Peraturan-peraturan seperti Tap MPRS no.XXV tahun 1966, UU no.3 tahun 1999, keputusan Mendagri no.24 tahun 1991, UU no.43 tahun 1999 merupakan bentuk-bentuk stigma secara sistem yang dilakukan Negara terhadap mereka para korban dan keluarga korban. Selain melalui peraturan perundangan-undangan, Orde Baru membangun stigma mengenai PKI juga melalui jalur pendidikan. Buku-buku sejarah di manipulative, penyebutan peristiwa ini harus dibarengi dengan kata PKI, G 30 S /PKI. Untuk terus menguatkan stigma nya, Orde Baru ditiap malam tanggal 30 September mewajibkan masyarakat untuk menonton film pemberontakan G 30 S/PKI karya sutradara Umar Kayam. Orde Baru bahkan menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai hari kesakstian pancasila. Hingga detik ini, yang katanya rezim orde baru telah tumbang dan Soeharto dan Nasution telah mati, praktek-praktek kejahatan warisan orde baru masih terus dijalankan.

Berkuasanya stigma merupakan praktek kejahatan warisan Orde Baru yang harus segera di hentikan. Kita harus berani melepas maindset pemikiran kita mengenai peristiwa 1 Oktober 1965. Jelas bahwa peristiwa ini masih diliputi awan misteri yang belum terpecahkan sampai saat ini. Kita harus mulai berani mengkaji peristiwa ini dari sudut pandang yang berbeda dan dari referensi yang berbeda pula. Buku putih terbitan Sekretariat Negara yang terbit tahun 1994 nyatanya banyak berisi cerita-cerita bualan dan bohong yang penuh rekaysa. Perlawanan terhadap berkuasanya stigma mengenai PKI yang berlangsung 32 tahun lebih harus segera dilakukan. Perlawanan itu dengan cara pelurusan sejarah mengenai kebenaran peristiwa ini, alangkah bodohnya ketika kita menyuarakan keadilan untuk para korban 65 namun proses pelurusan sejarah tidak dilakukan, alangkah sia-sianya ketika kita berteriak keadilan untuk para korban 65 jika perundang-undangan yang mendeskriminasikan para korban dan keluarga korban 65 tidak dicabut oleh Negara. Melalui pelurusan sejarah 65, stigma terhadap PKI dan Komunisme dapat dirobohkan, melalui pelurusan sejarah ini kemudian keadilan para korban akan tercipta. Proses pelurusan sejarah akan di barengi dengan kembalinya akal sehat masyarakat yang selama ini telah teracuni oleh Orde baru, kembalinya akal sehat masyarakat akan mendorong masyarakat untuk bersuara bulat untuk meneriakan pencabutan semua perundang-undangan yang mendeskriminasikan para korban. Menurut Kathryn Tanner “ sejarah penafsiran adalah sejarah pergulatan”, sejarah 65 tafsiran Negara dilakukan dengan pergulatan bengis yang mengorbankan jutaan rakyat, selain menghilangkan nyawa anak manusia Negara juga menghilangkan daya kritis dan menghilangkan hak-hak asasi anak manusia lainnya. Modus universalisasi ideology komunis sebagai ideology jahat mampu menghilangkan dan mengkaburkan pembantaian jutaan rakyat di tahun 65-66 yang dilakukan Negara dan ormas-ormas pemuda dan agama. Negara mengkaburkan tragedi berdarah ini sebagai sebuah tindakan spontanitas dan tidak direncanakan, dan Negara “membiarkan” dan “membenarkan” tragedi tersebut.

“tidak ada kekuasaan di dunia ini yang dapat menghentikan rakyat yang tertindas yang sudah bertekad memperoleh kemerdekaannya – Nelson Mandela – ”

Sumber Pustaka :

1. Wawancara penulis dengan Letkol. Heru Atmodjo

2. Buku John Roosa “dalih pembunuhan massal, gerakan 30 September, dan kudeta Soekarno”

3. Uraian Tanggung Jawab, Sudisman tanggal 21 Juni 1967

4. Buku Soebandrio “kesaksianku peristiwa G 30 S “

5. Buku “kuasa stigma dan represi ingatan”

Wednesday, November 3, 2010

Melawan kuasa Stigma untuk keadilan para korban 65

Bahan Untuk Diksusi Kamis Sore (DKS) tanggal 28 Oktober 2010 oleh Galih PKI bukan dalang G 30 S Peristiwa 1 Oktober 65 merupakan jejak hitam perjalanan bangsa ini yang belum terungkap kebenarannya sampai detik ini. Peristiwa berdarah yang “hanya” memakan korban jiwa sebanyak 12 orang harus dibayar dengan terbunuhnya jutaan nyawa rakyat lainnya. Harga nyawa para korban Jendral AD ini seolah-olah menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan nyawa jutaan rakyat lainnya. Rakyat yang menjadi korban saat itu adalah mereka yang terlibat secara langsung dan tidak langsung terhadap peristiwa berdarah yang dikomandoi oleh 3 orang militer dan 2 orang sipil ini. Para pimpinan gerakan 30 September adalah Letkol Untung, Kolonel Latief, Brigjen Supardjo sebagai wakil dari militer. Syam dan Bono adalah 2 orang sipil yang berasal dari Biro Chusus PKI. Di buku putih terbitan Sekretariat Negara tahun 1994 mengenai peristiwa ini, PKI dijadikan dalang utama peristiwa 1 Oktober 1965. PKI di tuding sebagai dalang karena adanya fakta keterlibatan para tokoh pemimpin PKI seperti Aidit dan Sjam dalam peristiwa ini. Fakta lain yang diungkapkan adalah mengenai tempat penculikan yaitu lubang buaya. Lubang buaya dipaparkan oleh buku tersebut sebagai tempat berkumpulnya para pemuda/I yang berasal dari organ yang berafiliasi dengan PKI seperti Gerwani, BTI, Pemuda Rakyat untuk merencanakan aksi berdarah ini. Selain itu fakta yang ditampilkan oleh buku putih ini adalah aksi-aksi kekerasan yang dilakukan para anggota organ-organ seperti BTI di beberapa daerah sebelum peristiwa berdarah ini terjadi. Semua fakta yang di tampilkan buku putih banyak mendapat bantahan karena memang fakta yang ditampikan sangat aneh dan sangat dipaksakan. Fakta-fakta yang ada di dalam buku putih bercampur dengan asumsi-asumsi yang menyudutkan PKI sebagai terdakwa, PKI dituding sudah lama merencanakan aksi berdarah ini, asumsi yang ditampilkan buku putih adalah pernyataan ketua CC PKI DN.Aidit yang mengusulkan agar para kaum buruh dan tani dipersenjatai dan dibentuk angkatan bersenjata ke lima diluar angkatan-angkata bersenjata yang sudah ada, selain itu fakta bahwa sakitnya Soekarno dijadikan penyebab mengapa PKI melakukan aksi berdarah. Dengan sakitnya Soekarno, dan kemungkinan Soekarno akan lumpuh atau wafat maka PKI melakukan aksi berdarah sebelum di dahului oleh para jendral anti komunis yang kemudian dikenal dengan sebutan Dewan Jendral. Asumsi ini dikemukan sebagai fakta oleh Soeharto untuk menjelaskan ke masyarakat umum bahwa PKI merupakan actor intelektual dibalik aksi berdarah terhadap para jendral. Fakta-fakta ini bisa kita perbandingkan dengan fakta-fakta lain yang dikemukan baik dari saksi hidup peristiwa 1 Oktober 1965, Heru Atmodjo, Dokumen pembelaan Sudisman, Analisis Iskandar Subekti serta Pledoi Supardjo ataupun dari karya-karya John Roosa, Ben Anderson, Ruth Mcvey, Harold Crouch ataupun referensi lain yang berbeda. Pertama mengenai keterlibatan para pimpinan PKI seperti Aidit, Sjam dalam peristiwa ini, di dalam buku “dalih pembunuhan massal, gerakan 30 September, kudeta Soekarno” karangan John Roosa di kemukakan bahwa keterlibatan tokoh-tokoh tersebut merupakan keterlibatan individu-individu berjiwa progresif atas situasi saat itu, dimana beberapa hari sebelum peristiwa 1 Oktober 1965 gencar terhembus isu bahwa adanya Dewan Jendral yang akan melakukan kudeta terhadap Soekarno. Atas adanya isu ini, ketua CC PKI DN.Aidit meminta Sjam yang menjabat ketua Biro Chusus untuk mengecek kebenaran isu ini. Disini lah kemudian Sjam memainkan peran utamanya, Biro Chusus merupakan suatu badan kerja yang tidak ada didalam struktur resmi PKI namun di garis komandonya langsung di bawah DN.Aidit sebagai ketua partai. Tugas dari Biro Chusus adalah melakukan kaderisasi di kalangan militer untuk kepentingan partai. Mengenai adanya isu dewan jendral juga dipaparkan oleh Soebandrio dalam buku nya “kesaksianku peristiwa G 30 S”. dalam buku nya tersebut, Soebandrio memaparkan bahwa isu mengenai adanya dewan jendral santer terdengar saat itu. Bahkan Soebandrio pernah mendengarkan sebuah rekaman suara berisi rapat dari Dewan Jendral tersebut, suara didalam rekaman tersebut diyakini oleh Soebandrio sebagai suara Jendral. S.Parman. Rekaman suara ini, di dapat Soebandrio dari 4 orang tokoh politik yang berasal dari PNI, Masyumi, dan PSI. Sjam yang dekat dengan kalangan militer mempunyai akses yang cukup luas untuk mengkoordinir para perwira muda seperti Untung dan Latief untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap aksi dewan jendral ini. Tokoh Sjam di sinyalir sebagai agen ganda yang bermain di AD dan PKI. Isu ini berhembus membuat para perwira muda seperti Untung dan Latief melakukan tindakan terhadap para jendral AD pro USA. Sjam kemudian melaporkan kepada Aidit bahwa isu Dewan Jendral ini benar adanya, Aidit kemudian menimbang-nimbang pilihan untuk melakukan aksi mendahului aksi para dewan jendral ini atau menunggu aksi dewan jendral berlangsung. Pertimbangan untung rugi yang akan dihadapi partai pada akhirnya membuat Aidit memutuskan untuk mengubah rencana awal untuk menanti menjadi mendahului aksi militer kepada para Jendral ini. Dengan pertimbangan kesehatan Soekarno yang pada saat itu sangat menurun membuat Aidit memilih rencana untuk mendahului aksi militer karena ditakutkan nantinya para Jendral AD ini akan melakukan aksi militer terhadap PKI tanpa menghiraukan lagi Presiden Soekarano. Dari analisis seorang anggota politbiro PKI, Iskandar Subekti dipaparkan bahwa Aidit pernah menjelaskan mengenai keputusan Politbiro kepada sekelompok anggota Central Commite, di dalam penjelasan tersebut Aidit menekankan bahwa sebuah klik perwira progresif sedang merancang suatu aksi menentang Dewan Jendral dan bahwa partai akan memberikan “dukungan politis”. Dan rapat penjelasan Aidit tersebut bukan merupakan sidang resmi Politbiro yang diperluas ataupun sidang Central Commite yang dipersempit. Masih menurut penjelasan Iskandar Subekti bahwa Aidit selama bulan September melakukan tindakan sendiri tanpa adanya pengawasan dari Politbiro dan Central Commite. Selama bulan September ini, Politbiro tidak pernah bersidang untuk mendengarkan laporan dari ketua CC PKI. Selanjutnya mengenai lubang buaya yang di katakan sebagai tempat berkumpulnya para pemuda/I dari organ-organ seperti BTI, Lekra, Gerwani dan para anggota PKI lainnya untuk merencanakan menculik serta membunuh para Jendral, terbantahkan dengan pernyataan dari Heru Atmodjo – Heru Atmodjo adalah perwira Intelejen AURI berpangkat Letkol yang menjadi saksi hidup peristiwa ini – . Ia mengatakan bahwa lubang buaya yang dijadikan tempat disiksanya para jendral sebelum dibunuh dikatakan sebagai tempat pelatihan militer untuk para pemuda/I yang nantinya akan dikirim menjadi sukarelawan Dwikora didalam konfrontasi dengan Malaysia. Padahal tempat pelatihan militer tersebut faktanya bertempat di daerah Pondok Karet yang jaraknya dari tempat penculikan dan pembunuhan para Jendral cukup jauh. Peserta pelatihan militer ini bukan hanya terdiri dari pemuda/I dari BTI, Gerwani, dan Pemuda Rakyat namun juga ada pemuda/I yang berasal dari PNI, NU, serta PSI. Tempat pelatihan ini dikelola oleh AURI, namun pelatihan militer ini sudah lama ditutup jauh sebelum peristiwa 1 Oktober 1965 terjadi. Menurut Heru Atmodjo, alasan utama tempat ini ditutup karena sejak awal pelatihan ini di buka banyak beredar isu-isu tidak sedap yang menyudutkan AURI. Pada tanggal 26 Juli 1965 pelatihan terhadap sukarelawan ini di bubarkan. AURI menjadi satu-satu angkatan bersenjata yang dituduhkan pihak AD Soeharto juga terlibat di dalam aksi ini. Tuduhan ini didasari pada tempat ditemukannya mayat-mayat para jendral AD yang menjadi korban 1 Oktober 1965 berada di daerah kekuasaan AURI, selain itu pernyataan Laksamana Muda Oemar Dhani di radio yang “mendukung” aksi para perwira muda terhadap para Jendral AD. Dukungan dari Oemar Dhani sebagai KSAU terhadap tindakan para perwira muda ini, didasari karena kesetian Oemar Dhani kepada Soekarno, Oemar Dhani merupakan orang dekat dan kepercayaan Soekarno. Namun selain karena adanya isu Dewan Jendral, di tubuh AD sendiri sedang terjadi konflik intern. Terdapat 2 faksi besar saat itu, yang sama-sama menginginkan jatuhnya Soekarno. 2 faksi tersebut adalah faksi A.Yani dan faksi Nasution, kedua jendral ini sama-sama anti komunis. Selain 2 faksi itu, terdapat juga faksi Soeharto yang pada akhir episode peristiwa berdarah ini mendapatkan keuntungan. 2 jendral kanan ini sama-sama pernah bermasalah terhadap Soekarno, Nasution pernah melakukan percobaan kudeta terhadap Soekarno pada 17 Oktober 1952, menurut dokumen pembelaan Sudisman, Nasution pada saat itu bahkan berani menghadapkan moncong-moncong meriam ke arah Istana Presiden. Namun pemberontakan ini gagal, akibatnya Sri Sultan Hamengkubowono IX di berhentikan menjadi Menhan sementara Nasution untuk sementara di non aktifkan. Sementara A.Yani merupakan Jendral yang selalu bersebarangan dengan politik Soekarno terutama terkait dengan PKI. Walaupun A.Yani merupakan salah satu Jendral kepercayaan Soekarno namun sikapnya yang terus berkonfrontasi dengan PKI, membuat ia selalu bersebarangan dengan garis politik Soekarno. Para jendral-jendral AD yang pro USA ini juga banyak melakukan tindakan yang dianggap para perwira muda tidak sesuai dengan garis revolusi Soekarno, mereka hidup mewah sementara para perwira muda hidup dengan sederhana. Akibat adanya 2 faksi ini, AD pun pecah menjadi 2 kekuataan utama yaitu mereka yang anti komunis dan pro USA dengan mereka yang pro Soekarno dan PKI. Posisi Soeharto sendiri berada di tengah-tengah kedua kekuatan utama ini sambil menunggu keuntungan jika terjadi konflik antara 2 kekuatan ini. Di dalam buku John Roosa diungkapkan bagaimana Soeharto memiliki kedekatan dengan para perwira muda yang melakukan aksi berdarah ini, yaitu Untung dan Latief. Soeharto merupakan mantan Komando Batalyon kedua perwira muda ini saat perang gerilya. Sedangkan hubungan antara Soeharto dengan Yani dan Nasution pernah di ungkapkan di dalam buku Soebandrio berjudul “kesaksianku tentang G 30 S” didalam buku yang terbit untuk” kalangan sendiri” ini mengungkapkan bahwa sebelumnya Soeharto pernah mendapat masalah dengan kedua jendral baik Yani dan Nasution, Soeharto di tuduh melakukan korupsi saat menjabat menjadi Pangdam Diponegoro, Yani bahkan sempat menempeleng Soeharto akibat tindakannya ini, Nasution juga mengusulkan agar Soeharto di pecat dan diadili di depan Mahmilub namun pada akhirnya Soeharto “di selematkan” oleh Brigjen Gatot Subroto. Menurut Penulis dengan fakta-fakta tersebut, keterlibatan para pimpinan PKI merupakan tindakan spontan yang dilakukan karena mereka adalah individu progresif yang tidak menginginkan Soekarno dijatuhkan oleh para Jendral pro USA. Aksi berdarah ini juga merupakan aksi intern AD, bukan aksi yang direncakan para pimpinan PKI untuk melakukan kudeta. Dan kalau pun para pimpinan PKI ini merencanakan aksi ini artinya ini keterlibatan mereka sebagai individu bukan mengatasnamakan partai. Sudisman didalam Pledoi nya di depan mahmilub pada tanggal 21 Juli 1967 mengatakan bahwa Aidit di beberapa akhir menjelang 1 Oktober 1965 menjadi sangat tertutup, ia tidak pernah sekalipun membicarakan mengenai rencana aksi ini di sidang-sidang pleno PKI. Aidit hanya menjelaskan adanya dewan jendral yang disinyalir akan melakukan tindakan kontra revolusioner terhadap kekuasaan Soekarno. Dalam dokumen ini juga dipaparkan mengenai isu dewan jendral tersebut ternyata pernah dikemukakan oleh Yani pada tanggal 27 Mei atau tanggal 28 Mei 1965: didepan rapat Panglima AD, bahwa Yani sendirilah yang membentuk Dewan Jenderal yang bertugas memberikan penilaian politik. Peran Amerika Serikat Fakta lain yang berhubungan erat dengan peristiwa ini adalah suasana perang dingin saat itu, dan keterlibatan Amerika Serikat dalam aksi ini. Melihat peristiwa G 30 S sudah sepatutnya untuk juga melihat peristiwa-peristiwa terkait sebelum peristiwa ini terjadi dan juga peristiwa-perisitwa perang dingin yang menyeret Indonesia ke pusaran tarik menarik kepentingan antara blok barat dengan blok timur. Usaha menghentikan dominasi kekuataan komunis di Indonesia merupakan harga mutlak yang harus dilakukan Amerika Serikat, karena jika sampai Indonesia menjadi Negara komunis di Asia Tenggara maka kepentingan ekonomi dan politik di kawasan Asia terutama di kawasan Asia Pasifik akan terganggu. Selain menghentikan dominasi kekuataan komunis target utama Amerika Serikat adalah Soekarno, kekuatan utama pendukung PKI. Sang Proklamator ini menjadi musuh utama Amerika Serikat pada masa itu, sudah telah berulang kali Amerika Serikat menggunakan segala daya dan upaya nya untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. Menurut keterangan Heru Atmodjo , para pejabat Amerika Serikat yaitu ; Averell Harriman, William Bundy, Howard P. Jones, mantan Duta Besar untuk Indonesia, dan Elsworth Bunker, Utusan Khusus Presiden Lyndon B. Johnson, dengan pangkat Duta Besar melakukan pertemuan pada bulan Marer 1965 di Manila, Filipina membicarakan rencana untuk melakukan aksi menjatuhkan PKI dan Soekarno. Kesimpulan akhir pada pertemuan ini adalah merancang suatu aksi untuk memancing PKI menggali lubang kehancurannya sendiri, dan menjatuhkan Soekarno dari tampuk kekuasaan. Amerika Serikat kemudian merancang suatu aksi-aksi provokatif yang kemudian dijalankan oleh para perwira militer yang pro Amerika Serikat dan anti Komunis. Melawan Stigma Penghakiman tanpa proses hukum yang adil untuk mereka yang disangka terlibat dalam peristiwa 1 Oktober 65 dilakukan oleh Negara dengan bantuan ormas-ormas agama dan kepemudaan. Nyawa manusia di decade tahun 65 – 66 menjadi sangat tidak berharga, mayat-mayat korban aksi pengadilan barbar ini bergelimpangan di jalan-jalan, di parit-parit, disungai-sungai dan di berbagai tempat lainnya. AD melalui RPKAD dan ormas-ormas ini menjadi tukang jagal untuk setiap anak negeri ini yang di tuduh atau dicap sebagai anggota PKI. Peristiwa berdarah yang bisa dikatakan sebagai peristiwa genoside terbesar abad 20 ini dilakukan tanpa adanya protes dari rakyat lain. Soeharto dan Nasution sebagai otak dari pembantaian besar ini mendapat legitimasi dari rakyat untuk melakukan aksi barbar ini. Data dari Komisi Pencari Fakta (Robert Cribb, Abera, 2001), jumlahnya 78,000 orang terbunuh. Tapi, Oei Tju Tat yang adalah pemimpin tim investigasi menyebutkan bahwa jumlah korban lebih dari 780,000 orang. Sementara Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban, Komando Militer untuk Pemulihan Keamanan dan Gangguan) melaporkan bahwa korban adalah satu juta orang (800,000 orang di Jawa Tengah dan Jawa Timur, 100,000 korban di Bali dan 100,000 di Sumatera). Menurut Jenderal Sarwo Eddy Wibowo Kepala di Komando Angkatan Bersenjata Khusus Komando Resimen (RPKAD) tangan kanan Suharto yang bertanggung jawab untuk menghancurkan PKI, disebutkan setidaknya ada 3.000.000 orang tewas. Proses legitimasi yang didapat dari rakyat kepada Soeharto dan Nasution untuk melakukan pembersihan terhadap para anggota PKI di rancang sedemikian rupa oleh Soeharto dan Nasution. Soeharto yang kemudian menjadi “pahlawan” setelah tumbangnya gerakan G 30 S melakukan propaganda-propaganda menyeramkan terhadap Partai Komunis Indonesia yang dituduhnya sebagai dalang dari peristiwa 1 Oktober 65. Melalui media AD yaitu Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata, Soeharto menyebarkan cerita menyeramkan mengenai aksi biadab yang dilakukan gerakan ini terhadap para jendral AD. Cerita-cerita mengenai dicongkelnya mata para jendral AD dan di potongnya alat kelamin mereka serta di silet-silet nya tubuh mereka memenuhi headline kedua Koran tersebut. RRI juga di jadikan alat Soeharto untuk menyebarkan berita menyeramkan ini. Di tanggal 2 Oktober 1965 melalui Jendral Umar Wirahadikusumah, Soeharto memerintahkan seluruh surat kabar tidak terbit. Anehnya Koran PKI, Harian Rakyat masih bisa terbit di tanggal 2 Oktober 1965. Harian Rakyat baru berhenti terbit pada tanggal 3 Oktober 1965. Soeharto dan Nasution berusaha menciptakan sebuah stigma besar di masyarakat bahwa PKI adalah partai jahat, partai biadab, partai anti agama, partai anti pancasila, dan berbagai stigma buruk lainnya. Dengan stigma busuk yang melekat pada partai, maka otomatis mereka yang menjadi anggota partai atau mereka yang terlibat di organ-organ “keluarga komunis” menjadi wajib hukumnya untuk dibunuh. Setelah stigma terbentuk, dan rakyat mempercayai setiap cerita yang disebarkan Soeharto mengenai PKI maka legitimasi itu didapat, rakyat tidak akan melakukan protes terhadap aksi barbar yang menimpa tetangganya bahkan saudaranya sendiri. Dukungan juga di dapat dari para mahasiswa saat itu, mereka menyetujui aksi ini. Tidak ada satu pun mahasiswa yang berani menentang aksi barbar ini, karena jika sampai ada suara-suara penentangan terhadap aksi ini maka nyawa mereka taruhannya. Mahasiswa saat itu turun ke jalan untuk meneriakan ganyang PKI, bubarkan PKI hingga isu turunkan Soekarno. Melalui” 2 tangannya” yaitu Nasution dan A.Yani, Amerika Serikat berhasil memutus mata rantai penyebaran ajaran Komunisme di negeri ini, Komunisme yang merupakan lawan dari ajaran Liberalisme dan Imperialisme menjadi “barang haram” yang tidak boleh dipelajari dan disebarkan di negeri ini. Komunisme walaupun hanya sekedar diucapkan menjadi sangat tabu dan dilarang untuk dikemukakan. Orde Baru tidak mengizinkan masyarakat untuk sekedar mempelajari dan mengkaji ajaran Komunisme, paham ini dilarang sebagai paham jahat yang tidak boleh disebarkan. Orde Baru bahkan melakukan aksi sweeping terhadap beredarnya buku-buku yang berhubungan dengan Komunisme, bahkan buku-buku yang dikarang oleh mereka yang dicap sebagai orang PKI pun dilarang untuk beredar di masyarakat. Orde Baru kemudian melakukan teror demi teror untuk menciptakan suasana “tertib” dan “taat” di masyarakat dengan tidak boleh berpikir kritis terhadap peristiwa ini, mereka yang kemudian berpikir kritis terhadap peristiwa ini dianggap sebagai penganut Komunisme, dianggap sebagai orang yang akan membangkitkan ajaran komunisme, dan artinya orang seperti ini akan berujung pada kematian dan pemenjaraan. Sampai sekarang terror ini terus diciptakan oleh Negara dengan menggandeng ormas-ormas anti komunis yang ada di masyarakat, di jalan-jalan Jakarta bersebaran poster-poster yang memperingatkan masyarakat atas gejala bangkitnya Komunisme. Menurut James C Scoot situasi ini di sebut sebagai ‘public transcript’. Negara memakai strategi ini untuk menciptakan ketaatan dan berharap masyarakat taat dan tunduk kepada’ stabilitas semu’ yang di buatnya. Situasi ini yang kemudian menghambat proses pelurusan sejarah, aksi-aksi untuk membubarkan dan menghalangi proses pelurusan sejarah akan terus dilakukan Negara dengan alat-alatnya untuk mempertahankan berkuasanya stigma terhadap PKI dan Komunisme. Negara kemudian mengeluarkan berbagai macam peraturan-peraturan perundang-undangan dan aturan hukum yang mendeskriminasikan para korban dan keluarga korban. Peraturan-peraturan seperti Tap MPRS no.XXV tahun 1966, UU no.3 tahun 1999, keputusan Mendagri no.24 tahun 1991, UU no.43 tahun 1999 merupakan bentuk-bentuk stigma secara sistem yang dilakukan Negara terhadap mereka para korban dan keluarga korban. Selain melalui peraturan perundangan-undangan, Orde Baru membangun stigma mengenai PKI juga melalui jalur pendidikan. Buku-buku sejarah di manipulative, penyebutan peristiwa ini harus dibarengi dengan kata PKI, G 30 S /PKI. Untuk terus menguatkan stigma nya, Orde Baru ditiap malam tanggal 30 September mewajibkan masyarakat untuk menonton film pemberontakan G 30 S/PKI karya sutradara Umar Kayam. Orde Baru bahkan menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai hari kesakstian pancasila. Hingga detik ini, yang katanya rezim orde baru telah tumbang dan Soeharto dan Nasution telah mati, praktek-praktek kejahatan warisan orde baru masih terus dijalankan. Berkuasanya stigma merupakan praktek kejahatan warisan Orde Baru yang harus segera di hentikan. Kita harus berani melepas maindset pemikiran kita mengenai peristiwa 1 Oktober 1965. Jelas bahwa peristiwa ini masih diliputi awan misteri yang belum terpecahkan sampai saat ini. Kita harus mulai berani mengkaji peristiwa ini dari sudut pandang yang berbeda dan dari referensi yang berbeda pula. Buku putih terbitan Sekretariat Negara yang terbit tahun 1994 nyatanya banyak berisi cerita-cerita bualan dan bohong yang penuh rekaysa. Perlawanan terhadap berkuasanya stigma mengenai PKI yang berlangsung 32 tahun lebih harus segera dilakukan. Perlawanan itu dengan cara pelurusan sejarah mengenai kebenaran peristiwa ini, alangkah bodohnya ketika kita menyuarakan keadilan untuk para korban 65 namun proses pelurusan sejarah tidak dilakukan, alangkah sia-sianya ketika kita berteriak keadilan untuk para korban 65 jika perundang-undangan yang mendeskriminasikan para korban dan keluarga korban 65 tidak dicabut oleh Negara. Melalui pelurusan sejarah 65, stigma terhadap PKI dan Komunisme dapat dirobohkan, melalui pelurusan sejarah ini kemudian keadilan para korban akan tercipta. Proses pelurusan sejarah akan di barengi dengan kembalinya akal sehat masyarakat yang selama ini telah teracuni oleh Orde baru, kembalinya akal sehat masyarakat akan mendorong masyarakat untuk bersuara bulat untuk meneriakan pencabutan semua perundang-undangan yang mendeskriminasikan para korban. Menurut Kathryn Tanner “ sejarah penafsiran adalah sejarah pergulatan”, sejarah 65 tafsiran Negara dilakukan dengan pergulatan bengis yang mengorbankan jutaan rakyat, selain menghilangkan nyawa anak manusia Negara juga menghilangkan daya kritis dan menghilangkan hak-hak asasi anak manusia lainnya. Modus universalisasi ideology komunis sebagai ideology jahat mampu menghilangkan dan mengkaburkan pembantaian jutaan rakyat di tahun 65-66 yang dilakukan Negara dan ormas-ormas pemuda dan agama. Negara mengkaburkan tragedi berdarah ini sebagai sebuah tindakan spontanitas dan tidak direncanakan, dan Negara “membiarkan” dan “membenarkan” tragedi tersebut. “tidak ada kekuasaan di dunia ini yang dapat menghentikan rakyat yang tertindas yang sudah bertekad memperoleh kemerdekaannya – Nelson Mandela – ” Sumber Pustaka : 1. Wawancara penulis dengan Letkol. Heru Atmodjo 2. Buku John Roosa “dalih pembunuhan massal, gerakan 30 September, dan kudeta Soekarno” 3. Uraian Tanggung Jawab, Sudisman tanggal 21 Juni 1967 4. Buku Soebandrio “kesaksianku peristiwa G 30 S “ 5. Buku “kuasa stigma dan represi ingatan”

Thursday, October 28, 2010

Senioritas, Perlu Gak Sih?

SENIORITAS,

PERLU GAK SIH?:

Tela’ah kritis Mengenai Sisi Relasi, Norma, Dan Perilaku Senioritas[1]

Oleh:

Johan Nurul Imani[2]

Abstrak

Tulisan ini bertujuan mengkaji sebuah fenomena senioritas sebagai budaya yang tampaknya juga menjadi gejala umum ditengah masyarakat kita. Siapa yang tidak pernah mendapati pengalaman yang satu ini?setidaknya, sejak kita mulai menjejaki diri sebagai siswa didik dibangku SMP atau yang setara dengan itu pasti pernah mengalami situasi yang dinamakan “senioritas”. Pun jika kita belum mengalaminya, sejelek-jeleknya kita bisa tahu situasi tersebut dari teman sepermainan kita di lingkungan sekolah yang menjadi”korban” atau “pelaku” fenomena senioritas. Pun jika tidak juga mengalaminya, kita sudah pernah mengalaminya di lingkup teman seperemainan di lingkungan rumah tempat tinggal kita. Dan karena senioritas jua, kita mengenal siapa dan apa itu “junior”. Senioritas yang kita kenal hingga saat ini adalah seraut wajah penuh”horor” yang terus menciptakan rasa tertekan bagi langganannya, yaitu junior-junior yang pernah punya mimpi buruk dengan fenomena ini. Mungkin juga termasuk anda. Sesungguhnya, apakah itu senioritas?perlukah senioritas dikembangkan sementara fenomena tersebut dikenal sebagai momok tidak bagus?bagaimana senioritas bisa terbentuk dan cenderung “terpelihara”?sebuah “pepesan kosong”kah, atau memang ternyata memiliki andil yang belum tersingkap terhadap”nilai-nilai” positif ditengah masyarakat kita?

Toro(bukan nama sebenarnya) terbangun pagi-pagi tanpa alarm. Ia sedang berjalan di pinggir trotoar menuju kampus barunya. Mukanya tampak tegang, dan basah karena keringat padahal udara pagi tidak menyengat panas, justeru sejuk cenderung dingin. Pikirannya melayang-layang, hampir tidak konsentrasi, katakanlah bingung. Langkah kakinya sengaja ia perlambat, seakan-akan ada beban perasaan berat yang menggelayuti benaknya untuk segera sampai di tempat tujuannya. Gedung dan pintu gerbang kampus barunya sudah nampak dari jauh. Matanya memicing sedikit. Pemandangan jelas didepan matanya memberi tekanan cukup kuat kepada dirinya. Dadanya sesak, ritme langkah kakinya berantakan, di dahinya mengucur keringat dingin, kadang-kadang ia merasakan sensasi merinding karena berdiri bulu kuduknya, perutnya mules tiba-tiba, raut wajahnya semakin tegang saat itu. Sesaat dalam kondisi seperti itu membuatnya tidak sadar ia tidak “sendirian”. Satu, dua, tiga orang bahkan lebih, datang dari berbagai penjuru arah mulai bergabung berjalan searah dengan Toro. Mereka tidak saling kenal, setidaknya belum hingga saat nanti. Dari jauh, terdengar teriakan-teriakan dari orang yang memberi sinyal lambaian tangan kepada mereka. Toro dan teman-teman yang belum dikenalnya itu segera sadar bahwa teriakan-teriakan itu tertuju padanya. Tanpa mengetahui apa yang diteriaki, Toro dan teman-teman yang belum dikenalnya itu serentak tanpa aba-aba berlari-lari kecil menuju orang berteriak. Semakin dekat teriakan itu semakin jelas terdengar, “Ayooo,buruannn. Jangan lelet!!”. Teriak orang itu dengan nada tinggi, jelas, namun sedikit memaki. Wajah Toro memucat, keringat dingin yang mengalir deras didahinya kering, kini digantikan dengan kerongkongan yang kering, tercekat dan ingin minum air rasanya. Ia sadar, yang diteriaki oleh orang itu adalah dirinya. “Heh, apa yang diliat!?, cepetan masuk..!”, bentaknya. Toro kemudian paham kemana arah yang ditunjuk oleh orang itu. Arah tangannya menuju sebuah gerbang pintu dengan sebuah patung monumen yang baru terlihat setengahnya. Waktu terasa melambat bagi Toro. Entah, ia baru mulai merasakan sensasi luar biasa disekitar perutnya, bukan sakit perut, mual tapi tidak ada yang bisa dimuntahkan. Sensasi itu menjalar ke dada, kemudian tenggorokannya. Membuatnya hanya bisa menelan ludah dengan maksud bisa menghilangkan sensasi tidak mengenakkan itu. Ya, Toro sepertinya mengalami gejala depresi ringan. Belum selesai ia menikmati gejala-gejala depresinya, si orang yang berteriak kepadanya semakin memberinya tekanan,”sana, baris!,cepetaaan..lelet banget sih lu!nenek gw ja kagak lelet kayak lu!”. Senyum setan si senior pun terlihat jelas dihadapannya, menyeringai lebar. Pintu gerbang dan patung monumen sudah tampak jelas didepannya. Dibawahnya, sekitar 40 orang atau lebih, mungkin mencapai angka 80 sudah sibuk dengan berbagai macam bentuk aktifitas. Ada yang berbaris, joged-joged tanpa alasan yang jelas, terdiam memojok dipinggir kawan-kawan lainnya entah sedang apa, ada juga yang sedang menjalani hukuman fisik, satu atau dua anak ia lihat sungguh sedang kerepotan melayani ocehan lima orang seniornya sekaligus. Karena sibuk kebingungan dengan pemandangan yang ia lihat, Toro tidak sadar ada kakak senior menghampirinya, menggapai lengannya dan menggiringnya. Sepertinya, ia digiring menuju hadapan kedapan semua orang yang ia lihat. Tanpa bisa menolak, dalam hatinya berbicara, “aku ingin pulang...pulang”. tapi tidak bisa. Saat ia berhenti digiring, sudah ada sejumlah pasang mata mengamati dirinya. Tidak dikomando, namun satu-satu dari mereka yang tadinya sedang sibuk dengan ini dan itu mulai memperhatikan dirinya. “Nih,contoh gak bagus buat lo semua, dateng orientasi aja telat!”, kata senior yang disampingnya. Wajah-wajah beringas senior mulai menggelayuti pikirannya, ia ketakutan. Senior-senior yang tadinya cuma ada satu yang disampingnya, mulai mendatangi dirinya. Satu, dua, tiga, empat...dan lima. Masih terus bertambah. Semakin banyak hingga hampir semua. “Kok telat sendiri??”, tanya seniornya. “....”, Toro mendadak gagap. “Ditanya tuh jawabbbb!”. Bentak seniornya yang lain, kali ini didepan muka tepat. Kaki Toro seperti kehilangan tenaga. Tangannya gemetar kecil. Pikirannya melayang kemana-mana. Ia merasa seperti domba terjebak di kerumunan serigala yang siap dimangsa hidup-hidup kapan saja. “pulang,,pingin pulang”, dalam hatinya lirih. Satu senior dengan ekspresi paling garang meraih lengan kanannya dengan kuat sembari mengatakan,”HHHEEKH!!”. Toro jatuh pingsan seketika itu juga. Ia terkapar lunglai, namun masih setengah sadar. Lemas. Sangat lemah. Dalam sadarnya yang setengah itu. Alam bawah sadarnya bermain, wajah-wajah senior yang sesungguhnya saat itu kebingungan perlahan berubah menjadi manusia-manusia kanibal, primitif, jorok dan bau. Disekitar mulutnya ada noda entah bekas darah atau noda apa. Wajah-wajah itu tersenyum, matanya melotot tajam kepadanya, dan tertawa. Toro sungguh pasrah, sungguh malang. Selamat datang Junior!. =)

Cerpen diatas adalah deskripsi dari tema diskusi yang akan dibahas. Deskripsi cerpen tersebut diangkat dari berbagai gambaran-gambaran kisah perpeloncoan atas nama senioritas yang umumnya terjadi di institusi pendidikan kita. Sejak SMP, ke SMA hingga jenjang sekolah tinggi(universitas) fenomena itu kerap ditemui.

Senioritas adalah gejala sosial yang ada di masyarakat kita. Setiap individu sosial yang ada di masyarakat, terbilang hampir semuanya pernah mengalami masa-masa “indah” ini. Fenomena ini biasanya terjadi selama jenjang pendidikan seseorang. Subur mengakar di lingkungan pendidikan kita. Memberi warna menarik pada wajah dunia pendidikan kita.

Data setidaknya menunjukkan, bahwa kecendrungan kasus perpeloncoan atas dasar senioritas itu terjadi dilingkungan sekolah, dengan pelaku dan korban siswa-siswinya sendiri. Media cetak dan media elektronik hingga media on-line memiliki banyak contoh kasus yang kerap terjadi ini.

Apa itu senioritas?merujuk pada situasi dan penjelasan apakah senioritas itu?. Penulis sendiri belum pernah menemui definisi yang spesifik mengenai senioritas ini. Namun, kita semua bisa-entah dengan cara yang bagaimana-memiliki gambaran yang satu visi terhadap gejala sosial satu ini. Kemungkinan besar, karena kita masih dalam satu lingkungan “bermain” yang sama, kurang lebih seperti bagimana kita membangun sebuah persepsi yang tercipta melalui proses sosialisasi oleh teman sepermainan[3].

Senioritas juga bisa dikatakan sebagai sebuah fenomena “absurd” dengan tolak ukuran yang bias, bahkan ngawur[4]. Jika kita angkat fenomena ini dari berbagai peristiwa yang umumnya terjadi disekitar kita, fenomena senioritas adalah situasi dimana terjadi pemisahan kelompok secara sosial berdasarkan umur dalam lingkup jenjang pendidikan. Yang lebih tua secara umur, mendapat labelisasi secara otomatis sebagai “senior”. Yang jauh lebih muda, adalah “junior”. Inilah pola dasar dari situasi senioritas.

Pola dasar ini kemudian semakin mengikat dan membentuk sebuah relasi sosial yang unik. Relasi ini mengikat kepada siapapun yang terkelompok secara sosial atas asumsi labelisasi tadi. Sebutlah relasi Sen-Ju, atau relasi senior-junior. Relasi ini mulai mengikat dan terbentuk pada saat ada pelembagaan struktur. Pelembagaan struktur ini adalah proses struktural dari institusi pendidikan dimana individu-individu yang terkelompok ini berada. Ya, tepat. Yang penulis maksud adalah pelembagaan relasi senioritas melalui mekanisme dan program penerimaan siswa didik disetiap tahun ajar baru. Inilah gerbang awal dari fenomena senioritas yang ada disekitar kita.

Relasi senior-junior tadi yang-entah sejak kapan menjadi ukuran-berdasar umur dan bukan merupakan suatu faktor yang deteminan, berasimilasi dengan kekuatan struktural dari sebuah institusi pendidikan yag kemudian “melembagakan” relasi tersebut. Relasi ini menjadi bagian dari struktur institusi tersebut. Aktor-aktor dari relasi ini kemudian bergerak atas nama struktur yang melegalisasinya. Inilah yang disebut Giddens sebagai dwi rangkap dalam gagasan agen dan strukturnya[5]. Relasi yang tadinya memiliki modal dasar yang lemah(kelompok berdasar umur) kini menjadi lebih kuat dibanding sebelumnya karena proses pelembagaan relasi melalui penerimaan struktural dari institusi sosial.

Pemahaman mengenai proses relasi sen-ju yang terstruktur melalui proses pelembagaan seperti diatas, juga bisa dipahami secara lebih mendalam dengan keterkaitan dan pengaruh norma sosial sebagai pisau bedahnya. Norma sosial sangat berperan penting dan memiliki pengaruh jauh kedalam masyarakat kita. Norma ini yang membentuk perilaku sosial. Bagaimana jika relasi sen-ju ini sudah terkontaminasi oleh sistem nilai dan norma melalui pelembagaan struktural oleh institusu pada penjelasan sebelumnya?. Yang terjadi adalah, kemunculan norma baru ditengah masyarakat kita yang disebut dengan senioritas. Senioritas menjadi sebuah nilai yang abstrak namun konkret secara fenomena. Senioritas sebagai norma sosial yang berlaku dimasyarakat akan menitis menjadi sebuah perilaku yang secara sosiologis disebut kita sebut sebagai folksway[6]. Perilaku yang menjelma menjadi kebiasaan. Keberuntungan “memihak” fenomena senioritas ini. Menurut Maclver dan Page, kebiasaan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat[7]. Kebiasaan menghormati yang lebih tua-salah satu substansi senioritas-merupakan kebiasaan masyarakat kita, dimana masyarakat kita bisa memberi sanksi sosial kepada setiap bentuk penyimpangan terhadap kebiasaan tersebut. Inilah salah satu gejala sosiologis yang tidak banyak dibahas dan dikaji pada saat kasus-kasus perpeloncoan yang penuh dengan dugaan kekerasan hingga sempat memakan korban jiwa[8].

STOP!!!.

Mari kita alihkan sejenak dari perasaan dan gambaran yang tidak enak perihal senioritas seperti pembahasan diatas. Mari kita berpikir lebih terbuka dan melandasi pikiran itu dengan harapan-harapan bahwa kita mampu merubah momok”horor” senioritas tersebut dengan pembahasan yang tidak kalah sosiologis. Masih banyak ruang gagasan yang jauh lebih sportif membahas fenomena yang satu ini dengan gagasan yang lebih modern.

Mari kita sedikit adopsi gagasan sosiologi modern Perancis yang dikenal dengan konsep habitusnya dan melihat bagaimana menciptakan solusi yang terbaik membahas fenomena senioritas ini dengan konsep reproduksi kulturnya sehingga kita bisa menarik sebuah kesimpulan besar yang bisa diterapkan sesegera mungkin dan dapat merasakan manisnya teori-teori sosiologi modern hingga lidah kita pun dapat mengecap sensasi manisnya. Pierre Bourdieu, menjelaskan bahwa”..the habitus is a set of disposition which incline agents to ACT and REACT in CERTAIN WAYS..”[9]. Agen/aktor/individu dalam konteks senioritas bertindak dan bereaksi dalam cara-cara tertentu. Statement tersebut jelas cukup bertanggung jawab, bukan karena ada sumbernya, melainkan secara common sense kita bisa mengiyakan gagasannya seketika jika kita sudah mengerti pembahasan mengenai fenomena senioritas sebelumnya yang mengkaji secara alur konsep senioritas dari mulai terciptanya relasi sen-ju, tersturkturnya norma senioritas karena ada pelembagaan institusi, hingga terbentuknya perilaku senioritas ditengah masyarakat kita.

Sekarang, gunakanlah imaji dari pembahasan tersebut sebagai sebuah habitus dari fenomena sosial yang sedang kita bahas. Setting social dimana institusi pendidikan sebagai latar terjadinya fenomena ini adalah habitus persoalan senioritas. Budaya senioritas ini secara sosiologis masih bisa menjadi kajian menarik, apalagi jika ada SDM-SDM unggul yang mau menceburkan dirinya dalam kerangka action research dengan tujuan mengubah “kesalah-pahaman” senioritas dimasyarakat kita.

Sebagai sebuah perilaku yang sudah membudaya dan mengakar, senioritas dengan konteks buruk perpeloncoan semestinya bisa diubah dari “dalam”. Sebelumnya, ada konsepsi dari P.Bourdieu yang haris dipahami lebih dahalu sebelum terjun, dan praksis kelapangan. Konsep reproduksi kultur dari P.Bourdieu penulis rasa sangat relevan dan efektif men-dekonstruksi gagasan senioritas dan me-rekonstruksinya kembali.

Habitus adalah satu kata bahasa latin yang mengacu pada kondisi, penampakan, atau situasi yang tipikal atau habitual, khususnya pada tubuh[10]. Sedangkan sumber karya Bordieu yang lain juga menyebutkan bahwa, Habitus adalah serangkaian kecendrungan yang mendorong aktor untuk beraksi dan bereaksi dengan cara-cara tertentu. Kecendrungan-kecendrungan inilah yang melahirkan praktik-praktik, persepsi-persepsi, dan perilaku tetap, teratur, yang kemudian menjadi “kebiasaan” yang tidak lagi dipertanyakan aturan-aturan yang melatarbelakanginya[11]. Banyak penafsiran yang menyebutkan bahwa, habitus adalah “gaya” lain dari sosiologi modern perihal agen-struktur yang olehnya dikenal juga tokoh-tokoh kenamaan seperti Anthony Giddens dan Margaret Archer[12]. Namun, Bordieu tetap memberi sentuhan yang berbeda.

Menurut pemahaman habitus, aktor dibekali serangkaian skema dan pola yang diinternalisasikan yang digunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial[13]. Namun, apa yang ada dalam habitus, apapun yang tercipta di dalamnya, tidak ada begitu saja melainkan muncul melalui sebuah proses “penanaman” yang disebut Inculquees-Terstruktur(Structurees)-berlangsung lama (Durables)-dapat tumbuh kembang (Generatives)-dan dapat diwariskan/dipindahkan (Transposable)[14]. Senioritas adalah fenomena sosial yang dilengkapi substansi-substansi”khas” berisikan gejala sosial menarik berupa terciptanya relasi sen-ju dari proses pelembagaan struktural norma yang secara paten menjadi perilaku kebiasaan dimasyarakat kita. Senioritas membudaya. Lantas bagaimana jika kita dekonstrksi gagasan senioritas itu kembali dengan pemahaman konsepsi reproduksi kultur diatas?.

Senioritas yang tadi momok”mengerikan” bisa menjadi daya tarik wisata ilmu sosial dan kajian-kajian sejenis jika kita mampu merubahnya secara radikal. Reproduksi kultur senioritas yang baru, fresh, edukatif, ditambah dengan segala macam nilai-nilai positif pada momen penerimaan siswa didik setiap tahun ajaran baru akan mengubah wajah dan konsepsi senioritas untuk selamanya. Internalisasi nilai-nilai posistif atau yang P.Boudieu sebut sebagai proses “penanaman”( Inculquees) tentu bisa dilakukan dengan proses yang kurang lebih sama dengan proses terciptanya relasi sen-ju yang kokoh melalui pelembagaan struktural menjadi norma-norma oleh institusi pendidikan kita. Reproduksi nilai-nilai kultur melalui senior yang terstruktur(structurees)dan positif akan menciptakan tata nilai dan perilaku yang dominan dengan energi positif kepada juniornya. Reproduksi ini bukan setahun atau dua tahun, melainkan terus dijaga dan diawasi agar tidak keropos di tengah jalan. Ini yang dimaksud P.Bourdieu dengan Durables. Mengembangkan nilai-nilai posistif yang ada selama proses penanaman dari pola reproduksi kultur ini juga patut ditumbuh-kembangkan/ Generatives. Kalau perlu dengan melibatkan unsur-unsur lain yang ridak kontra-produktif. Sehingga setelah proses ini sudah “mapan”, reproduksi nilai-nilai senioritas yang positif menjadi sebuah budaya baik yang bisa diwariskan/dipindahkan (Transposable).

Sebuah pemikiran terakhir ingin penulis angkat pada kesempatan ini. Penulis ingin menyampaikan bahwa, kita juga memiliki tanggung jawab secara moral dan sosial terhadap fenomena senioritas ini. Senioritas diperlukan, senioritas dibutuhkan. Itu inti dari tukisan ini. Hanya saja, harus paham betul dan harus bisa bijaksana. Dalam artian, senioritas seperti apa yang mau ditampilkan. Untuk itu, perlu berpikir matang-matang dan mendalam. Tidak semuanya bisa diturunkan kepada junior. Maka dari itu, harus bijak dan berani memilah. Mana yang konstruktif, mana yang destruktif. Mana yang positif, mana yang negatif. Mana yang benar, mana yang salah. Sehingga, dengan begitu, yang tersisa hanya ada cinta dan kasih sayang penuh kedamainan, kebersamaan, kebahagiaan antara Senior dan junior dalam kerangka sosial senioritas.

-Joe Drumz4ever-


[1] Tulisan ilmiah ini dibuat dengan memenuhi undangan sebagai pembicara dalam rangka diskusi ilmiah dengan kelompok Diskusi Kamis Sore(DKS). Kata kunci :senioritas, relasi sosial, norma, dan perilaku.

[2] Mahasiswa aktif jurusan Sosiologi, Prodi Sosiologi Pembangunan semester 10. Sedang dalam proses menyelesaikan skripsinya yang berjudul “Fenomena Reproduksi Kultur Organisasi: Studi Kasus UKM UNJ”.

[3] Kembali mengingatkan kita pada kajian sosiologis mengenai agen sosialiasi.

[4] Fenomena senioritas akan terlihat berbeda jika ditelisik lebih detail dan mendalam di tempat lain dengan seting sosial yang juga beragam.

[5] Lihat George Ritzer dan Douglas J.Goodman. TEORI SOSIOLOGI MODERN. Kencana. Jakarta.2007.hlm 508

[6] Lihat Soekanto, Soerjono. SOSIOLOGI:Suatu pengantar. Raja grafindo. Jakarta.1982, hlm 174

[7] R.M. Mc Iver dan Charles H.Page, Society, an Introductory Analysis, (New York: Rinehart and Company, Inc.,1967) hlm.19

[8] Kasus-kasus ISPDN dll, dimana perpeloncoan merupakan budaya dengan tekanan luar biasa dari relasi sen-ju yang jauh dari takaran normal.

[9] Boudieu, Pierre. LANGUAGE AND SYMBOLIC POWER. Harvard university Press.Cambridge massachussets. 1991. Page 12

[10] Jenkins, Richard.MEMBACA PIKIRAN PIERRE BORDIEU.Kreasi Wacana. Yogyakarta.2004.hal 107

[11] Rusdiati, Suma Riella. BAHASA, KAPITAL SIMBOLIK, dan PERTARUNGAN KEKUASAAN. Hal 42

[12] George Ritzer dan Douglas J.Goodman. TEORI SOSIOLOGI MODERN. Kencana. Jakarta.2007.hal 102

[13] Ibid. hal 522

[14] Opcit. Hal 43